Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) telah resmi diterbitkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Jumat 30 Desember 2022.
Meski telah resmi diterbitkan Presiden Jokowi, Perppu Cipta Kerja masih menuai beragam tanggapan pro kontra dari para tokoh di masyarakat.
Misalnya para pengusaha yang menilai kebijakan dalam Perppu Cipta Kerja dapat memberikan kepastian bagi investor dalam menanamkan modalnya.
Advertisement
Namun, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menilai, Perppu Cipta Kerja justru jadi bentuk inkonsistensi kebijakan pemerintah yang membuat investor bingung.
"Artinya (UU Cipta Kerja) baru berjalan satu tahun lebih, masih dalam proses penyempurnaan, substansinya sudah dirubah. Tentunya ya dipertanyakan investor ya itu, kok kebijakan terlalu cepat berubah. Sehingga mereka akan sulit memprediksi ke depan," ujar Anton kepada Liputan6.com, Senin 2 Januari 2023.
Kemudian, kritik datang dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY mengatakan, Perppu Cipta Kerja tersebut mengabaikan pelibatan masyarakat.
"Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya. Selain terbatasnya pelibatan publik, sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi," ujar AHY dalam keterangannya, Selasa (3/1/2023).
Berikut sederet tanggapan pro kontra dari para tokoh terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi dihimpun Liputan6.com:
1. Pengusaha
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kebijakan ini dinilai dapat memberikan kepastian bagi investor dalam menanamkan modalnya.
Namun, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menilai, Perppu Cipta Kerja justru jadi bentuk inkonsistensi kebijakan pemerintah yang membuat investor bingung.
"Artinya (UU Cipta Kerja) baru berjalan satu tahun lebih, masih dalam proses penyempurnaan, substansinya sudah diubah. Tentunya ya dipertanyakan investor ya itu, kok kebijakan terlalu cepat berubah. Sehingga mereka akan sulit memprediksi ke depan," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin 2 Januari 2023.
Anton menyatakan, dirinya belum mau berbicara substansi Perppu Cipta Kerja secara detil. Akan tetapi, ia menambahkan, bila penerbitan cepat aturan pengganti UU Cipta Kerja itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi investor, ia justru merasa tidak ada kepastian.
"Karena ketidakpastiannya itu kebijakan yang terlalu cepat berubah-ubah, sehingga calon investor sudah mempertanyakan. Kalau tiap kali berubah begini, susah mereka memprediksi ke depan," imbuhnya.
Anton berpikir, pastinya ada banyak kelompok kepentingan yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Pertama, tentunya pekerja yang butuh peningkatan kesejahteraan.
"Tapi jangan lupa, ada kepentingan lain yaitu kepentingan pencari kerja, dan pengusaha itu sendiri sang pemberi kerja. Tentunya pemerintah salah satu kelompok kepentingan karena menyangkut penerimaan pajak, ekspor, dan lain-lain," ungkapnya.
"Apakah kepentingan semua ini dipikirkan? Saya hanya mau bicara filosifis saja, yang umum. Setiap kali berubah gini, ini bagaimana proyeksi ke depan?" tegas Anton.
Padahal, ia menilai maksud dari UU Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Khususnya dalam merubah para pekerja informal jadi formal agar mendapat perlindungan lebih.
"Pertanyaannya, apakah dengan merubah ini kira-kira akan menambah lapangan kerja tidak? Pertanyaan justru di situ, karena para investor mempertanyakan ini. Kok ada kebijakan yang belum maksimal (berjalan) sudah berubah," tuturnya.
Advertisement
2. Asosiasi Pekerja
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) merasa dikibuli oleh keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Terlebih, aturan itu dinilai hanya menaungi kepentingan pemodal dibanding tuntutan buruh.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menilai, Perppu Cipta Kerja jadi akal-akalan untuk memaksakan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkostitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya, isi Perppu Cipta Kerja justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh kelompok buruh.
"Sehingga pemerintah bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah yang tentunya hanya akan menguntungkan kelompok pemodal atau investor," keluh Mirah, Senin 2 Januari 2023.
"Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat," tegasnya.
Mirah lantas menjabarkan 7 tuntutan serikat pekerja yang tidak diakomodir oleh Perppu Cipta Kerja, antara lain:
- Sistem kerja outsourcing tetap dimungkinkan diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas.
- Sistem kerja kontrak tetap dimungkinkan dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
- Sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak.
- Masih hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.
- Tetap dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
- Berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.- Kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.
"Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya semakin menegaskan bahwa rakyat Indonesia selama ini hanya dijadikan obyek untuk keuntungan pemilik modal, yang memanfaatkan DPR selaku legislatif dan pemerintah selaku eksekutif," pungkasnya.
3. Partai Demokrat
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengkritik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, Perppu tersebut mengabaikan pelibatan masyarakat.
"Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya. Selain terbatasnya pelibatan publik, sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi," ujar AHY dalam keterangannya, Selasa (3/1/2023).
Menurut AHY, proses yang diambil pemerintah tidak tepat dan tidak ada argumen kegentingan yang tampak dalam Perppu tersebut. Selain itu, lanjutnya, tidak tampak perbedaan signifikan antara isi Perppu ini dengan materi UU sebelumnya.
"Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jelas MK meminta perbaikan melalui proses legislasi yang aspiratif, partisipatif dan legitimate. Bukan justru mengganti UU melalui Perppu. Jika alasan penerbitan Perppu harus ada ihwal kegentingan memaksa, maka argumen kegentingan ini tidak tampak di Perppu ini," jelas AHY.
AHY menegaskan bahwa keluarnya Perppu Cipta Kerja ini adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan tidak partisipatif.
"Lagi-lagi, esensi demokrasi diacuhkan. Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite. Janganlah kita menyelesaikan masalah, dengan masalah," tegas AHY.
AHY menyebut terbitnya Perppu ini membuat masyarakat dan kaum buruh masih berteriak dan menggugat lagi.
"Menggugat tentang skema upah minimum, aturan outsourcing, PKWT, aturan PHK, TKA, skema cuti, dan lainnya. Mari terus belajar. Janganlah kita terjerumus ke dałam lubang yang sama," pungkas AHY.
Advertisement
4. PAN
Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay menilai DPR perlu melakukan kajian mendalam sebelum menyatakan menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Menurut Saleh, Perppu Cipta Kerja berisi banyak pasal sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajarinya.
"Setiap produk Perppu, tentu perlu mendapat persetujuan DPR, untuk itu perlu ada kajian. Masing-masing partai akan membahas dan memberikan pandangannya, dan pada akhirnya DPR boleh menyatakan menerima atau menolak," kata Saleh di Jakarta, Selasa (3/1/2022).
Dia menjelaskan Perppu tersebut baru diterbitkan pada 30 Desember 2022 sehingga dirinya belum tuntas mempelajarinya secara mendalam.
Menurut dia, ada dua hal penting yang harus didalami terkait Perppu tersebut yaitu apa menjadi ketentuan baru dan apa perbedaannya dengan UU Ciptaker yang sudah disahkan.
"Nanti baru bisa membandingkan apa yang sudah baik, yang perlu disempurnakan, yang perlu dilengkapi dengan aturan turunan, dan seterusnya," ujarnya. Dilansir dari Antara.
Selain itu menurut dia, pemerintah harus menjelaskan kepada publik terkait sifat kegentingan yang memaksa terkait terbitnya Perppu Ciptaker tersebut.
Saleh menilai pemerintah perlu menjelaskan apakah betul bahwa resesi ekonomi global bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk menyebutkan adanya kegentingan yang memaksa.
"Pihak yang menerbitkan perppu adalah pemerintah sehingga harus menjelaskan soal kegentingan. DPR dan masyarakat adalah bagian yang ikut untuk menilai soal kegentingan tersebut," katanya.
Saleh menjelaskan dirinya mendapatkan informasi bahwa Perppu Ciptaker dikeluarkan untuk menggugurkan keputusan MK yang mengatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Menurut dia, pemerintah harus menjelaskan hal tersebut, apa benar dengan keluarnya Perppu Ciptaker maka status inkonstitusional bersyarat jadi hilang.
"Bagaimana kalau nanti setelah berubah jadi UU, lalu dilakukan uji materi ke MK, lalu diambil keputusan yang sama? Kalau ini para ahli hukum dan tata negara yang bisa menganalisi dan berkomentar," jelas Saleh.
5. Wakil Ketua MPR RI
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan NKRI sesuai ketentuan Konstitusi adalah negara hukum.
Oleh karena itu, ia menilai seharusnya Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat.
"Seharusnya melaksanakan keputusan MK sepenuh hati dengan intensif mengajak DPR untuk segera melaksanakan putusan MK tersebut. Bukan malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUDNRI 1945 adalah final dan mengikat," kata HNW dalam keterangannya, Selasa (3/1/2023).
Politikus PKS itu menyebut MK meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, salah satunya, karena tidak adanya meaningful participation atau partisipasi masyarakat yang bermakna.
"Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa meaningful participation yg diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan. Sekarang bukan hanya masyarakat yang tidak dillibatkan, bahkan DPR selaku lembaga perwakilan rakyat pun, tidak diajak untuk membahas substansi dan praktek revisi yang diputuskan oleh MK itu," ujarnya.
Menurut HNW, pada masa sidang terdekat, DPR akan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu tersebut.
"Maka akan mustahil apabila DPR diminta mengkaji dan menyetujui dengan baik dan benar terhadap Perppu yang terdiri dari 186 pasal yang ‘beranak pinak’ dan 1.117 halaman itu dalam waktu yang sangat sempit," kata dia.
HNW menyayangkan hal tersebut sebab waktu yang disediakan MK untuk merevisi UU itu masih tersedia. Karena MK memberikan batas waktu luang dua tahun atau hingga 25 November 2023.
Selain itu, HNW menilai penerbitan Perppu No 22/2022 ini juga tidak sesuai dengan syarat untuk bisa diterbitkannya Perppu. Aturan itu ada dalam Konstitusi/UUD NRI 1945 pasal 22 ayat (1) yakni adanya kegentingan yang memaksa.
"Walaupun secara teori, tafsir kegentingan yang memaksa itu adalah penilaian subjektif presiden, tetapi common sense dan pada prakteknya tentu harus didukung dengan argumentasi yang legal rasional, dan kemudian perlu diuji secara objektif oleh DPR," pungkasnya.
Advertisement