Eks Pegawai KPK Ungkap Alasan Kenapa OTT Begitu Ditakuti Koruptor

OTT hingga kini masih menjadi senjata ampuh dalam memberantas korupsi. Tak heran, operasi tangkap tangan begitu ditakuti koruptor.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Nov 2021, 17:25 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2021, 17:25 WIB
FOTO: Tumpukan Uang Hasil OTT Bupati Musi Banyuasin
Petugas KPK menunjukkan barang bukti hasil operasi tangkap tangan dengan tersangka Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex Noerdin di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (16/10/2021). KPK menyita uang tunai sejumlah Rp 270 juta dan Rp1,5 Miliar dari MRD (ajudan Bupati). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo menilai bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) hingga kini masih menjadi senjata ampuh dalam memberantas tindak pidana korupsi.

"Artinya bahwa masih menjadi senjata untuk melawan korupsi yang ampuh di negeri kita. Sebab orang sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa dia melakukan tindak pidana korupsi," kata Yudi seperti dikutip melalui chanel youtube @YudiPurnomo, Jumat (19/11/2021).

Menurut Yudi, setidaknya ada empat alasan mengapa OTT sangat ditakuti koruptor. Pertama, karena peristiwa pidananya pasti ada unsur suap menyuap. Kedua, pelakunya jelas siapa yang menyuap dan siapa yang disuap.

Ketiga barang buktinya ada, baik itu berupa uang rupiah maupun mata uang asing atau pun benda-benda lainnya. "Misalnya cek kemudian juga buku tabungan ketika uang itu diserahkan melalui transfer," beber Yudi.

Dan alasan terakhir, biasanya pengungkapan tindak pidana korupsi yang berasal dari OTT bukan lah bentuk transaksi yang pertama kali, alhasil bukti kasusnya semakin kuat.

"Artinya sebelumnya sudah beberapa kali menerima (para pihak yang terlibatnya)," kata mentan pegawai KPK yang dipecat lewat TWK ini.

 

Bisa Menyeret Pejabat Lain

Selain itu, alasan ditakutinya OTT adalah terbongkarnya pihak-pihak lain dari hasil pengembangan yang ada. Tak sedikit, kasus korupsi yang terungkap lewat OTT bisa menyeret sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.

"Misalnya dari OTT kepala daerah bisa jadi pejabat di tingkat nasional juga kena, dari pejabat tingkat rendah ke tingkat tinggi juga bisa kena," bebernya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya