6 Respons Pro Kontra soal Upaya Penyemprotan Air di Jalan Guna Kurangi Polusi Udara Jakarta

Upaya Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI untuk menekan polusi udara Jakarta dengan cara menyemprotkan air ke jalan tersebut menuai beragam tanggapan pro kontra.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 27 Agu 2023, 17:51 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2023, 17:50 WIB
Upaya Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI untuk menekan polusi udara Jakarta dengan cara menyemprotkan air ke jalan tersebut menuai beragam tanggapan pro kontra.
Upaya Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI untuk menekan polusi udara Jakarta dengan cara menyemprotkan air ke jalan tersebut menuai beragam tanggapan pro kontra. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta disemprot air dengan harapan bisa mengurangi polusi udara. Rencana menyemprotan air dari atas gedung juga dicanangkan usai gagal menurunkan hujan buatan dengan metode Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Namun rupanya, upaya Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI untuk menekan polusi udara Jakarta dengan cara menyemprotkan air ke jalan tersebut menuai beragam tanggapan pro kontra.

Salah satunya, Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili menilai langkah-langkah tersebut semata aksi reaktif, bukan solutif.

"Yang terpenting itu menyelesaikan persoalan dari akar masalahnya, lalu bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan (polusi udara) pada warga," katanya usai acara peluncuran seri parfum terinspirasi polusi "Our Earth" di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 25 Agustus 2023.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) juga buka suara. Ketua Majelis Kehormatan PDPI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, berdasarkan data ilmiah metode ini menunjukkan hasil yang berbeda-beda.

Menurut Tjandra, pertama, peneliti China pernah mempublikasikan jurnal ilmiah bertajuk Toxics pada Juni 2021. Hasilnya, semprotan air tersebut justru menambah polusi udara.

"Jadi tegasnya penelitian ini menyatakan bahwa menyemprotkan air dalam jumlah besar ke jalan cenderung meningkatkkan konsentrasi PM2,5 dan juga kelembapan," kata Tjandra ketika dikonfirmasi, Minggu (27/8/2023).

Meski demikian, terdapat jurnal lain yang berpendapat berbeda. Jurnal tersebut memiliki judul 'Environmental Chemistry Letters volume' yang dipublikasikan pada 2014.

Sementara itu, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan, upaya penyemprotan air di sejumlah ruas jalan protokol Ibu Kota secara rutin diprediksi dapat mengurangi polusi udara hinggan PM 2,5.

Berikut sederet tanggapan pro kontra upaya Pemprov DKI untuk menekan polusi udara Jakarta dengan cara menyemprotkan air ke jalan dihimpun Liputan6.com:

 

1. Greenpeace Indonesia Sebut Itu Aksi Reaktif, Bukan Solutif

Macet dan Polusi Udara Jakarta
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengklaim kerugian masyarakat akibat kemacetan lalu lintas di Jabodetabek dan Bandung mencapai Rp 100 triliun per tahun. (merdeka.com/Arie Basuki)

Beberapa hari lalu, sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta disemprot air dengan harapan bisa mengurangi polusi udara. Rencana menyemprotan air dari atas gedung juga dicanangkan usai gagal menurunkan hujan buatan dengan metode Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili, menyebut bahwa langkah-langkah ini semata aksi reaktif, bukan solutif.

"Yang terpenting itu menyelesaikan persoalan dari akar masalahnya, lalu bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan (polusi udara) pada warga," katanya usai acara peluncuran seri parfum terinspirasi polusi "Our Earth" di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 25 Agustus 2023.

Menyemprot air dan menerapkan work from home (WFH) disebutnya sebagai solusi jangka pendek sekali.

"Tidak akan menyelesaikan masalah kalau tidak menyasar sumber-sumber pencemar, entah dari transportasi, industri, pembakaran sampah, maupun pembakaran batubara dari industri PLTU," ia menyebut.

"Upaya (pemerintah) harus ambisius (dalam menuntaskan masalah polusi udara). Pada 2021, indeks kualitas udara di Jakarta juga buruk. PM2.5-nya masih jauh di atas standar WHO. Padahal di titik itu, mobilitas masyarakat minim, karena semua dilakukan dari rumah. Jadi, sumbernya dari mana?," kata Charlie.

Menurutnya, sudah seharusnya pemerintah membuka data, menunjukkan apa saja industri yang mencemari udara dan menggagas upaya konkret untuk mengontrolnya. Apa yang dilakukan sekarang untuk mengatasi polusi tidak bisa dinilai sebagai upaya serius.

Di samping itu, Charlie juga mendorong publik untuk jadi bagian dari solusi. Salah satunya dengan menggunakan transportasi publik.

"Gerakan bersepeda sebenarnya sudah banyak dilakukan, tapi persoalannya tentu tidak sampai di situ," sebutnya.

"Setelah dilakukan (bersepeda dan memakai transportasi publik), dan ada kekurangan, bisa evaluasi pemerintah untuk mendukung mereka lebih nyaman pakai transportasi publik dan aman bersepeda," sambung Charlie.

Mayarakat juga diajak lebih cerdas dalam memilah mana saja yang merupakan "solusi palsu" dalam mengatasi masalah polusi maupun dampak krisis iklim secara general. Caranya, sebut Charlie, dimulai dengan mengecek informasi yang didapatkan.

"Harus terus kritis pada informasi dan memeriksa faktanya, Apakah solusi yang ditawarkan memang mengarah pada solusi berkelanjutan dan berkeadilan," terang Charlie.

Ia melanjutkan, Greenpeace percaya bahwa krisis iklim disebabkan ketidakadilan yang kemudian menghasilkan ketidakadilan lain.

"Menciptakan ketimpangan. Solusi berkeadilan, misalnya, ketika langkahnya juga memikirkan kelompok paling rentan," kata Charlie.

 

2. Kata Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

Teknologi Modifikasi Cuaca
Suasana Masjid Istiqlal dan gedung bertingkat dengan latar polusi di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai melakukan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengurangi polusi udara di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) buka suara soal upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menekan polusi udara dengan cara menyemprotkan air ke jalan.

Ketua Majelis Kehormatan PDPI Tjandra Yoga Aditama mengatakan berdasarkan data ilmiah metode ini menunjukkan hasil yang berbeda-beda.

Pertama, ujar Tjandra, peneliti China pernah mempublikasikan jurnal ilmiah bertajuk Toxics pada Juni 2021. Hasilnya, semprotan air tersebut justru menambah polusi udara.

"Jadi tegasnya penelitian ini menyatakan bahwa menyemprotkan air dalam jumlah besar ke jalan cenderung meningkatkkan konsentrasi PM2,5 dan juga kelembapan," kata Tjandra ketika dikonfirmasi, Minggu (27/8/2023).

Meski demikian, terdapat jurnal lain yang berpendapat berbeda. Jurnal tersebut memiliki judul 'Environmental Chemistry Letters volume' yang dipublikasikan pada 2014.

"Disebutkan bahwa penyemprotan air secara geoengineering dapat menurunkan kadar polusi PM 2.5 secara efisien. Tetapi memang metodologi penelitian tahun 2014 ini tidaklah selengkap penelitian di jurnal Toxic yang juga tahunnya lebih baru, sehingga secara ilmiah kita jelas membandingkan keduanya," ujar Tjandra.

Kemudian, terdapat laporan penelitian lanjutan di Maret 2022 yang dipublikasikan di jurnal ilmiah 'Proc. ACM Interact. Mob. Wearable Ubiquitous Technol' yang memberi perspektif berbeda.

Tjandra menjelaskan, peneliti itu menggunakan metode 'iSpray' alias Intellegent Spraying yang merupakan suatu desain software baru tentang teknik penyemprotan air yang lebih baik.

"Hasil penelitian mereka menyebutkan iSpray dengan intelegensia memberi cara penyemprotan yang lebih efisien dan memberi dampak baik pula pada penanganan polusi udara," ucap Tjandra.

Tak berhenti di sana, lanjut Tjandra, India juga pernah mencoba menyemprotkan air di polusi udara New Delhi. Namun, upaya itu tidak memberikan hasil yang memadai.

"Dituliskan di The Times of India November 2020 bahwa mungkin penyemprotan air akan ada gunanya hanya pada daerah yang sedang banyak membangun gedung dan menimbulkan debu," papar Tjandra.

"Di pihak lain, di taman kota New Delhi seperti Nehru Park pernah pula dicoba disemprotkan semacam uap atau kabut air, melalui cerobong besar. Jadi air dari tangki lalu disalurkan ke mesin dan disemprotkan sudah dalam bentuk uap atau kabut air, walau ini tentu juga belum ada kajian ilmiah yang tegas pula," sambungnya.

Maka dari itu, ia berharap pemerintah dapat menganalisis cara-cara yang benar untuk mengatasi polusi udara.

"Dengan beberapa penjelasan di atas maka memang harus betul-betul dianalisa secara ilmiah cara apa yang akan kita gunakan untuk mengatasi polusi udara yang masih terus buruk pada hari-hari ini," kata Tjandra.

 

3. Dokter Spesialis Paru Nilai Kurang Efektif

Polusi Udara Pakai Masker
Seorang wanita mengenakan masker berada di halte Transjakarta di Kawasan Velodrome Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023). (merdeka.com/imam buhori)

Akhir-akhir ini kualitas udara di Jakarta sedang tidak baik. Dampak polusi yang bisa mengganggu kesehatan menuai perhatian dari berbagai pihak salah satunya Polda Metro Jaya.

Dalam upaya mengurangi polusi udara di Ibu Kota, Polda Metro Jawa mengerahkan mobil water canon untuk menyemprotkan air ke jalan raya.

Lantas apakah cara ini efektif?

Hal ini mendapat tanggapan dari dokter spesialis paru dan peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Erlina Burhan. Dalam utas di Twitter pribadinya, Erlina menyampaikan bahwa dirinya menghargai apa yang dilakukan Polda Metro Jaya, meski kurang efektif.

"Pertama, saya tentu menghargai upaya yang dilakukan. Tapi menurut saya ini kurang efektif ya, karena partikel polutan yang berada di ketinggian itu tidak semua terjangkau," cuit Erlina dikutip Jumat 25 Agustus 2023.

"Kalau mau dilakukan, ya hujan buatan yang berkala. Namun, ini dampaknya hanya sementara, karena kita tidak melakukan intervensi terhadap sumber penyebab polusi. Kita jangan juga terjebak di hilir padahal intervensi juga harus sampai ke hulu," tambahnya.

Dia menambahkan, selain kurang efektif, tindakan ini juga berpotensi meningkatkan konsentrasi PM2.5. Ini adalah partikel udara berupa emisi pembakaran bensin dan lain-lain yang ukurannya kurang atau sama dengan 2,5 mikrometer.

"Studi yang dilakukan di Tiongkok menunjukkan bahwa menyemprot jalan dengan air justru meningkatkan, bukan menurunkan, konsentrasi PM2.5, sehingga merupakan sumber baru aerosol antropogenik dan polusi udara," ucap Erlina.

Di sisi lain, penelitian yang berbeda menemukan bahwa penyemprotan air ke jalan memperlihatkan dampak pada partikel PM10. Ini adalah partikel udara berukuran kurang dari 10 mikrometer.

Penyemprotan air ke jalan dapat menghilangkan partikel dari permukaan jalan dan mengurangi konsentrasinya di lingkungan jalan secara lebih menyeluruh.

Untuk diketahui, lanjut Erlina, PM2.5 terbentuk dari emisi pembakaran bensin, minyak, bahan bakar, dan kayu. Sedangkan PM10 dari tempat pembangunan-pembuangan sampah, kebakaran hutan, debu, dan lain-lain.

"Demikian tanggapan saya mengenai upaya Polda Metro dalam mengurangi dampak polusi udara. Semoga dapat dipahami," tulisnya.

 

4. Kata Peneliti BRIN

Penyemprotan Jalan Sudirman - Thamrin
Kendaraan water canon Brimob Polda Metro Jaya menyemprotkan air di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (23/8/2023). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya melakukan penyemprotan air di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat hingga Patung Pemuda Membangun Senayan sebagai upaya untuk mengurangi polusi udara dan mengatasi cuaca panas di Ibu Kota. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Profesor Bidang Iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian menanggapi soal penyiraman air di jalanan Jakarta guna menekan polusi udara dan suhu panas.

Menurut Edvin, ada sejumlah catatan yang membuat cara itu tak sepenuhnya efektif.

"Menurut saya penyemprotan (air di jalan) itu jadi seperti hujan, tapi satu waktu saja. Jadi hujannya tidak merata. Kalau hujan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) agak merata," ujar Edvin kepada Liputan6.com, Minggu (27/8/2023).

Edvin menjelaskan, penyiraman air yang hanya dilakukan di situasi tertentu itu dikhawatirkan justru menguap bersama polutan yang ada di tanah.

"Takutnya ini yang kecil tadi kan karena disemprot pada situasi tertentu dan waktu tertentu air yang disemprot itu bisa naik lagi karena menguap, takutnya begitu," ucap dia.

Ada pun kekhawatiran Edvin bukan tanpa alasan. Dia menyebut, berdasarkan hasil sebuah riset di China yang terbit di jurnal National Library of Medicine pada Mei 2021, menemukan penyemprotan air malah membuat polusi udara makin parah.

"Iya saya mengkhawatirkan karena ada catatan dengan yang dari China. Dia kan menyimpulkan begitu kalau sekali saja (penyemprotan) tidak efektif ya," ungkap Edvin.

Selain itu, kata Edvin metode menekan polusi udara dengan menyiram jalanan juga membuang-buang air. Di musim kemarau ini, kata dia air harusnya disimpan.

"Catatannya adalah bahwa airnya itu dibuang-buang. Itu kan hanya sekali semprot, sudah langsung dipakai dan dibuang saja," terang dia.

Ketimbang penyiraman jalan, Edvin menyarankan pemerintah menempuh cara lain. Dia mengusulkan dibuat tirai air dari ketinggian untuk menghilangkan debu atau polusi udara.

"Sebenarnya saya mengusulkan pakai jalan lain yang hampir sama juga. Air yang dipakai itu menjatuhkan debu, maka saya mengusulkan semacam water curtain atau tirai air," terang dia.

"Itu contoh yang nyata kalau anda pernah ke Bandara Changi, ada yang namanya jewel. Air terjunnya langsung terjun ke bawah, airnya ditampung dan diputar lagi ke atas jadi recycle," sambung Edvin.

Lebih lanjut, Edvin berujar bahwa cara paling efektif adalah menurunkan hujan buatan dengan melakukan TMC. Namun, kata dia, tak adanya awan hujan menyulitkan TMC dilakukan.

"Iya, ini kan kita sudah mencoba TMC, hujan buatan. Memang hujan buatan efektif, tapi dengan catatan ada ketersedian awan. Beberapa hari ini susah awannya kan. Lalu pemerintah memikirkan pakai yang di darat," jelas Edvin.

 

5. Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono Sebut Penyemprotan Jalan Secara Rutin Bisa Kurangi Polusi Udara

Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kabupaten  Kepulauan Seribu memantau giat Pasar Murah dan Pembagian Sembako. (Liputan6.com/Winda Nelfira)
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu memantau giat Pasar Murah dan Pembagian Sembako. (Liputan6.com/Winda Nelfira)

Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan, upaya penyemprotan air di sejumlah ruas jalan protokol Ibu Kota secara rutin diprediksi dapat mengurangi polusi udara hinggan PM 2,5.

"Tadi saya minta diskusi dengan Menteri LHK, katanya kalau jalan disiram itu lebih memudahkan menurunkan PM 2,5," kata Heru, dilansir dari Antara Minggu (27/8/2023).

Heru menyebut, penyemprotan ini masih terus dilihat dan dievaluasi hasilnya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

"Saya tunggu hasilnya dan pendapatnya dari Bu Menteri, kalau itu positif kita jalankan terus. Kalau memang ada negatifnya kita hentikan," ujar Heru.

 

6. Kata Menkes Budi

Menkes Budi mengatakan penanganan polusi udara dilakukan dari hulu seperti mengecek aspek lingkungan hidup, energi, dan transportasi.
Menkes Budi mengatakan penanganan polusi udara dilakukan dari hulu seperti mengecek aspek lingkungan hidup, energi, dan transportasi.

Beberapa ruas jalan di DKI Jakarta dan Tangerang beberapa hari lalu disemprot air dengan harapan bisa mengurangi polusi udara. Terkait upaya ini, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan pengelolaan sistem transportasi terpenting dalam menurunkan polusi udara.

"Sebenarnya yang lebih efektif mengurangi transportasi. (Tentang penyemprotan jalan) ditanyakan saja sama yang melakukan,” kata Menkes Budi ditemui seusai memberi kuliah umum di UPH Tangerang, Jumat 25 Agustus 2023.

Di kesempatan yang sama, Budi juga mengatakan upaya terpenting dalam menurunkan polusi udara dengan mencari tahu penyebab kualitas udara yang buruk di DKI Jakarta.

Ia berharap kementerian lain, terutama yang memiliki tupoksi di hulu, seperti energi, lingkungan hidup dan transportasi, untuk segera ambil tindakan untuk menangani polusi udara di wilayah Jabodetabek.

"Saya berharap kalau di sisi hulunya, seperti lingkungan hidup, energi, dan transportasi, agar polusi ini segera teratasi," jelas Menkes Budi.

Infografis Polusi Udara di Dunia Menurun saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Polusi Udara di Dunia Menurun saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya