Liputan6.com, Jakarta Pasca Trump resmi menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya di Januari 2025 lalu dan menggulirkan serangkaian kebijakan ‘kontroversial’ di berbagai bidang, salah satunya di sektor energi dengan slogannya “drill, baby, drill”, ketidakpastian di pasar energi dan perekonomian global meningkat.
Di awal April 2025 ini, Trump kembali menerapkan langkah yang lebih agresif lagi dalam kaitan dengan tatanan ekonomi dan perdagangan global.
Baca Juga
Secara garis besar, langkah agresif Trump yang juga disebut sebagai Liberation Day dan merupakan implementasi dari visi America First, terdiri atas:
Advertisement
1) pemberlakuan tarif dasar sebesar 10% terhadap seluruh negara pengekspor, serta bea tambahan bagi negara-negara yang mencatat surplus perdagangan dengan AS, sejak 5 April 2025 dengan pengecualian barang-barang tertentu sepetti obat-obatan, semikonduktor dan mineral strategis,
2) penerapan tarif resiprokal secara spesifik tiap negara dan memberlakukannya sejak 9 April 2025. Beberapa negara dan tarif resiprokal yang diberlakukannya adalah Tiongkok (34%), Malaysia (24%), Vietnam (46%), Thailand (36%), Jepang (24%), Indonesia (32%), Taiwan (32%), India (26%), Kamboja (49%), Inggris & Brazil (10%), Afrika Selatan (30%) dan Uni Eropa (20%),
3) pemberlakuan tarif 25% untuk semua mobil impor, berlaku untuk semua mobil penumpang dan SUV yang dibuat di luar AS, berlaku sejak 3 April 2025, dan untuk suku cadang otomotif akan dikenakan tarif 25%, berlaku mulai 3 Mei 2025
Pemberlakuan tarif tambahan dan resiprokal tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari langkah-langkah sebelumnya, seperti pemberlakuan tarif untuk Kanada (10%, untuk energi dan 25% untuk barang lainnya), Tiongkok (25%), dan Meksiko (25%) yang mulai berlaku pada 1 Februari 2025 lalu.
Kemudian pada 5 Februari 2025, Trump memberlakukan tarif terhadap produk Tiongkok, yang kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan mengenakan tarif 15% atas batu bara dan LNG, serta 10% untuk minyak mentah, mesin pertanian, kendaraan, dan truk produksi AS. Di samping itu, Trump juga menerapkan tarif sebesar 25% terhadap produk baja dan aluminium dari seluruh dunia.
Rangkaian pemberlakuan tarif Trump yang makin agresif tersebut tak pelak menyebabkan ketidakpastian dan kekhawatiran yang makin besar akan kondisi dan prospek pasar dan perekonomian global ke depan.
Dalam hal ini, salah satu kekhawatiran (terbesar) adalah meningkatnya ketegangan hubungan dagang internasional, yang selanjutnya memicu terjadinya perang dagang (trade war) dan terjadinya perlambatan-resesi ekonomi global.
Prediksi dari berbagai lembaga keuangan internasional seperti Allianz Global Investors, Goldman Sach dan Bloomberg menyebutkan dalam skenario terjadinya perang dagang secara terbatas, penerapan tarif resiprokal diproyeksikan dapat membuat pertumbuhan ekonomi global menurun sebesar 0,4% (yoy), sedangkan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan mengalami penurunan hingga 1,5% (yoy). Seiring dengan itu, kemungkinan terjadinya resesi di sebagian besar negara maju juga meningkat, dengan probabilitas antara 30% - 35%.
Beberapa negara dan kawasan, seperti Asia Tenggara cenderung memilih jalur diplomasi dan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam merespons langkah pemberlakuan tarif Trump tersebut. Namun, Tiongkok dan Uni Eropa tercatat menunjukkan respons yang lebih tegas dan pada tingkatan tertentu juga cukup konfrontatif. Kondisi ini cenderung memperbesar kemungkinan terjadinya eskalasi konflik menuju perang dagang full-blown trade war.
Dalam skenario full-blown trade war, prediksi yang sama memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global dapat terkontraksi 1,2 - 5,5%. AS diperkirakan dapat mengalami penurunan PDB 2 - 4%, sementara Tiongkok menghadapi risiko kontraksi 1,5 – 5,5 %. Kawasan lain seperti Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko juga akan mengalami dampak dengan penurunan PDB masing-masing berkisar antara 1,3 - 5%, 2,5 – 4%, 3 – 4,5% Selain itu, inflasi global berpotensi naik hingga 1,5 - 3%.
Dalam hal terjadi skenario perang dagang secara terbatas, dampak terhadap harga komoditas pada dasarnya relatif cenderung terbatas. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengaruh tarif tersebut terhadap perdagangan bahan baku penting, serta kuatnya permintaan jangka panjang dari sektor industri dan teknologi. Selain itu, sejumlah komoditas energi dan pangan tidak termasuk dalam cakupan tarif baru Trump.
Namun, jika perang dagang berkembang menjadi full-blown trade war, potensi gangguan terhadap keseimbangan suplai dan permintaan bisa memicu volatilitas harga, terutama akibat terganggunya rantai pasok dan menurunnya permintaan global dalam waktu yang berkepanjangan.
Secara umum, sama halnya dengan yang terjadi di pasar energi, tanpa adanya pemberlakuan tarif Trump yang agresif pun perekonomian global saat ini dapat dikatakan tengah mengalami pergeseran struktural.
Tatanan ekonomi dan pasar global yang sebelumnya berpusat pada dominasi suatu kekuatan besar, seperti halnya Timur Tengah untuk energi migas dan Amerika Serikat untuk perekonomian global dalam arti luas, kini cenderung tengah mengalami pergeseran menuju konfigurasi multipolar.
Banyak negara kemungkinan akan mengutamakan aspek keamanan rantai pasok dengan memperkuat hubungan dagang dengan kawasan tertentu yang dinilai lebih strategis secara ekonomi dan stabil secara politik. Akses pasar kemungkinan akan menjadi semakin selektif, seiring meningkatnya kebijakan proteksionisme. Implikasinya, akan ada perlambatan (pertumbuhan) ekonomi secara global secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, harga komoditas, khususnya minyak mentah, berpotensi terus mengalami tekanan akibat ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan global yang mengarah pada kondisi oversupply.
Dalam skenario moderat tanpa pengaruh penerapan tarif tambahan dan resiprokal Trump, pasar minyak global diproyeksikan sudah akan mengalami surplus sekitar 600.000 barel per hari, didorong oleh keputusan OPEC+ untuk menaikkan produksi hingga 411.000 barel per hari mulai Mei 2025.
Pemberlakuan tarif tambahan dan resiprokal seperti yang Trump lakukan berpotensi akan makin menekan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara utama seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan kawasan Asia Tenggara, dengan potensi penurunan PDB bervariasi antara 1% - 5,5%, yang pada akhirnya berimplikasi pada melemahnya permintaan terhadap energi.
Dalam keterkaitan dengan ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini, khususnya di wilayah Eropa Timur dan Timur Tengah, penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat dan potensi perang dagang yang menyertainya sejauh ini belum secara langsung memicu eskalasi konflik yang telah terjadi.
Ini artinya relatif tidak ada faktor (lain) yang signifikan dapat menggerakkan harga minyak untuk menguat dalam waktu dekat. Dengan demikian, dengan mempertimbangkan dinamika pasokan dan permintaan saat ini, diperkirakan harga minyak selama kuartal II hingga III tahun 2025 kemungkinan akan bergerak dalam rentang USD 60–65 per barel.
Namun, apabila eskalasi perang dagang berkembang menjadi full-blown trade war, penurunan permintaan minyak global yang signifikan dapat mendorong harga turun lebih dalam, berpotensi mencapai USD 50 per barel atau bahkan lebih rendah.
Kita tidak tahu pasti, skenario perang dagang dalam skala yang mana – terbatas atau full-blown trade war - yang akan terjadi ke depannya. Tetapi satu hal yang sudah pasti, dengan adanya pemberlakuan tarif Trump tersebut, tingkat ketidakpastian – di dalam ekonomi, hal ini sama artinya dengan tingkat risiko - yang ditimbulkannya sudah meningkat. Itu sudah (cukup) dengan sendirinya akan memicu terjadinya perlambatan ekonomi secara keseluruhan.