Liputan6.com, Jakarta Makin lunturnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia, utamanya di kalangan generasi muda, memantik keprihatinan Jend. TNI (Purn.) Prof. Dr. A. M. Hendropriyono, guru besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara.
Hendropriyono mengakui saat ini banyak generasi muda yang sudah tidak bangga bercakap-cakap bahasa Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah internasionalisasi, sehingga kebudayaan menjadi hilang.
Baca Juga
Dalam sebuah diskusi di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila terkait Penyusunan Dokumen Ekonomi Pancasila pada Selasa (14/03/2023), tokoh intelijen dan militer Indonesia tersebut menjelaskan, terbentuknya kedaulatan rakyat yang bisa menjamin kesejahteraan akan terwujud dari ketahanan pangan serta infrastruktur yang layak didapatkan masyarakat.
Advertisement
Oleh sebab itu, dalam penyusunan naskah Dokumen Ekonomi Pancasila—yang akan diajukan menjadi RUU—juga harus sesuai dengan kesejahteraan rakyat dan nilai-nilai Pancasila.
“Saya sendiri mengingatkan bahwa aksara juga salah satu bagian dari Trisakti, yaitu politik, ekonomi, dan kebudayaan. Peristiwa Sumpah Pemuda menyatakan bahwa kita bersumpah berbahasa satu, bahasa Indonesia. Sementara saat bahasa Indonesia dicanangkan pada 1928 itu, baru bahasa lisan, bukan tulisan,” ucapnya saat dihubungi Liputan6.com hari ini, Jumat (17/03/2023)
Hendropriyono menekankan, sebagai bangsa, Indonesia perlu memiliki aksara tersendiri agar lebih bisa memahami dan mendalami karakter Indonesia. Ia membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki aksaranya tersendiri, seperti Cina, Korea, Bulgaria, Thailand, dan Rusia.
Menurut Hendropriyono, aksara yang dipakai dalam bahasa Indonesia sekarang ini adalah aksara Latin.
“Kalau kita punya aksara tersendiri, baru kita bisa berdiri sama tinggi dan sama rendah dengan bangsa lain. Tidak hanya itu saja, Indonesia punya bisa maju dan menggali kemandiriannya serta kesejatianya,” kata dia menegaskan.
Aksara Nusantara Sebagai Pemersatu
Hendropriyono mengakui bahwa banyak aksara di berbagai daerah di Indonesia yang sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Di antaranya Aceh, Batak, Bali, Padang, Makassar, Nusa Tenggara, dan Papua. Namun, berpijak pada kenyataan bahwa bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu Riau, ditambah beberapa dari bahasa daerah dan pengaruh asing, konsep yang sama bisa dipakai untuk aksara khas Nusantara.
“Menurut saya, karakter hanacaraka bisa disempurnakan dengan aksara dari daerah-daerah lain hingga jadi aksara Nusantara, tapi bahasanya Indonesia,” ujarnya menjelaskan.
Ia mengakui upaya mengenalkan aksara nasional ini tidak bisa instan. Tentu perlu proses pembelajaran bertahun-tahun melalui kurikulum di sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga universitas.
“Kita perlu satu aksara untuk satu Indonesia. Dalam hal ini, tentu Kemendikbud harus ambil peran. Prosesnya memang tidak bisa instan. Mungkin kita tidak bisa. Tapi dalam 20-30 tahun ke depan, saya yakin ini bisa diimplementasikan,” ucapnya lagi.
Hendropriyono berangan-angan ketika Ibu Kota Nusantara diresmikan oleh pemerintah pada 2024, Indonesia sudah punya aksara tersendiri. Bahkan, IKN jadi pemantapan deklarasi tekad.
“Kita harus bergerak sekarang, ujung tombaknya adalah Mendikbud,” katanya menegaskan.
Advertisement