Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyampaikan pernyataan sikap Komisi I terkait pembunuhan jurnalis Shireen Abu Akleh dan penembakan Jurnalis Ali Al-Samoudi di Tepi Barat, Palestina.
Meutya menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga dan kerabat wartawan atau jurnalis Al-Jazeera Shireen Abu Akleh saat meliput serangan Israel di Kamp Pengungsian Jenin, Tepi Barat.
"Doa dan simpati saya juga untuk Jurnalis Ali Al-Samoudi yang terkena tembakan di punggung. Sebagai mantan jurnalis yang pernah meliput di wilayah konflik bersenjata, saya merasakan kehilangan sosok wartawan yang amat dihormati karena telah meliput di tanah pendudukan palestina sejak awal Intifada Palestina kedua pada tahun 2000," ujar Meutya dalam keterangannya, Kamis (12/5/2022).
Advertisement
Baca Juga
Meutya mengutuk keras pembunuhan wartawan yang sedang bertugas di wilayah pendudukan Palestina tersebut.
"Ini adalah sebuah tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan tentara Israel dan tidak dapat dibenarkan oleh dalih apa pun karena Shihreen bertugas dengan mengenakan rompi bertuliskan pers," kata dia.
Politikus Partai Golkar itu mengingatkan, dalam ketentuan hukum humaniter internasional, jurnalis/wartawan yang berada di situasi konflik bersenjata harus mendapatkan perlindungan dari kedua belah pihak yang bertikai.
"Saya berpendapat bahwa penembakan terhadap Wartawan Shireen Abu Akleh oleh pasukan Israel termasuk dalam pelanggaran berat menurut Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa tentang Hukum humaniter internasional mengatur tentang perlindungan terhadap wartawan baik sebagai warga sipil maupun sebagai wartawan," terang Meutya.
"Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat A sub 4 Konvensi IV Jenewa 1949 dan Pasal 79 Protokol Tambahan I 1977 di mana wartawan merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi dalam sengketa bersenjata dan selayaknya diperlakukan sebagai warga sipil," sambungnya.
Â
Permintaan Komisi I DPR RI
Meutya berpandangan tindakan penembakan brutal terhadap Shireen Abu Akleh yang dilakukan oleh Pasukan Israel merupakan sebuah pelanggaran berat yang masuk ke dalam kategori kejahatan perang, karena telah melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.
"Saya menyerukan kepada seluruh pemerintah, parlemen, dan komunitas internasional untuk menuntut Israel agar bertanggung jawab atas pembunuhan Shireen Abu Akleh. Tuntutan kepada Israel ini untuk mengingatkan pada semua pihak bahwa jurnalis yang meliput situasi konflik harus dipastikan keamanan dan perlindungannya setiap saat," ujarnya.
Selain itu, Meutya meminta Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan pidana pada para pelaku yang terlibat.
"Saya menuntut pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan pidana pada para pelaku yang terlibat termasuk komandan yang bertanggung jawab dalam pembunuhan. Sudah saatnya para pelaku kejahatan perang ini diadili dan dimintai pertanggungjawaban pidana internasional," terang dia.
​Sebagai mitra Kemlu, Komisi I DPR RI meminta pada Kemlu untuk menggalang kerja sama internasional untuk penyelidikan segera dan menyeluruh dan bagi mereka yang bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban.
"Juga meminta Kemlu untuk menggalang solidaritas internasional untuk memastikan hukum dan norma internasional ditegakkan demi melindungi wartawan yang sedang bertugas dan pekerja media tidak lagi menjadi sasaran perang. Itulah yang saya rasakan saat menjadi jurnalis meliput di wilayah konflik bersenjata hingga pernah disandera di Iraq," pungkasnya.
Â
Advertisement
Jurnalis Al Jazeera Dilaporkan Tewas Ditembak Pasukan Israel di Tepi Barat
Sebelumnya, seorang jurnalis media asing Al Jazeera dilaporkan tewas tertembak ketika meliput serangan Israel di Kota Jenin, di wilayah Tepi Barat yang diduduki, pada Rabu 11 Mei 2022. Demikian menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Mengutip laporan VOA Indonesia, pihak kementerian mengatakan Shiren Abu Akleh, jurnalis perempuan ternama yang bekerja untuk saluran televisi Al Jazeera, tewas seketika setelah ditembak. Seorang jurnalis Palestina lainnya yang bekerja untuk harian Al-Quds yang berbasis di Yerusalem juga terluka ketika meliput serangan tersebut.
Jurnalis Al-Quds itu kini dalam kondisi yang stabil setelah mendapatkan perawatan.
Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan kedua jurnalis tersebut terkena tembakan pasukan Israel. Dalam rekaman video insiden, terlihat jelas bahwa Abu Akleh mengenakan jaket berwarna biru yang bertuliskan kata "PERS."
Pihak militer Israel mengatakan pasukannya diserang dengan sejumlah tembakan dan ledakan ketika melancarkan operasi di Jenin. Mereka mengatakan "tengah menginvestigasi insiden (yang telah menewaskan Abu Akleh) dan mencari kemungkinan bahwa sang jurnalis tewas tertembak oleh peluru yang berasal dari pasukan Palestina."
Israel telah melancarkan serangan hampir setiap hari di wilayah Tepi Barat dalam beberapa minggu terakhir.
Serangan tersebut dilakukan di tengah sejumlah teror mematikan yang terjadi di Israel, di mana banyak dari pelaku teror tersebut adalah warga Palestina yang berasal dari sekitar Jenin. Kota itu, terutama kamp pengungsi di dalamnya, telah dikenal sebagai pusat pertahanan kelompok militan.
Israel sebelumnya telah dikenal kritis terhadap liputan-liputan yang dilakukan oleh Al Jazeera. Namun, pihak berwenang tetap membolehkan jurnalis Al Jazeera untuk tetap meliput.
Jurnalis Al Jazeera lainnya, Givara Budeiri, sempat ditahan ketika meliput sebuah protes di Yerusalem pada tahun lalu. Budeiri mengalami patah tangan yang menurut Al Jazeera disebabkan oleh perlakuan polisi Israel.
Â
Jurnalis Palestina Tewas Ditembak Tentara Israel
2018 lalu, Ahmad Abu Hussein, seorang wartawan Palestina yang ditembak pasukan Israel saat meliput demonstrasi massal di sepanjang perbatasan Gaza meninggal dunia.
Pria berusia 24 tahun itu adalah fotografer yang bekerja untuk Voice of the People. Ia ditembak di bagian perut ketika bertugas meliput aksi protes di dekat Jebaliya pada 13 April 2018.
Hussein merupakan wartawan Palestina kedua yang tewas dibunuh tentara Israel sejak gelombang demonstrasi yang dikenal dengan sebutan the "Great March of Return" dimulai pada 30 Maret 2018.
Seperti dikutip dari Al Jazeera 26 April 2018, pihak Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa Hussein meninggal dunia pada hari Rabu di rumah sakit Tel Hashomer, di dekat Tel Aviv.
"Pada hari yang sama, jenazahnya dibawa ke rumah sakit Al-Andalusi di Jalur Gaza," ujar Ashraf al-Qudra, seorang juru bicara Kementerian Kesehatan Jalur Gaza.
Pada awalnya, Hussein dirawat di Jalur Gaza sebelum akhirnya dipindah ke sebuah rumah sakit di Ramallah pada 15 April dan ke Tel Hashomer empat hari kemudian.
Menurut saksi di lokasi penembakan Hussein, korban menggunakan rompi pelindung bertuliskan "PRESS" saat kejadian.
"Alat pelindung yang jelas menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anggota pers, menjadikannya harus mendapat perlindungan ekstra -- bukan sebagai target," terang Sherif Mansour, koordinator program Timur Tengah dan Afrika Utara di Committe to Protect Journalist.
"Kematian Ahmed Abu Hussein menggarisbawahi perlunya otoritas Israel meneliti kebijakannya terhadap wartawan yang meliput protes dan sesegera mungkin mengambil tindakan yang efektif," imbuhnya.
Sebelum Hussein, seorang fotografer Palestina lainnya, Yaser Murtaja (30), juga tewas setelah ditembak oleh pasukan Israel pada 6 April 2018. Murtaja bekerja untuk Ain Media agency.
Murtaja dihantam timah panas di bagian perut ketika sedang meliput aksi protes di Khuza'a. Sama seperti Hussein, pada saat kejadian, ia juga menggunakan rompi pelindung bertuliskan "PRESS".
Advertisement