Liputan6.com, Jakarta - Myanmar baru-baru ini diguncang gempa dengan Magnitudo 7,7 yang membuat negeri itu luluh lantak. Bahkan dampaknya juga dirasakan di Thailand hingga China. Akibat peristiwa gempa yang terjadi pada Jumat (28/3/2025) itu, tercatat lebih dari 3.000 orang meninggal dunia. Indonesia pada dasarnya juga merupakan kawasan rawan gempa. Bukan tanpa sebab, wilayah Indonesia menjadi pertemuan tiga lempeng tektonik besar (Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik), serta berada di jalur Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang dikenal sebagai wilayah dengan aktivitas gempa dan vulkanik tinggi.
Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif, yang juga merupakan indikator aktivitas tektonik yang tinggi dan berpotensi menyebabkan gempa bumi. Di beberapa wilayah Indonesia, lempeng Indo-Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia dan Pasifik, yang dikenal sebagai proses subduksi.
Baca Juga
Proses tersebut menghasilkan magma yang kemudian naik ke permukaan dan membentuk gunung berapi, serta juga menyebabkan gempa bumi. Jalur pertemuan lempeng tektonik yang aktif ini membuat Indonesia menjadi daerah yang rentan terhadap gempa bumi, termasuk gempa besar yang berpotensi menyebabkan tsunami. Lalu pelajaran apa yang bisa masyarakat Indonesia ambil dari peristiwa gempa merusak yang mengguncang Myanmar?
Advertisement
Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam siaran resminya, Rabu (9/4/2025), membeberkan beberapa faktor yang menyebabkan mengapa gempa Myanmar bisa begitu sangat merusak. Faktor-faktor tersebut antara lain, pertama, gempa Myanmar M 7,7 berdampak sangat merusak karena memiliki kedalaman yang dangkal. Rekahan batuan dimulai pada kedalaman 10 km dan meluas di kerak bumi, menyebabkan pancaran energi gelombang seismik yang dimanifestasikan sebagai guncangan di permukaan bumi sangat dahsyat dan merusak.
"Kedua, pusat (episenter) gempa Myanmar M7,7 terjadi dekat permukiman padat penduduk, menjadikan gempa ini sangat merusak," katanya.
Pusat gempa dan perambatan rekahan permukaan akibat gempa terjadi di Kota Besar Mandalay, Sagaing, dan Naypyidaw, tempat dimana terdapat populasi penduduk padat daerah perkotaan, sehingga infrastruktur mengalami kerusakan sangat signifikan.
Faktor ketiga, kata Daryono, gempa Myanmar M7,7 menjadi sangat merusak juga disebabkan kontribusi jenis patahan geser dan rekahan permukaan.
"Gerakan Sesar Sagaing adalah sesar geser menganan (dextral strike-slip) menyebabkan perpindahan horizontal di permukaan tanah yang luas, yang menyebabkan kerusakan pada jalan, jembatan, jaringan pipa dan bangunan yang terletak di jalur patahan," katanya.
Faktor keempat menurut Daryono adalah infrastruktur yang lemah dan tidak tahan gempa menjadi salah satu faktor yang menyebebkan mengapa gempa Myanmar M7,7 sangat merusak.
"Banyak bangunan perkotaan di Myanmar tidak dibangun tahan gempa yang mengacu potensi sumber gempa maksimum di wilayah tersebut. Sementara untuk bangunan di daerah pedesaan, bangunan tidak dibangun untuk menahan aktivitas seismik, yang menyebabkan keruntuhan bangunan yang meluas termasuk bangunan-bangunan kuno penggalan bersejarah," katanya.
Sementara faktor kelima, kata Daryono, gempa Myanmar M7,7 sangat merusak juga karena efek celah seismik (seismik gap). Beberapa daerah yang terkena dampak gempa saat ini belum mengalami gempa besar dalam beberapa dekade sebelumnya, yang memungkinkan terdampak gempa kuat saat ini hasil akumulasi tekanan tektonik yang berlangsung sejak lama.
"Hal itu berkontribusi pada besarnya magnitudo gempa yang terjadi dan rekahan patahan yang luas yang terbentuk," katanya.
Faktor keenam, yang menyebabkan gempa Myanmar bisa sangat merusak adalah gelombang gempa Myanmar M7,7 teradiasikan dominan pada frekuensi rendah pada jarak regional juga menjadi penyebab gempa ini sangat merusak.
Hal ini memberikan efek periode panjang di zona tanah lunak meski di tempat yang relatif jauh, seperti di cekungan Kota Bangkok, sehingga gedung tinggi di Bangkok pun terkena efek periode panjang yang meyebabkan kerusakan.