Putusan MK soal Capres-Cawapres, Praktisi Hukum UGM: Tanda Kemunduran Demokrasi

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan seorang belum berumur 40 tahun asal sudah berpengalaman sebagai kepala daerah menjadi calon presiden atau calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah tanda kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi hakim konstitusi.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 18 Okt 2023, 08:59 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2023, 07:04 WIB
Gedung MK
Mahkamah Konstitusi (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan seorang belum berumur 40 tahun asal sudah berpengalaman sebagai kepala daerah menjadi calon presiden atau calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah tanda kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi hakim konstitusi.

"Putusan tersebut buka saja menunjukkan kemunduran demokrasi, tetapi juga kemerosotan independensi hakim konstitusi," kata Yance melalui keterangan diterima, Rabu (18/10/2023).

Yance merasa heran, bagaimana mungkin suatu perkara yang salah satu hakimnya memiliki kerabat dan kepentingan langsung terhadap perkara ikut memutus. Justru, Yance menilai hal itu sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Prinsip Kedua Angka 5 huruf b Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

“Seharusnya segera dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk mengusut dugaan pelanggaran kode etik tersebut,” dorong dia.

“Kalau terbukti menurut dia, maka hakim tersebut bisa dinyatakan bersalah dan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi,” imbuh dia menandasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Keputusan Hanya Untuk Kepentingan Penguasa

Sementara itu, Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai keputusan MK mengenai hal tersebut hanya untuk kepentingan penguasa.

"Jadi, ya, kelihatannya memang ini desain TSM atau bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, dari kelompok tertentu untuk menggunakan Mahkamah Konstitusi melegalkan Gibran sebagai bakal cawapres," kata Ujang.

Menurut Ujang, keputusan tersebut menunjukkan bahwa hakim MK tidak bersikap seperti negarawan karena keputusan yang diduga hanya untuk kepentingan keluarga Presiden Joko Widodo dalam meloloskan putra sulungnya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden.


Permainan Politik

Dia menilai hakim-hakim konstitusi seharusnya bisa mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara; bukan kepentingan mengakomodasi peluang putra presiden maju di Pilpres 2024.

“Ini permainan politik tingkat tinggi menjelang Pemilu 2024, dimana instrumen dan institusi hukum di Indonesia bisa dikendalikan oleh pihak penguasa,” kritik Ujang menandasi.

Infografis MK Kabulkan Gugatan Syarat Kepala Daerah Kurang 40 Tahun Bisa Maju Pilpres. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis MK Kabulkan Gugatan Syarat Kepala Daerah Kurang 40 Tahun Bisa Maju Pilpres. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya