Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menekankan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer. Dia menyampaikan hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2022 tentang KPK.
Hal ini disampaikan Fickar menanggapi polemik penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
Baca Juga
"UU KPK Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, KPK itu berwenang memproses korupsi di instansi manapun, termasuk militer," jelas Fickar kepada Liputan6.com, Sabtu (29/7/2023).
Advertisement
Dia mengatakan saat melakukan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan prajurit militer aktif, KPK memang harus menggunakan penyidik militer. Namun, penanganan kasus korupsi tetap menjadi kewenangan KPK bersama oditur militer atau pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dalam lingkungan peradilan militer.
"Ketika menyidik harus menggunakan penyidik militer (karena tersangkanya militer aktif) tetapi penanganan korupsinya tetap menjadi kewenangan KPK dengan bersama sama oditur militer," katanya.
Fickar pun mengkritik pimpinan KPK yang mengaku khilaf karena menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka. Dia menekankan bahwa KPK tak perlu meminta maaf kepada TNI atas hal tersebut.
"Enggak perlu minta maaf karena semua korupsi itu menjadi kewenangan KPK," ujar Fickar.
KPK Minta Maaf
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak meminta maaf kepada pihak TNI lantaran menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
Johanis meminta maaf karena pihaknya tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI sebelum mengumumkan keterlibatan Henri Alfandi. Permintaan maaf disampaikan usai Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko mendatangi markas antirasuah.
"Pada hari ini KPK bersama TNI yang dipimpin oleh Danpuspom TNI di atas tadi sudah melakukan audiens terkait dengan penanganan perkara di Basarnas dan yang dilakukan tangkap tangan oleh tim dari KPK," ujar Johanis di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI, dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," Johanis menambahkan.
Johanis menyadari berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 diatur bahwa lembaga peradilan terdiri dari empat, yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Menurut Johanis, sejatinya dalam menangani kasus yang bersinggungan dengan militer, maka harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI.
"Peradilan militer khusus anggota militer. Ketika melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini ada kekeliruan dari tim kami ada kekhilafan. Oleh karena itu tadi kami sampaikan atas kekhilafan ini. Kami mohon dimaafkan," kata Johanis.
Johanis mengatakan pihaknya sudah meminta Danpuspom TNI untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
"Kami dari jajaran lembaga, pimpinan KPK beserta jajaran sudah menyampaikan permohonan maaf melalui pimpinan dan Puspom untuk disampaikan kepada Panglima," kata Johanis.
Advertisement