Liputan6.com, Jakarta Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) diterima oleh 29 pelaku seni dan budaya. Seluruh penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia tersebut terdiri dari perorangan dan kelompok/ lembaga, dengan rincian lima penerima untuk Gelar Tanda Kehormatan dari Presiden RI dan 24 penerima dari Mendikbudristek.
Penyerahan anugerah tersebut dilakukan pada kegiatan Malam Anugerah Kebudayaan Indonesia tahun 2022 yang dihelat di Jakarta, Jumat (9/12/2022). Anugerah Kebudayaan Indonesia dilaksanakan sebagai bentuk penghargaan dan dukungan pemerintah bagi pelaku budaya yang telah mendedikasikan dirinya bagi pemajuan kebudayaan.
Anugerah Kebudayaan Indonesia 2022 terbagi ke dalam 7 (tujuh) kategori yaitu: 1. Gelar Tanda Kehormatan dari Presiden RI, 2. Pelopor dan Pembaru, 3. Maestro Seni Tradisi, 4. Pelestari, 5. Anak dan Remaja, 6. Lembaga, dan 7. Media. Dalam tahap pelaksanaannya, Kemendikbudristek menerima 398 usulan calon penerima yang disampaikan melalui Pemerintah Daerah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Kebudayaan.
Advertisement
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam sambutannya pada Anugerah Kebudayaan Indonesia 2022 menyampaikan selamat dan apresiasi kepada para penerima penghargaan.
“Misi kebudayaan yang saat ini kita dorong, tidak hanya upaya merawat tradisi peninggalan leluhur, tetapi juga membuatnya terus adaptif dan relevan,” ujarnya.
Kiprah Mestro Seni Tradisi: Kada
Kada atau Aba Fatimah menjadi salah satu penerima penghargaan dalam kategori Maestro Seni Tradisi. Pria kelahiran 1 Juli 1943 ini telah tujuh dekade mendedikasikan hidupnya pada seni tradisi Kacaping Mandar, sebuah seni pertunjukan dalam bentuk sastra lisan yang merupakan seni tradisional Suku Mandar di Sulawesi Barat. Sosoknya pun telah dikenal oleh masyarakat luas.
Kada merupakan kacaping Tommuane dari Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Sebagai seorang putra dari sang ayah yang dulunya pemain kacaping di Istana Kerajaan Balanipa, ia telah menggemari dunia kacaping sejak usia 13 tahun dengan belajar secara otodidak.
Sejak duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat), bakat Kada muda dalam dunia musik kacaping sudah terlihat. Setiap ada pertunjukan kacaping di kampungnya, Kada selalu ikut memainkan kacaping sebelum para pakkacaping memulai pertunjukannya.
Hidupnya pun mulai berubah pada tahun 1967 ketika ia tampil dalam pertunjukan kacaping di Tinambung sebagai pakkacaping profesional. Sejak saat itu, Kada sering diundang dari kampung ke kampung untuk menghibur masyarakat dengan musik kacaping yang dikuasainya.
Kiprah Kada sebagai pakkacaping makin meluas saat beberapa kali menjadi duta Kabupaten Polewali Mandar dalam acara-acara kesenian tradisi tingkat regional khusus di Provinsi Selatan pada tahun 2003. Ia makin dikenal sejak menjadi delegasi Sulawesi Barat ke tingkat nasional dan menjemput tamu-tamu kehormatan yang berkunjung setelah Sulawesi Barat resmi melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004.
Sebagai seniman tradisi, Kada sering melakukan pertunjukan kacaping Mandar hampir di seluruh pelosok desa Sulawesi Barat, Donggala di Sulawesi Tengah hingga Kalimatan (Sangata, Bontang, Muara Bada, Samarinda, Balikpapan, Panajam, Grogot, Tarakan, Nunukan, Batu Licin dan Karrasing) dan juga kota Solo serta Jakarta telah dikunjunginya sebagai duta pakkacaping Mandar.
Advertisement
Maestro Seni Tradisi yang Multitalenta
Sebagai seorang seniman tulen, Kada benar-benar multitalenta. Tidak hanya memainkan alat musik dan bersyair, ia juga mahir membuat alat musik kacaping dari tangannya sendiri.
Kada selalu menggunakan kayu utuh dari pohon Nangka atau kayu cendana karena kualitasnya dikenal bagus untuk membuat kacaping dan memiliki warna merah yang alami. Dibutuhkan waktu satu minggu untuk menghasilkan satu buah kacaping Mandar dari tangannya.
Kacaping Mandar sering dijumpai dalam perhelatan penting, seperti perkawinan, khitanan atau acara adat lainnya. Alat musik yang digunakan adalah kacaping (kecapi) yang berbentuk seperti gitar namun lebih panjang dan ramping serta bersenar dua.
Sembari memainkan kacaping, pakkacaping melantunkan syair penuh makna yang tercipta secara alami sesuai suasana pada saat perhelatan berlangsung. Umumnya, syair-syair tersebut bermakna sanjungan (tere), kisah tentang semangat patriotisme (tolo) dan pesan-pesan religius (masaala).
“Tidak ada persyaratan khusus bagi mereka yang ingin belajar menjadi seorang pakkacaping. Tidak perlu suara yang merdu. Yang penting, bagus dalam penyebutan syair. Sama seperti orang yang belajar mengaji. Walaupun suara tidak bagus, tapi tajwid bagus, itu yang baik,” tutur Kada.
(*)