AS Hentikan Berbagi Data Kualitas Udara, Ilmuwan: Konsekuensinya Signifikan

Sejumlah ahli blak-blakan menyuarakan kekhawatirannya.

oleh Khairisa Ferida Diperbarui 09 Mar 2025, 10:01 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2025, 10:01 WIB
Ilustrasi polusi udara
Ilustrasi polusi udara. (Dok. Gregor Vand/Unsplash)... Selengkapnya

Liputan6.com, Washington, DC - Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan berhenti berbagi data kualitas udara yang dikumpulkan dari kedutaan besar dan konsulatnya. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan dan ahli lokal yang menyatakan bahwa upaya tersebut sangat penting untuk memantau kualitas udara global dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Menanggapi permintaan informasi dari Associated Press, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pada Rabu (5/3/2025) bahwa program pemantauan kualitas udara mereka tidak akan lagi mengirimkan data polusi udara dari kedutaan besar dan konsulat ke aplikasi AirNow milik Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) dan platform lainnya. Data tersebut sebelumnya memungkinkan penduduk di berbagai negara, serta ilmuwan di seluruh dunia, untuk melihat dan menganalisis kualitas udara di berbagai kota di dunia.

"Penghentian berbagi data ini terjadi karena kendala pendanaan yang memaksa kementerian untuk mematikan jaringan dasarnya," bunyi pernyataan tersebut seperti dikutip dari CNN, Minggu (9/3).

Pernyataan itu juga menambahkan bahwa kedutaan besar dan konsulat diinstruksikan untuk tetap menjalankan alat pemantau mereka dan berbagi data dapat dilanjutkan di masa depan jika pendanaan dipulihkan.

Pemotongan anggaran ini, yang pertama kali dilaporkan oleh New York Times, adalah salah satu dari banyak pemangkasan di bawah Presiden Donald Trump, yang pemerintahannya telah menurunkan prioritas pada inisiatif lingkungan dan iklim.

Alat pemantau kualitas udara AS mengukur partikel halus berbahaya yang dikenal sebagai PM2.5, yang dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan menyebabkan penyakit pernapasan, masalah jantung, serta kematian dini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa polusi udara membunuh sekitar 7 juta orang setiap tahun.

Berita tentang penghentian berbagi data ini langsung memicu reaksi dari para ilmuwan yang menyatakan bahwa data tersebut andal, memungkinkan pemantauan kualitas udara di seluruh dunia, dan membantu mendorong pemerintah untuk membersihkan udara.

Promosi 1

Pukulan Besar bagi Penelitian

Ilustrasi Polusi Udara.
Ilustrasi Polusi Udara. (Dok. analogicus/Pixabay)... Selengkapnya

Bhargav Krishna, ahli polusi udara dari Sustainable Futures Collaborative yang berbasis di New Delhi, menyebut hilangnya data ini sebagai "pukulan besar" bagi penelitian kualitas udara.

"Data tersebut adalah bagian dari segelintir sensor di banyak negara berkembang dan menjadi referensi untuk memahami seperti apa kualitas udara," kata Krishna. "Itu juga dianggap sebagai sumber data yang terkalibrasi dengan baik dan tidak bias untuk memeriksa ulang data lokal jika ada kekhawatiran tentang kualitasnya."

Alejandro Piracoca Mayorga, konsultan kualitas udara lepas yang berbasis di Bogota, Kolombia, merespons kebijakan AS dengan mengatakan, "Ini sangat disayangkan."

Kedutaan besar dan konsulat AS di kota-kota seperti Lima (Peru), Sao Paulo (Brazil), dan Bogota (Kolombia) selama ini telah menyediakan pemantauan kualitas udara yang dapat diakses oleh publik.

"Ini adalah sumber akses informasi kualitas udara yang independen dari jaringan pemantauan lokal. Mereka menyediakan sumber informasi lain untuk perbandingan," kata Mayorga.

Khalid Khan, ahli dan advokat lingkungan yang berbasis di Pakistan, mengatakan bahwa penghentian pemantauan kualitas udara akan memiliki konsekuensi signifikan.

Khan mencatat bahwa alat pemantau di Peshawar, Pakistan, salah satu kota paling tercemar di dunia, "memberikan data real-time yang crucial" yang membantu pembuat kebijakan, peneliti, dan masyarakat dalam mengambil keputusan terkait kesehatan mereka.

"Penghentian berarti celah kritis dalam pemantauan lingkungan, meninggalkan penduduk tanpa informasi akurat tentang kondisi udara yang berbahaya," tutur Khan, menambahkan bahwa kelompok rentan di Pakistan dan di seluruh dunia khususnya berisiko karena mereka paling kecil kemungkinannya untuk mengakses data andal lainnya.

Di Afrika, program ini menyediakan data kualitas udara untuk lebih dari selusin negara, termasuk Senegal, Nigeria, Chad, dan Madagaskar. Beberapa negara tersebut hampir sepenuhnya bergantung pada sistem pemantauan AS untuk data kualitas udara mereka.

Basis data kualitas udara WHO juga akan terpengaruh oleh penutupan program AS. Banyak negara miskin tidak melacak kualitas udara karena stasiun pemantauan terlalu mahal dan rumit untuk dirawat, yang berarti mereka sepenuhnya bergantung pada data pemantauan dari Kedutaan Besar AS.

Memperkuat Upaya Lokal

Ilustrasi polusi udara.
Ilustrasi polusi udara. (iStockphoto)... Selengkapnya

Krishna mengatakan di beberapa tempat, alat pemantau kualitas udara AS mendorong negara-negara untuk memulai penelitian kualitas udara mereka sendiri dan meningkatkan kesadaran.

Di China, misalnya, data dari Kedutaan Besar AS di Beijing terkenal karena bertentangan dengan laporan resmi pemerintah, menunjukkan tingkat polusi yang lebih buruk daripada yang diakui oleh otoritas. Hal ini mendorong China untuk meningkatkan kualitas udaranya.

Pejabat di Provinsi Punjab, Pakistan, yang berjuang melawan kabut asap, mengatakan mereka tidak khawatir dengan penghapusan alat pemantau AS. Menteri Lingkungan Hidup Punjab Raja Jahangir mengatakan otoritas Punjab memiliki alat pemantau mereka sendiri dan berencana membeli 30 lagi.

Shweta Narayan, pemimpin kampanye di Global Climate and Health Alliance, mengatakan bahwa penutupan alat pemantau di India adalah kemunduran besar tetapi juga "kesempatan kritis" bagi pemerintah India untuk maju dan mengisi kekosongan tersebut.

"Dengan memperkuat infrastruktur pemantauan kualitas udaranya sendiri, memastikan transparansi data, dan membangun kepercayaan publik dalam pelaporan kualitas udara, India dapat menetapkan tolok ukur untuk akuntabilitas dan tata kelola lingkungan," imbuh Narayan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya