PPP Minta MK Tolak Gugatan Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan gugatan Undang-undang Partai Politik terkait masa jabatan ketua umum partai. Sebab, menurut Baidowi, tidak seharusnya MK mengatur internal partai.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Jun 2023, 14:14 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2023, 14:14 WIB
Kubu Romahurmuziy Tempati Kantor DPP PPP
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan gugatan Undang-undang Partai Politik terkait masa jabatan ketua umum partai. Sebab, menurut Baidowi, tidak seharusnya MK mengatur internal partai.

"Bukan ranah MK mengurusi partai politik, karena partai politik itu bukan alat negara. Partai politik itu mitranya negara dan partai politik punya aturan main tersendiri," ujar Baidowi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/6/2023).

Menurut politikus yang akrab disapa Awiek, partai politik diberikan kemandirian untuk mengatur dirinya dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

"Diberikan kewenangan kepada partai politik untuk mengatur dirinya sendiri. Partai politik bukan pejabat publik, partai politik ya swasta kan? Ngapain diatur-atur?" kata Awiek.

Maka, kata Awiek, PPP berharap gugatan tersebut tidak dikabulkan oleh MK, karena terlalu jauh mengurusi urusan internal partai.

"Jadi saya berharap MK tidak mengabulkan gugatan itu karena sudah terlalu masuk ke urusan domestik partai politik yang mana partai politik merupakan pilar demokrasi," ujar Awiek.

Senada, Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron sebelumnya juga merespons soal gugatan masa jabatan ketua umum partai politik diatur hanya dua periode. Dia menilai perihal jabatan lebih baik diurus oleh internal parpol, bukan negara.

"Menurut saya, biarkan saja ini adalah proses demokrasi yang berlangsung di internal partainya, diatur oleh rumah tangga partainya," kata Herman kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/6/2023).

"Sehingga betul-betul dinamika di internal partai juga tidak kaku semuanya diatur oleh negara," sambungnya.

Menurut Herman, gugatan yang dilayangkan ke MK tidak relevan. Sebab, pimpinan partai atau parpol sama saja seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).

"Karena pimpinan partai adalah pimpinan para pengurus partainya sama dengan sebuah organisasi. Masa organisasi, misalkan organisasi masyarakat lama dibatasi, kan enggak juga gitu," papar dia.

Lebih lanjut, dia menyebut masa jabatan ketum parpol tidak bisa disamakan dengan jabatan pejabat publik atau misal kepala negara dan kepala daerah. Ketua umum partai, kata Herman, memiliki aturan yang sangat tergantung kepada struktur di dalam partainya.

"Ketua umum partai itu diatur oleh statutanya, diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya karena ini menjadi urusan internal, menjadi urusan rumah tangga partai itu sendiri. Sehingga tidak bisa diatur oleh Negara," tutur Herman.

Dinilai Ciptakan Dinasti Politik, UU Parpol Digugat ke MK

Gedung MK
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan judicial review terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Permohonan diajukan oleh dua orang bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta.

Gugatan itu diterima pada Rabu, 21 Juni 2023, yang dikuasakan terhadap Leonardo Siahaan. Dalam gugatannya, mereka turut mempermasalahkan jabatan ketua umum partai politik (parpol) yang selama ini tidak diatur dalam undang-undang.

"Demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah sepatutnya bagi siapa pun pemimpin (ketua umum) partai politik untuk dibatasi masa jabatannya," sebagaimana alasan yang tertuang dalam permohonan, diunduh lewat situs resmi MK, Senin (26/6/2023).

Dengan mengambil contoh, kedua pemohon merasa dirugikan dan kehilangan haknya dalam menyampaikan pendapat akibat adanya kekuasaan yang begitu besar di tangan ketua umum yang cenderung bersifat otoritarianisme.

"Hal ini secara nyata terbukti dengan penentuan capres dan cawapres dari PDIP yang hanya ditentukan oleh ketua umumnya. Bahkan Joko Widodo selaku kader partai sekaligus menjabat sebagai presiden Indonesia telah mengusulkan beberapa nama untuk menjadi cawapres. Namun keputusan tetap berada dalam tangan ketua umum," katanya.

Adapun akar masalah itu, kata para pemohon dalam beleid gugatannya, karena UU Parpol tidak mewajibkan agar AD/ART mengatur mengenai batasan masa jabatan pimpinan partai politik. Hal itu dipandang berimplikasi pada kekuasaan yang terpusat pada orang tertentu dan terciptanya dinasti dalam tubuh partai politik.

"Bahwa design Undang-undang Partai Politik cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak internal dari partai itu sendiri," katanya.

"Jikalau pun terdapat pengawasan internal namun hanya diatur melalui AD dan ART partai yang bersangkutan dengan memunculkan organ internal yang penamaannya berbeda-beda setiap partai politik. Namun demikian, organ internal tersebut pun tunduk kepada pimpinan partai politik, dalam hal ini ketua umum," tambah dia.

Terlebih secara secara mayoritas sistem pemerintahan internal organisasi partai politik di Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin (sistem satu komando). Sehingga seluruh kebijakan dan keputusan partai politik berada di tangan pemimpin tertinggi.

"Bahwa tidak adanya pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik telah menyebabkan satu figur atau kelompok bahkan keluarga tertentu memegang kekuasaan di tubuh partai politik dengan begitu panjang," ujarnya.

Hal ini tentu dinilainya tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang seharusnya menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan menghindari excessive atau abuse of power. Sesuai prinsip limitasi kekuasaan lewat pemaknaan baru terhadap Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik.

"Dengan menambahkan ketentuan baku mengenai periodesasi dan masa jabatan ketua umum partai politik. Apabila masa jabatan pimpinan partai politik tidak dibatasi, maka akan membuka ruang abuse of power yang berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme, negara hukum, dan demokrasi konstitusional di tubuh partai politik," katanya.

Dalam permohonannya, mereka menggugat agar Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi:

"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."

Agar diubah menjadi:

"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com

Infografis Nomor Urut 18 Parpol Peserta Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Nomor Urut 18 Parpol Peserta Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya