Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sembilan anggota DPRD Jawa Timur (Jatim) untuk diperiksa, terkait dugaan suap dana hibah. Salah satu dari sembilan orang tersebut adalah Ketua DPRD Jatim Kusnadi.
Kepala Bagian Pemberitaan Ali Fikri menjelaskan, mereka dipanggil dalam kapasitasnya sebagai saksi. Selain Kusnadi, delapan orang lainnya adalah Sri Untari, Fauzan Fu'adi, Muhammad Fawait, Muhamad Reno Zulkarnaen, dan Blegur Prijanggono.
Baca Juga
"Pemeriksaan saksi terkait kasus tindak pidana korupsi suap dalam pengelolaan dana hibah Provinsi Jawa Timur, untuk Tersangka SHTPS (Sahat Tua P. Simandjuntak, wakil ketua DPRD Jatim)," kata Ali dalam keterangn diterima, Rabu (1/2/2023).
Advertisement
Ali melanjutkan, pemeriksaan terhadap mereka tidak dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, melainkan di Mako Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jawa Timur.
“Pemeriksaan di Mako Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jawa Timur,” terang Ali.
Dalam kasus ini, selain Sahat Tua P. Simandjuntak, KPK juga menjerat tiga tersangka lainnya, yakni Rusdi selaku Staf Ahli Sahat, Kepala Desa Jelgung Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang sekaligus selaku Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas) Abdul Hamid, dan Koordinator Lapangan Pokmas bernama Ilham Wahyudi alias Eeng.
KPK menyebut, untuk tahun anggaran 2020 dan 2021 dalam APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di Pemprov Jatim.
Distribusi penyalurannya antara lain melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk proyek infrastruktur hingga sampai tingkat pedesaan. Terkait pengusulan dana belanja hibah tersebut merupakan penyampaian aspirasi dan usulan dari para anggota DPRD Jatim, salah satunya adalah Sahat.
Sahat menawarkan diri membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah tersebut dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang sebagai uang muka alias ijon. Kemudian Abdul Hamid menerima tawaran tersebut.
Sahat Mendapat 20 Persen dari Nilai Penyaluran Dana Hibah
Diduga Sahat mendapat bagian 20 persen dari nilai penyaluran dana hibah yang akan disalurkan sedangkan Abdul Hamid mendapatkan bagian 10 persen. Adapun besaran nilai dana hibah yaitu di tahun 2021 dan 2022 telah disalurkan masing-masing sebesar Rp 40 miliar.
Agar alokasi dana hibah untuk tahun 2023 dan 2024 bisa kembali diperoleh Pokmas, Abdul Hamid kemudian kembali menghubungi Sahat dan sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp 2 miliar.
Realisasi uang ijon tersebut dilakukan pada Rabu 13 Desember 2022 dimana Abdul Hamid melakukan penarikan tunai sebesar Rp 1 miliar dalam pecahan mata uang rupiah di salah satu Bank di Sampang dan kemudian menyerahkannya pada Eeng untuk dibawa ke Surabaya.
Eeng pun menyerahkan uang Rp 1 miliar tersebut pada Rusdi sebagai orang kepercayaan Sahat di salah satu mal di Surabaya. Setelah uang diterima, Sahat memerintahkan Rusdi menukar uang Rp 1 miliar tersebut di salah satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang SGD dan USD.
Advertisement
Uang Diserahkan di Ruangan Gedung DPRD Jatim
Rusdi kemudian menyerahkan uang tersebut pada Sahat di salah satu ruangan yang ada di gedung DPRD Provinsi Jawa Timur. Sedangkan sisa Rp 1 miliar yang dijanjikan Abdul Hamid akan diberikan pada Jumat 16 Desember 2022. Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, Sahat telah menerima uang sekitar Rp 5 miliar.
Atas perbuatannya, Abdul Hamid dan Eeng sebagai penyusp disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Sahat dan Rusdi sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.