Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mendorong para ahli konstruksi berperan aktif dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami. Menurut Dwikorita, banyaknya korban berjatuhan saat gempa bumi adalah akibat struktur bangunan yang tidak tahan gempa.
"Bukan gempabumi yang mengakibatkan korban jiwa maupun luka-luka dalam setiap kejadian, tapi akibat tertimpa bangunan," ungkap Dwikorita dalam webinar yang diselenggarakan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia, Jumat (28/1/2022).
Baca Juga
Dwikorita mengatakan, dinamika kegempaan yang tidak menentu, ditambah dengan tata ruang, penataan kawasan lingkungan permukiman yang tidak dirancang dengan baik dan adaptif terhadap bencana dapat semakin memperburuk akibat yang ditimbulkan oleh gempabumi. Hal ini akan berdampak lebih buruk lagi jika masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengatisipasi dan menghadapi bencana.
Advertisement
Contohnya, kata Dwikorita, adalah saat gempa magnitudo (M) 6,6 di Kabupaten Pandeglang, Banten yang terjadi 14 Januari 2022 lalu. Dalam gempa tersebut, terjadi kepanikan masyarakat dan kerusakan bangunan yang cukup parah. Realitas tersebut berarti, Indonesia memang belum siap manakala gempa besar sewaktu-waktu mengguncang.
Gambaran sikap masyarakat yang panik, lanjut Dwikorita, membawa pesan tersendiri khsususnya bagi para stakeholder, para asosiasi profesi bangunan dan Kementerian/Lembaga terkait, terkait perlunya pemahaman kewilayahan terutama yang berpotensi menjadi wilayah terdampak, yang perlu diikuti dengan perencanaan dan konsep pembangunan yang sudah memperhitungkan risiko potensi dampak akibat bahaya gempabumi di wilayahnya.
"Hasil kajian BMKG, selain karena lokasi yang berada di atas lapisan tanah dengan klasifikasi jenis tanah lunak (SE) juga karena konstruksi bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa," imbuhnya.
Dwikorita menyebut, gempa Banten sebagai 'alarm', sehingga usaha kewaspadaan, kesiapsiagaan dan mitigasi secara struktural maupun kultural terhadap bencana gempabumi dan tsunami perlu terus ditingkatkan. Partisipasi aktif dari kelima unsur Pentahelix (pemerintah, akademisi, pihak swasta/industri, komunitas, dan media), kata dia, menjadi kunci dalam manajemen bencana di Indonesia.
Bangunan Tahan Gempa
Maka dari itu, tambah Dwikorita, HAKI sebagai organisasi yang menaungi para ahli konstruksi Indonesia diharapkan mampu turut menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Menurutnya, perlu dibangun pemahaman kembali bagaimana perlunya memperketat penerapan peraturan pembangunan bangunan tahan gempa di wilayah atau zona yang berpotensi terdampak akibat aktivitas suatu sumber kegempaan.
"Saya berharap HAKI bisa turut bersinergi dan berkolaborasi memberikan rekomendasi-rekomendasi positif kepada pemerintah daerah sehingga bisa dapat segera diintegrasikan dalam kebijakan-kebijakan konkrit. Mengingat, langkah dan sistem mitigasi kebencanaan menjadi wewenang dan tanggung jawab penerintah daerah/kota sesuai Permendagri No 101 Tahun 2018," pungkasnya.
Advertisement