Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak tiga gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang dilayangkan oleh pihak partai politik PSI, Gerindra, dan Garuda. Meski begitu, putusan tersebut diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion para hakim.
Hakim Konstitusi Suhartoyo berpendapat, terkait dengan kedudukan hukum para pemohon dalam pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tidak dapat dilepaskan dari filosofi yang terkandung dalam norma Pasal itu sendiri secara keseluruhan.
“Oleh karena itu, berkenaan dengan subjek hukum yang menjadi adressat dalam norma Pasal a quo adalah berkaitan dengan keterpenuhan syarat formal seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden,” tutur Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Advertisement
Suharyoto mencermati adanya unsur pemisah antara esensi syarat untuk merjadi calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 dengan norma di antaranya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan norma Pasal 221 dan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Maka sesungguhnya ketentuan yang dimaksud telah membuktikan bahwa filosofi dan esensi dalam norma Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah benar hanya diperuntukkan untuk subjek hukum yang bersitat privat guna dapat terpenuhinya syarat formal untuk selanjurya dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden,” jelasnya.
“Oleh karena itu, ketika seseorang yang pada dirinya bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden maka subjek hukum dimaksud diberikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan a quo dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohohan para Pemohon tidak dapat diterima,” sambung Suharyoto.
Singgung Kekuasaan Kehakiman
Kemudian, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menimbang, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan.
Serta dengan mempertimbangkan petitum permohonan yaitu ex aeguo et bono, sehingga dalam kaitannya dengan gugatan seharusnya permohonan para pemohon dikabulkan sebagian, sehingga Pasal a quo dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional.
“Sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ujar Guntur.
Argumentasi hukum yang dilontarkan adalah, bahwa penentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden tidak diatur dalam konstitusi, namun berada pada wilayah tafsir yang didasarkan pada prinsip-prinsip konstitusionalisme dan jaminan atas hak konstitusional warga negara.
“Menentukan batas usia calon Presiden atau Wakil Presiden tidak hanya diletakkan dalam kerangka kebijakan hukum semata, namun hal ini terkait dengan tatanan konstitusional yang ingin dibentuk dan akan berlaku secara ajeg dan elegan, serta menghentikkan praktik penentuan batas usia yang berubah-ubah tanpa ukuran konstitusional yang jelas dalam menentukan usia yang tepat untuk menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden,” katanya.
Advertisement
Dinilai Praktik Ketatanegaraan yang Wajar
Guntur menyatakan, keputusan Presiden dan DPR untuk menyerahkan penentuan batas usia calon presiden alau calon wakil presiden kepada Mahkamah merupakan praktik ketatanegaraan yang wajar dengan memandang persoalan batas usia ini sebagai problem konstitutional.
Dengan demikian, penyelesaiannya akan diletakkan dalam kerangka hukum konstitusi sesuai dengan tugas hakim dan kewenangan Mahkamah menurut Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 24C UUD 1945.
“Secara historis, normatif, dan empiris/faktual, usia pimpinan nasional Presiden atau Wakil Presiden atau sederajat pernah dijabat oleh Pejabat dengan usia di bawah 40 tahun atau 35 tahun ke atas. Dari segi normatif, konstitusi RIS mengatur syarat usia 35 tahun, UUDS 1950 mengatur syarat usia 30 tahun, dan UU 42/2008 tentang Pilpres mengatur batas usia minimal 35 tahun,” tuturnya.
“Bahkan, secara empiris/faktual, Soetan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri pada usia 36 tahun. Di luar negeri, beberapa negara di benua Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika juga secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi mereka masing-masing yakni sekurang-kurangnya berusia 35 tahun,” sambungnya.
Pertimbangan Dinamika Kebutuhan Penyelenggaraan Pemerintahan
Menurut Guntur, perlu dipertimbangkan adanya perkembangan dinamika kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan, salah satunya terkait dengan kebijakan batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden. Hal itu artinya MK bersifat adaptif atau fieksibel, sesuai dengan perkembangan dinamika kehidupan berbangsa bernegara dan kebutuhan penyelenggaraan ketatanegaraan.
Tentunya dengan mengacu pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan atau to give opportunity and abolish restriction secara rasional, adil, dan akuntabel.
“Pembatasan demikian tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilh, seperti dalam pemilihan umum/kepala daerah, sehingga figur/tokoh muda tersebut sudah dapat dipandang berpengalaman,” terangnya.
Keraguan terhadap calon presiden atau calon wakil presiden yang terlalu muda sehingga dipertanyakan kematangannya dalam menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan ataupun kepala negara sangat wajar terjadi. Namun, dengan terpenuhinya syarat alternatif yakni pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, maka dapat dipandang telah memenuhi syarat minimum kematangan dan pengalaman sehingga mengurangi keraguan tersebut.
Advertisement
Soal Batas Usia Minimum 40 Tahun
Tidak ketinggalan soal batas usia minimum 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak memenuhi rasionalitas lantaran bersifat debatable. Termasuk juga terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan dipilh secara langsung oleh rakyat.
Bekerjanya proses demokrasi pun pada akhirnya ditentukan oleh peran partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi, dengan menjalankan fungsinya melakukan seleksi kepemimpinan nasional. Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan pemilhan umum.
Sehingga, meskipun seseorang telah memilki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, maka dipastikan tidak dapat menjadi calon Ppresiden atau calon wakil presiden. Kemudian, terhadap calon presiden dan wakil presiden yang berusia minimal 40 tahun, tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan, bagi calon presiden dan wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, dapat diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden sepanjang memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui Pemilu, termasuk Pilkada yaitu anggota DPR, DPD, DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota.
“Artinya, penting untuk memastikan kontestasi pemiliham umum Presiden dan Wakil Presiden berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 tahun semata bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun juga tidak mengurangi kualitas kepemimpinan,” bebernya.
“Dengan tidak dikabulkannya permohonan para Pemohon, nampak Mahkamah Konstitusi mengabaikan sisi keadilan yang seharusnya menjadi perhatian pokok dan core business lembaga peradilan yakni guna menegakkan hukum dan keadian sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, sekali lagi, sense of justice saya mengatakan bahwa permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilhan umum termasuk pemilhan kepala daerah,” Guntur menandaskan.