Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah serius mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pendanaan teroris di Indonesia. Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menerangkan, TPPU dan Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana extraodinary yang bersifat internasional dengan transnasional crime sehingga harus ditangani secara extraordinary, berkembang, dan dinamis.
"Kita harus aktif karena modus operandi selalu berkembang. Maka kita harus beradaptasi kepada modus operandi yang ada," kata Tito Karnavian memberikan sambutan mewakili Menko Polhukam pada acara diskusi tentang Diseminasi Regulasi Mengenai Tata Cara Pelaporan Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain Ke Dalam atau Ke Luar Daerah Pabean Indonesia, Rabu (23/11/2022).
Baca Juga
Tito menerangkan, pelaku tindak kejahatan melakukan berbagai upaya untuk menyembunyikan dan menyamarkan hasil tindak pidana sehingga hasil tindak pidana seolah-olah sumber yang sah.
Advertisement
Dia menerangkan, pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lalu lintas batas negara atau cross border baik dan ke dalam maupun keluar wilayah pabean Indonesia merupakan salah satu bentuk modus operandi pencucian uang atau pendanaan terorisme.
"Sehingga aktivitas yang menggunakan uang tunai baik pembawan maupun pembayaran kerap kali digunakan pelaku kejahatan dengan tujuan untuk menghindari deteksi dan monitor baik PPATK maupun aparat penegak hukum untuk melakukan identifikasi dan penelusuran aset tindak pidana," ujar dia.
Terkait hal ini, Tito memuji kerja sama hubungan sektor privat termasuk pengelola bandar udara dan pelabuhan melalui penyelidiaan fasilitas sebagai otoritas yang berwenang untuk melakukan deteksi dini dan pemeriksaan atas aktivitas yang mencurigakan pembawan uang.
Upaya Pencegahan
Hal ini ditunjukkan meningkatnya jumlah pelaporan pembawaan uang tunai pada periode Januari 2022 sampai September 2022. PPATK menerima 1.813 dari 9 lokasi pelaporan yang ada di perbatasan Indonesia mayoritas Batam.
Tito menerangkan, upaya pencegahan TPPU dan pencegahan pendanaan terorisme di Indonesia sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Ada lima yakni membuka investasi seluas luasnya untuk membuka lapangan kerja, memangkas hambatan investasi untuk mempermudah iklim investasi, meningkatnya jumlah investasi Indonesia dari dalam negeri maupun luar negeri.
Ini, kata dia harus didukung dengan stabilitas ekonomi yang kuat dan integritas sistem keuangan yang dapat dipercaya.
Adapun, caranya pemerintah bersama-sama sektor swasta menghasilkan dana-dana dan aset-aset yang masuk dalam sistem keuangan Indonesia bersumber dari aktivitas yang legal dan mencegah masuknya dana-dana atau aset-aset yang bersumber dari aktivitas yang ilegal atau yang disebut dengan hot money yang memiliki karakteristik easy come easy go.
"Pemerintah tidak mengharapkan Indonesia menjadi surga pencucian uang. Di mana aset atau dana yang ditempatkan atau diinvestasikan hanya untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana atau proses of crime," ujar dia.
Menurut dia, kunci utama keberhasilan menerapkan regulasi dalam rangka uang tunai atau instrumen pembayaran lain ialah kolaborasi.
"Tidak bisa dikerjakan oleh satu instansi sendiri," ujar Tito.
Advertisement
Tantangan yang Perlu Diwaspadai
Tito mengungkapkan, dua tantangan yang perlu diwaspadai dan antisipasi dan mitigasi. Pertama membuat balancing antara security dengan comfort.
"Kita tahu bahwa pembawaan uang atau money flow ke dalam Indonesia maupun luar Indonesia tidak hanya dilakukan oleh bad guy atau pelaku kejahatan baik money laundry dengan predikat crime masing-masing. Oleh karena itu dalam open kebijakan dan regulasi dan aksi di lapangan," ujar dia.
Dalam hal ini, Tito lebih mengedapankan aspek ekonomi dibandingkan security bukan berarti membiarkan pelaku kejahatan untuk bergerak.
"Tapi bagaimana mengutamakan ekonomi agar tetap tumbuh inflasi tetap terjaga, penguatan ekonomi tetap berjalan tapi juga tidak tidak sampai membuat para good guys atau pemain-pemain ekonomi merasa tidak nyaman discomfort dengan adanya kebijakan-kebijakan," ujar dia.
"Kita semua bersaing pada negara-negara lain dalam rangka mencari investasi beberapa negara malah mempermudah mempermudah arus orang dan barang," tandas dia.
Sementara itu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mencatat terjadi perbedaan antara data bawaan uang tunai melintasi batas negara (Cross Border Cash Carrying) atau CBCC dengan aplikasi Passenger Risk Management (PRM).
Misal laporan yang PPATK terima terkait masuknya X ke Indonesia itu hanya 4 kali dari satu nama. Si X hanya terpantau melaporkan melalui Cross Border Cash Carrying atau CBCC empat kali. Namun, Begitu dicek ternyata dia telah masuk 154 kali.
"Berarti ada 150 kali dia masuk tidak melaporkan. Angkanya 4 kali itu Rp 66 Miliar. Lalu kita rata-ratakan dan asumsi pastinya, mereka keluar sana itu tidak mungkin tidak dalam rangka bawa uang, ngambil uang. Artinya kalau rata-rata Rp 66 miliar dibagi 4 itu Rp 15 miliar sekali datang," ujar dia.