Liputan6.com, Jakarta Paham radikalisme masih dianggap menjadi ancaman nyata keamanan nasional.
Menanggapi hal itu, Peneliti Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Indah Pangestu Amaritasari menyebut, radikalisme berbahaya jika hidup di lingkungan yang tidak menjunjung paham demokrasi, penegakkan HAM, dan kesetaraan gender.
Advertisement
Baca Juga
Hal itu disampaikan saat diskusi publik Puskamnas bertema 'Radikalisme dan Cita-cita Khilafah Islamiyah Perspektif Keamanan Nasional' di Jakarta, Minggu (14/8/2022).
"Hal itu (radikalisme) bisa di eksploitir oleh kelompok-kelompok yang mengidolakan kekerasan yang mungkin ada di dalam organisasi tersebut," kata Indah dalam seperti dikutip dalam keterangan pers, Senin (15/8/2022).
Dia menilai, seorang yang membelot dan percaya dengan paham radikalisme tidak melulu soal rendahnya pendidikan dan ekonomi yang sulit. Namun lebih kepada soal trauma terhadap tiga poin tersebut, yakni tinggal di lingkup yang tidak demokratis, meniadakan HAM, dan anti gender setara.
Indah meyakini, jalan deradikalisasinya adalah menhidupkan persfektif kesetaraan gender, penegakkan HAM, dan pemikiran demokratis.
"Kalau kita tidak melakukan pendekatan gender dan nilai-nilai demokrasi, maka yang terjadi adalah semakin parah. Kita tanya apakah dia punya traumatik? Kalau itu tidak diurus, tapi tiba-tiba dibantu ekonomi, tidak pengaruh. Karena traumanya tidak terselesaikan," jelas Indah.
Harus Menyentuh Hati
Senada dengan Indah, Budayawan Ngatawi Al-Zastrow juga menyampaikan, pendekatan deradikalisasi bisa diramu dengan hadirnya kebudayaan yang menyentuh hati.
Sehingga bisa menghidupkan lagi pemikiran individu yang cara pandang dan berpikirnya sudah menjadi radikal.
"Kalau jalannya (deradikalisasi) lewat budaya, hatinya bisa kena. Munculnya sikap radikal karena hatinya masih keras, makanya kita hidupkan hatinya kembali hati,” turur Zastrow dalam diskusi yang sama.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Jangan Dilawan dengan Militer
Zastrow tidak sepaham, jika radikalisme dilawan dengan tindakan operasi militer akan bisa berjalan.
Sebab, kekerasan dilawan kekerasan tidak akan menjadi solusi dari hilangnya paham radikal pada seseorang yang meyakininya.
"Kalau ditangani dengan operasi militer akan dianggap medan jihad dan mereka akan melegitimasi kalau kekuasaan ini togut, karena mereka tidak meyakini itu, karena itu akan mereka lawan. Kalau budaya yang disasar hatinya hidupkan itu," dia menandasi.