Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan aturan terkait pencegahan kekerasan seksual pada lingkungan perguruan tinggi atau kampus.
Aturan tersebut tertuang Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi atau Kampus.
Aturan yang baru diteken Mendikbudristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu sudah menuai pro dan kontra, termasuk dari kalangan partai politik (parpol).
Advertisement
Baca Juga
Dukungan datang dari anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi NasDem Taufik Basari. Ia mengajak semua pihak khususnya kalangan akademisi dan pengelola lembaga pendidikan tinggi untuk memberikan dukungan penuh pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
Apresiasi yang tinggi untuk Mas Menteri Nadiem, semoga secepatnya setiap kampus mengeluarkan peraturan rektor di internal masing-masing sehingga kasus kekerasan seksual bisa ditangani dengan sebaik-baiknya" ungkap Taufik pada wartawan, Rabu (10/11/2021).
Lain halnya Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes. Ia menilai aturan yang bertujuan melindungi civitas perguruan tinggi dari tindak pelecehan seksual justru dianggap memberi celah legalisasi seks bebas di lingkungan kampus.
Fahmy pun mendesak agar aturan tersebut dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
"Harus dicabut dan segera direvisi dan dilengkapi. Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Fahmy dalam keterangan tulis.
Berikut deretan tanggapan dari partai politik tentang Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi NasDem Taufik Basari, mengajak semua pihak khususnya kalangan akademisi dan pengelola lembaga pendidikan tinggi untuk memberikan dukungan penuh terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
"Apresiasi yang tinggi untuk Mas Menteri Nadiem, semoga secepatnya setiap kampus mengeluarkan peraturan rektor di internal masing-masing sehingga kasus kekerasan seksual bisa ditangani dengan sebaik-baiknya" ungkap Taufik pada wartawan, Rabu (10/11/2021).
Taufik juga mengingatkan bahwa sudah menjadi kewajiban kampus dalam hal pendampingan, perlindungan, dan pemulihan korban harus menjadi perhatian serius, jangan sampai korban justru mendapatkan ketidakadilan.
"Korban membutuhkan waktu untuk memberikan laporan atas kasus yang menimpanya, butuh keberanian untuk bicara, jangan sampai ada kesan kampus justru tidak berpihak pada korban apalagi jika kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak sampai masuk ke ranah hukum" kata Taufik.
Menurut Taufik, kekerasan seksual di lingkungan kampus sudah menjadi hal yang harus menjadi perhatian serius.
Merujuk pada Survei Koalisi Ruang Publik Aman tahun 2019 lalu lingkungan sekolah dan kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Anggota Komisi III DPR RI ini juga prihatin akan masih banyaknya kesalahpahaman terhadap konsep pengaturan mengenai kekerasan seksual ini.
"Kesalahpahaman tersebut terjadi karena masih ada yang belum memahami bahwa aturan ini berangkat dari kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas kesehatan, hak bebas dari diskriminasi serta hak bebas dari perlakukan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, oleh karena itu tidak boleh ada seorangpun menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk melanggar hak-hak tersebut," tegas Taufik.
Taufik menambahkan bahwa adanya ketimpangan relasi kuasa memberikan potensi terjadinya pelanggaran hak tersebut, khususnya dalam bentuk kekerasan seksual.
Sementara itu, tambahnya, kekerasan seksual sayangnya masih sering dipandang sebagai suatu hal yang tidak penting, perbuatan wajar atau bahkan dipandang sebagai akibat dari kesalahan korban.
"Kebutuhan akan adanya kesadaran mengenai pentingnya menjaga ruang interaksi yang aman dari kekerasan seksual melalui aturan hukum ini diharapkan dapat membangun perspektif yang utuh terhadap pentingnya jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas hak asasi manusia dan memanusiakan manusia," ucap Taufik.
Taufik berharap peraturan nomor 30 tahun 2021 ini bisa melengkapi SK yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
"Inisiatif dari Kemendikbud Ristek dan Kementerian Agama ini menjadi penyemangat bagi DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan akan menjadi payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di Indonesia yang sudah dalam kondisi darurat ini," pungkas Taufik.
Â
Advertisement
2. Partai Solidartas Indonesia (PSI)
Ketua DPP PSI Tsamara Amany mendukung Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Ia juga menyebukan Permendikbudristek langkah awal negara melindungi korban kekerasan seksual.
"InsyaAllah melalui Permendikbud Ristek ini merupakan langkah awal keseriusan negara melindungi korban kekerasan seksual," kata Tsamara di Jakarta.
Dia menegaskan, sudah waktunya peserta didik di perguruan tinggi bebas dari kekerasan seksual. Untuk itu, Tsamara mengajak semua pihak mendukung aturan yang diterbitkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim.
"Sudah waktunya kampus merdeka dari kekerasan seksual. Sama sama kita dukung Permendikbud Ristek tentang pencegahan kekerasan seksual," ucap Tsamara.
Tsamara mengingatkan, semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap korban kekerasan seksual.
"Kita punya tanggung jawab moral terhadap korban," tutup dia.
Â
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Permendikbudritek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai kritik dari sejumlah pihak.
Sejumlah pihak menilai, aturan yang bertujuan melindungi civitas perguruan tinggi dari tindak pelecehan seksual justru dianggap memberi celah legalisasi seks bebas di lingkungan kampus.
Desakan untuk mencabut peraturan itu pun muncul dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes. Fahmy mendesak agar aturan tersebut dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
"Harus dicabut dan segera direvisi dan dilengkapi. Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Fahmy.
Fahmy memahami bahwa maksud dan tujuan dari beleid ini ingin menghilangkan kekerasan seksual di kampus, namun sayangnya peraturan itu sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT).
Fahmi menyoroti frase 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbud tersebut. Menurutnya, frase tersebut justru dapat melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.
"Bila terjadi hubungan seksual suka sama suka, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dilakukan di luar ikatan pernikahan, peraturan ini membiarkan, dan menganggap normal. Bahkan, peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘legalisasi’ perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi," ucap dia.
"Pertanyaan kritisnya adalah apakah peraturan ini ingin mencegah dan melarang perzinaan dengan paksaan, tetapi mengizinkan perzinaan dengan kesepakatan?" imbuh Fahmy.
Aturan ini, kata Fahmy dapat ditafsirkan mengabaikan nilai-nilai agama, nilai-nilai Pancasila, dan sekaligus menabrak nilai-nilai luhur adat dan budaya bangsa yang beradab.
Padahal kata dia dalam Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dikatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
"Peraturan ini hendaknya dapat dijadikan instrumen untuk membangun iklim kehidupan sosial yang beradab, bermoral, menjunjung tinggi etika dan nilai agama dan Pancasila di lingkungan Perguruan Tinggi," pungkas Fahmy.
Â
Advertisement
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Anggota Komisi X DPR RI yang juga politikus PDIP MY Esti Wijayati angkat bicara mengenai Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 yang kini menjadi polemik. Menurut dia, itu sebuah bentuk pencegahan dini dari kekerasan seksual.
Legislastor asal Yogyakarta ini memandang, masih dibahasnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Badan Legislasi DPR RI, sehingga belum bisa diimplementasikan, perlu regulasi untuk mencegah kekerasan seksual khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi.
Esti memandang langkah Mendikbudristek Nadiem Makarim seharusnya diapresiasi.
"Sehingga langkah Mendikbudristek Nadiem Makarim di dalam mengeluarkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggu mestinya harus diapresiasi sebagai langkah cepat agar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi bisa dicegah lebih dini, dan bisa dilakukan penanganan sesegera mungkin jika itu terjadi," kata dia dalam keterangannya.
Menurut Esti, Permendikbudristek tidak bisa diartikan sebagai bentuk pelegalan terhadap terjadinya hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan.
"Peraturan ini, juga tak bisa disebut melegalkan LGBT," ucap dia.
Karena itu, Permendikbudristek ini mendapat dukungan, bukannya dipermasalahkan dan diminta untuk ditarik.
"Langkah cepat yang dilakukan Nadiem Makarim melalui permendikbudristek ini tentu sudah berdasarkan kajian dan analisa terhadap kejadian-kejadian yang ada di lingkungan Kampus," jelas Esti.
Â
5. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menyatakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 harus dilihat dari prespektif korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan hukum.
"Lahirnya Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus harus dilihat dari bagian upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual. Harus diakui jika saat ini banyak sekali korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan perlindungan hukum," ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda.
Dia mengingatkan, dalam Permendikbud tersebut selain definisi kekerasan seksual yang memicu banyak polemik, juga ada aturan pencegahan kekerasan seksual, penanganan wajib kekerasan seksual di kampus dari mulai pendampingan, perlindungan, hingga konseling.
"Untuk pencegahan kekerasan seksual misalnya dalam Permendikbud 30/2021 cukup detail diatur pembatasan pertemuan civitas akademika secara individu di luar area kampus maupun di luar jam operasional kampus. Bahkan jika ada pertemuan tersebut harus ada izin dari pejabat kampus dalam hal ini ketua jurusan atau ketua program studi," papar Syaiful Huda.
Politikus PKB ini mengungkapkan, tren kekerasan seksual di kampus-kampus terus mengalami peningkatan. Oleh karena tingginya angka kekerasan seksual, menurutnya harus disikapi secara tegas.
"Harusnya semua pihak menyepakati bahwa kekerasan seksual perlu disikapi secara tegas dan Permendikbud 32/2021 merupakan salah satu bentuk penyikapan," ucap dia.
Kendati demikian, Huda menyarankan agar definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud harus lebih tegas lagi.
Norma konsesual yang menjadi factor dominan untuk menilai terjadi atau tidaknya kekerasan seksual menurutnya harus ditegaskan dalam kekuatan mengikat.
"Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi baik secara norma hukum negara maupun agama sehingga kekuatan hukum yang mengikat. Jangan sampai persetujuan itu dikembalikan kepada masing-masing individu karena bisa jadi saat menyatakan konsesual hal itu tidak benar-benar menjadi konsesus," jelas Huda.
Â
Â
(Muhammad Fikram Hakim Suladi)
Advertisement