Indeks Persepsi Korupsi Merosot, Proses Hukum Heli AW-101 Disorot

Kurnia Ramadhan mengaku khawatir dengan lembaga antirasuah saat ini. Ia takut KPK menanggapi merosotnya IPK ini dengan biasa-biasa saja.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Feb 2023, 22:24 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2023, 22:24 WIB
IPK Indonesia
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, peneliti ICW Kurnia Ramadhana, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Wayan Sudirta, dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menjadi narasumber dalam diskusi 'Safari24 Total Politik' di Kalibata. (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang merosot empat poin pada 2022 banyak disoroti oleh publik. Dalam indeks disebutkan Indonesia berada pada angka 34, turun dari sebelumnya 38. Selain itu, posisi Indonesia juga berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.

Transparency International Indonesia (TII) menyebut, rilis IPK Indonesia 2022 itu mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.

Hal ini juga dibahas dalam diskusi 'Safari24 Total Politik' dengan tema 'Persepsi Korupsi Melorot, Kinerja Pemberantasan Korupsi Disorot'. Acara ini digelar di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (12/2/2023).

Acara ini menghadirkan narasumber Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, peneliti ICW Kurnia Ramadhana, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Wayan Sudirta, dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.

Dalam paparannya, Margarito Kamis menyebut pemberantasan hukum di KPK mulai terpolitisasi. Dia pun menyoroti penegakan hukum yang dilakukan KPK dalam kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU.

Menurut Margarito, proses hukum Heli AW-101 sangat dipaksakan sejak kasus ini dimulai tahun 2017 yang lalu. Salah satu yang dipersoalkan yakni audit kerugian keuangan negara dalam kasus ini tidak dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Saya tergelitik, audit harusnya dilakukan BPKP, bukan internal KPK. KPK tidak punya kewenangan untuk melakukan audit. Memang di praperadilan sudah diakui kalau kasus ini layak untuk disidangkan, tapi menurut saya tetap ada masalah. Kita tidak mau ada pemberantasan korupsi yang prosesnya di luar kewenangan. Begitu hukum bobrok, habis bangsa ini," ujar Margarito.

 

 

Tidak Boleh Menyimpang

Hal senada juga disampaikan Wayan, menurutnya siapa pun yang menjadi ketua KPK tidak boleh menyimpang.

"Lemahnya integritas dan kualitas penegak hukum di bidang-bidang seperti pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Kita harus benahi. KPK juga kurang koordinasi dan supervisi. Banyak sekali kekurangan KPK yang dibahas di Komisi III. Reformasi birokrasi sudah dimulai tapi masih tertatih-tatih," kata Wayan.

Namun KPK, melalui Ali Fikri mengatakan hal tersebut adalah perkara teknis. "Terkait kasus AW itu perkara teknis, dalam hal perbedaan pendapat itu hal biasa. Nanti di persidangan bisa dibuktikan," ungkap Ali.

Dengan begitu, lanjut Margarito, KPK mengenyampingkan prinsip-prinsip proses hukum yang baik. Sehingga ada kekhawatiran merugikan orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah justru dipersalahkan karena KPK ingin dinilai masyarakat menjalankan kinerja yang baik.

"Terkait nama baik yang tercemar karena proses hukum, suka atau tidak suka, penegakan hukum harus ditakar dengan prinsip-prinsip yang beres dulu. Jadi tidak boleh serampangan," kata Margarito.

 

Khawatir Tidak Ada Trust

Sementara Kurnia Ramadhan mengaku khawatir dengan lembaga antirasuah saat ini. Kurnia takut KPK menanggapi merosotnya IPK ini dengan biasa-biasa saja.

"KPK tidak ada trust dari eksekutif, saya khawatir di internal KPK disibukkan dengan prestasi-prestasi yang semu, harus ada perbaikan internal di KPK. Presiden harus campur tangan untuk upaya pemberantasan korupsi saat ini. Itu janjinya, jangan sampai 2024 presiden dicap lip service. Presiden adalah atasan administratif penegak hukum, campur tangannya sangat dibutuhkan saat ini," punkas Kurnia.

Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 turun empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38. Dengan raihan tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.

Diketahui, skor IPK mulai dari 0 hingga 100. 0 artinya sangat korup sementara 100 sangat bersih. Pada 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96.

"Corruption Perception Index Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," ujar Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam keterangan pers, Selasa (31/1/2023)

TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.

Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 83, diikuti Malaysia dengan skor 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, Thailand 36, Indonesia 34, Filipina 33, Laos 31, Kamboja 24, dan Myanmar 23.

Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor 87, Norwegia 84, Singapura dan Swedia 83, serta Swiss 82. Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan 13, serta Venezuela 14.

"Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," kata Wawan.

 

Infografis Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Melorot 4 Poin. Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Melorot 4 Poin. Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya