Liputan6.com, Jakarta - Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono menaikkan status operasi di Papua menjadi siaga tempur. Hal ini buntut penyerangan yang dilakukan Kelompok Separatis Teroris (KST) yang mengakibatkan satu personel atas nama Pratu Miftahul Arifin gugur.
Menanggapi perubahan status tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan akan berdampak pada banyaknya korban yang berjatuhan. Pendekatan tersebut dinilanya tidak membuat kekerasan di Papua menjadi terhenti.
Baca Juga
“Selama puluhan tahun, Jakarta menerapkan pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik di Papua, selama itu pula korban terus berjatuhan. Pendekatan keamanan terbukti tidak menyelesaikan kekerasan di Papua. Namun negara tidak pernah belajar dari pengalaman ini,” kata dia, Selasa (18/4/2023).
Advertisement
Ia pun menyayangkan keputusan itu diambil oleh TNI. Kebijakan ini akan memberikan dampak yang besar bagi Papua.
“Kami menyayangkan keputusan Panglima TNI yang menaikkan status operasi TNI menjadi siaga tempur. Status siaga tempur ini merupakan keputusan dengan dampak yang besar dan hingga diumumkan Panglima TNI, belum ada keputusan politik dari negara terkait status ini," kata dia.
Terlebih lagi pemberlakuan siaga tempur ini meningkatkan risiko keselamatan warga sipil di sana dan juga pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mehrtens, yang masih disandera kelompok pro-kemerdekaan pimpinan Egianus Kogoya.
"Potensi pelanggaran HAM dengan korban jiwa juga makin besar, apabila kita merujuk pada insiden kekerasan empat tahun belakangan ini. Dan korbannya tidak hanya warga sipil, namun juga dari kalangan aparat keamanan," ujar dia.
Secara otomatis, dia menjelaskan, status ini pun berisiko menimbulkan eskalasi kekerasan di Papua. Ia mengingatkan bahwa kondisi HAM di Papua sudah sangat mengkhawatirkan.
"Kami mencatat dalam lima tahun terakhir setidaknya sudah 179 warga meninggal dalam puluhan kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua," ujar dia.
Untuk itu, pihaknya menyerukan agar aparat keamanan segera menghentikan operasi militer dengan status siaga tempur TNI. Ia mengimbau agar mengedepankan pendekatan dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan dan pihak-pihak terkait untuk mencegah potensi pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan yang lebih besar.
“Kami juga mendesak agar proses pembebasan sandera dilakukan tanpa menimbulkan korban sipil,” ujar dia.
Peningkatan Status di Papua
Laporan media menyebutkan bahwa Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada Selasa 18 April menaikkan status operasi TNI dari pendekatan lunak (soft approach) menjadi siaga tempur. Peningkatan status ini dilakukan setelah terjadinya serangan dari kelompok pro-kemerdekaan Papua pada Sabtu 15 April yang telah menewaskan seorang prajurit TNI, empat orang luka-luka, dan empat orang lainnya hilang di Nduga, Papua Pegunungan, seperti yang dikutip Panglima TNI.
Insiden ini terjadi saat TNI dikabarkan tengah mencari pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mehrtens, yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pimpinan Egianus Kogoya sejak 7 Februari 2023.
Dalam Pasal 17 Undang-undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI merupakan kewenangan Presiden dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Data yang diperoleh Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa sejak 2018 hingga 2022, terdapat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Selama periode 2018 hingga 2022, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Advertisement