Liputan6.com, Jakarta - Momen hangat pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani tersaji saat jamuan makan malam atau gala dinner Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum (WWF) ke-10 di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, Minggu 19 Mei 2024 malam.
Momen tersebut menjadi sorotan publik di tengah panas dingin hubungan Jokowi dengan para elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), termasuk ketua umum Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga
Puan menjadi tamu undangan terakhir yang datang di acara gala dinner KTT WWF ke-10 di Bali. Puan yang mengenakan kebaya warna putih langsung menghampiri Jokowi di tempatnya menyambut para tamu VVIP.
Advertisement
Kedatangan Ketua DPP PDIP ini langsung disambut Presiden Jokowi dengan berjabat tangan dan saling melempar senyum. Setelah sesi foto bersama, Jokowi dan Puan kemudian berjalan beriringan menuju tempat utama jamuan makan malam. Keduanya juga terlihat berbincang dan tersenyum.
Di akhir acara, Jokowi menghampiri tempat duduk Puan dan sejumlah tamu undangan. Jokowi bahkan terlihat tersenyum dan tertawa lebar usai bersalaman dengan Puan. Jokowi juga sempat memperlihatkan gestur tangan seperti bergoyang yang disambut tawa putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ini.
Memang selama pertunjukan musik yang disajikan dalam acara gala dinner KTT WWF di Bali ini, Puan dan sejumlah tamu undangan lainnya tampak ikut bergoyang. Jokowi juga beberapa kali tertangkap kamera ikut bernyanyi dari tempat duduknya.
Dikonfirmasi terkait pertemuannya tersebut, Puan mengaku banyak hal yang diobrolkan dengan Jokowi. Hanya saja dia tak mengungkapkan apa saja topik pembicaraannya.
"Banyak obrolan khusus (dengan Jokowi). Kan sudah lihat wajah saya dan wajah Pak Presiden semringah kan?" kata Puan kepada awak media usai meresmikan Fair and Expo World Water Forum 2024, Senin (20/5/2024).
Saat disinggung apakah Jokowi sempat menanyakan kabar Megawati, Puan tak menjawab dengan lugas. "Nanya enggak ya, enggak tahu, lupa."
Selain Jokowi, Puan Jokowi bertemu dengan Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus Presiden Terpilih RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto di Bali. Namun dia kembali merahasiakan topik obrolannya dengan Prabowo. Puan hanya menyebut pertemuan tersebut membahas berbagai hal.
"Kita jalan bersama, bicara macam-macam, ya sudah itu saja," ucap Ketua DPR RI ini.
Di lokasi terpisah, Presiden Jokowi merespons pertemuannya dengan Puan Maharani yang berlangsung akrab dan hangat saat menghadiri gala dinner KTT WWF di Bali. Jokowi menyebut hubungannya dengan Puan memang akrab dan baik.
"Sudah lama sekali saya akrab dan baik dengan Mbak Puan," kata Jokowi saat ditemui di Lapangan Batu Taba, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (21/5/2024).
Jokowi pun mengakui dirinya semringah saat bertemu dengan Ketua DPR RI itu. Namun Jokowi membantah ada pembahasan soal rencana pertemuan dirinya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
"Ya sumringah dong (saat bertemu Puan), masa enggak boleh sumringah," ujarnya.
"Enggak ada (bahas soal pertemuan dengan Megawati). Yang diobrolkan ya masalah air, orang namanya di World Water Forum," sambung Jokowi.
Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin melihat bahwa momen akrab pertemuan Presiden Jokowi dengan Puan Maharani di gala dinner KTT WWF ke-10 di Bali bukanlah sinyal rekonsiliasi. Sebab, sikap Puan dengan PDIP berbeda.
"Karena PDIP itu pengendalinya bukan Mbak Puan tapi Megawati. Jadi harus dibedakan antara pertemuan Puan dengan Jokowi di Bali di acara WWF dengan prinsip atau keputusan PDIP nanti. Saya melihat, tidak akan ada rekonsiliasi dalam waktu dekat ini antara PDIP dengan Jokowi," ujar Ujang saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (21/5/2024).
Anggapan ini dibuktikan dengan sikap PDI Perjuangan yang tidak mengundang Jokowi di agenda Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP. "Jadi saya katakan posisi pertemuan Jokowi dengan Puan di Bali itu ya di acara internasional di situ Puan sebagai pimpinan DPR, Jokowi sebagai presiden, dan Puan tidak mewakili PDIP," katanya.
Jika melihat dinamika politik yang terjadi, kata Ujang, sangat kecil kemungkinan rekonsiliasi antara Jokowi dan PDIP bisa terwujud. Alih-alih mereda, hubungan disharmonis antara Jokowi dan PDIP akan berlangsung panjang. Sehingga wacana rekonsiliasi hanya akan menjadi omong kosong belaka.
"Ini karena PDIP merasa ditinggalkan oleh Jokowi, PDIP merasa dikecewakan oleh Jokowi, PDIP merasa dilukai oleh Jokowi, ya maka pilihannya ya memang melepas Jokowi dan tidak mengundang Jokowi lalu mengkritik Jokowi," tutur dia.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, rekonsiliasi sulit terwujud lantaran Jokowi telah melukai dan mengecewakan PDIP. Sebagai kader yang seharusnya taat, patuh, dan loyal terhadap PDIP, Jokowi justru membuat skema sendiri, bahkan melawan partainya.
"Jadi itu sebenarnya yang membuat PDIP dan Megawati luka, yang membuat PDIP tidak mau mengundang Jokowi. Ibaratnya partai harus diselamatkan sebagai institusi, tapi kalau Jokowi kan personal. Partai itu bicara kelembagaan tapi kalau Jokowi itu soal individu jadi yang harus dijaga adalah partai bukan Jokowi. Ya tanpa Jokowi pun ibaratnya PDIP jalan kan gitu. Jadi yang membuat rekonsiliasi sulit itu ya karena PDIP dikecewakan oleh Jokowi," kata Ujang.
Dia yakin, sampai Jokowi lengser dari kursi pemerintahan pun rekonsiliasi dengan PDIP tidak akan terjadi. Ujang lantas mencontohkan 'perang dingin' antara Megawati dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlangsung sangat lama. Muasalnya, Megawati kecewa dengan sikap SBY yang melawannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004.
"Kita lihat antara Mega dengan SBY saja dari 2004 hingga 2024, lima kali pemilu belum baikan hingga saat ini. Dan hubungan tidak baik antara PDIP dengan Jokowi kan 2024, nanti akan panjang kelihatannya soal disharmonis ini. Jadi saya melihatnya ketika Jokowi lengser di 20 Oktober 2024 aja belum akan terjadi rekonsiliasi, bahkan makin tajam mungkin permusuhannya," ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. Menurut dia, rekonsiliasi antara Jokowi dengan PDIP mustahil terjadi.
"Sulit membayangkan terjadi rekonsiliasi antara Jokowi dan PDIP. Hubungan keduanya sudah tamat, tak lagi bisa diselamatkan. Melihat tanda-tanda alam, baik PDIP atau Jokowi sulit disatukan lagi. Sekalipun Jokowi berjumpa Puan kelihatan hangat, bukan berarti islah politik mudah dilakukan," kata Adi saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (21/5/2024).
Menurut dia, hal ini tak lepas akibat luka politik yang begitu dalam bagi PDIP, terutama ketika Jokowi justru mendukung Prabowo-Gibran yang merupakan lawan partainya di Pilpres 2024. Karena itu, sangat sulit Jokowi bisa bersatu lagi dengan PDIP.
"Bukan hanya sampai lengser, sampai ‘kiamat’ pun sepertinya sulit bersatu kembali Jokowi dan PDIP. Luka politiknya terlampau dalam," kata Adi.
Ada Perpecahan di Internal PDIP?
Sementara terkait sikap politik Puan Maharani yang cenderung lebih adem dibanding elite PDIP lainnya, menurut Ujang, itu adalah strategi yang sengaja didesain sedemikian rupa oleh partai. Menurut dia, sikap lunak Ketua DPR tersebut justru baik bagi partainya dan bagi kepentingan nasional.
Apalagi PDIP pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 menjadi pemenang. Sehingga tentu PDIP tidak mau kehilangan kursi ketua DPR lewat revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD atau UU MD3 yang isunya sempat mencuat.
"Nah kalau Puan-nya enggak baik-baik, enggak soft ya tentu bisa ketika KIM-nya (Koalisi Indonesia Maju) marah, Jokowi dan Prabowo marah misalkan, bisa saja diganti dengan merevisi UU MD3 ketua DPR itu di masa pemerintahan Prabowo-Gibran nanti," ucap Ujang.
"Jadi saya melihat, ya kalau Mbak Puan soft itu bagus-bagus saja, positif-positif saja. Itu kan untuk menyelamatkan Mbak Puan dan komunikasi yang bagus dengan pemerintah," sambungnya.
Dia menampik bahwa perbedaan sikap antara Puan Maharani dengan sejumlah elite PDIP itu sebagai indikasi adanya perpecahan di internal partai. Dia kembali menegaskan bahwa itu bagian dari strategi yang salah satunya bertujuan untuk mengamankan kursi ketua DPR.
"Salah satu strategi, ada yang galak, ada yang soft, ada yang kencang kritik, ada yang juga landai dan santai berkomunikasi. Ini strategi saja, bagian daripada strategi komunikasi publik seperti itu yang dilakukan oleh PDIP. Berbagi peran saja," katanya.
Adi Prayitno pun mengamini bahwa Puan memang terlihat lebih kalem dibanding Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Meski begitu, dia menyatakan bahwa sikap kalem dan hangat antara Puan dengan Jokowi tak bisa dimaknai sebagai sinyal rekonsiliasi.
"Secara umum, kader-kader PDIP kelihatan masih tak menerima Jokowi," kata dia.
Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini, setiap individu kader partai tentu memiliki gayanya masing-masing dalam berpolitik.
"Ada yang kalem, ada yang keras, itu perkara biasa. Tapi kalau PDIP sudah memutuskan sikap resmi, kader-kader dan elite yang beda sikap itu pasti ikut keputusan partai," ucap Adi.
Pilih Oposisi atau Koalisi?
Terakhir, Ujang menyinggung soal persentase kemungkinan PDIP akan menjadi oposisi atau berada di dalam koalisi Prabowo-Gibran.
Jika melihat dinamika politik yang terjadi, menurut dia, kemungkinan besar PDI Perjuangan akan memilih berada di luar pemerintahan. Apalagi PDIP sudah cukup lama berpengalaman menjadi oposisi.
"Kalau saya sih melihatnya ya 60 persen akan menjadi oposisi. Karena ya kalau nanti gabung pemerintahan Prabowo-Gibran nanti rugi PDIP," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat tentu akan kecewa dan tidak bersimpati lagi apabila PDIP bergabung dengan pemerintahan. PDIP juga akan dianggap tidak konsisten dengan sikap politiknya yang sejauh ini ditunjukkan.
"Dianggap tidak konsisten juga karena di situ ada Gibran. Di satu sisi dia memusuhi Jokowi tapi kok menerima Gibran kan gitu, yang menjadi wapresnya Prabowo. Dan itu membuat PDIP juga tidak akan mendapatkan simpati di masyarakat kalau seperti itu sikapnya. Maka pilihan menjadi oposisi menjadi pilihan yang rasional saja, yang pas saja, yang cocok saja begitu," kata Ujang Komarudin menandaskan.
Begitu juga Adi Prayitno. Dia bahkan yakin 100 persen PDIP tidak akan tergiur untuk bergabung ke dalam lingkarang penguasa.
"100 persen kelihatan PDIP lebih prefer oposisi," ucap Adi memungkasi.
Advertisement
PDIP: Bukti Puan Tidak Baperan
Pertemuan Jokowi dan Puan Maharani di forum KTT WWF ke-10 ini juga direspons PDIP. Ketua DPP PDI Perjuangan Said Abdullah menilai, pertemuan Presiden Jokowi dengan Ketua DPR RI Puan Maharani merupakan hal yang wajar dalam acara kenegaraan.
"Itulah wajah Indonesia, yang satu Bapak Jokowi sebagai Presiden RI yang satu Ibu Puan Maharani sebagai Ketua DPR. Mau tidak mau, suka tidak suka perbedaan apapun tetap beliau berdua adalah lambang kita bersama. Sehingga pertemuan Pak Jokowi dan Mbak Puan sebagai Ketua DPR adalah sebuah keniscayaan," kata Said saat diwawancarai di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (30/5/2024).
Namun dia memastikan bahwa pertemuan Jokowi dan Puan hanya membahas soal urusan negara. Menurut Said, tidak mungkin pertemuan keduanya di forum internasional tersebut membicarakan urusan lain, termasuk soal dinamika politik nasional.
"Kalau soal itu yang dibahas pasti urusan negara, masa urusan lain-lain," tegas dia.
Said menuturkan bahwa pertemuan Jokowi dan Puan dalam rangkaian World Water Forum ke-10 di Bali merupakan bentuk keteladanan. Kendati kedua tokoh nasional itu sempat berseberangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Biar dunia juga mengetahui bahwa dengan segala perbedaan yang terjadi, para pemimpin di Indonesia bisa kompak, apalagi menyangkut hal-hal yang strategis," ujar Said seperti dilansir Antara.
Di mata dunia, dia mengatakan, para pemimpin formal negara harus bersatu padu. Adapun Puan merupakan Ketua DPR RI dan Presiden Jokowi merupakan pemimpin pemerintahan Indonesia, sehingga Said berpendapat sudah sepatutnya keduanya bertemu dalam konteks acara tersebut.
Menurutnya, akan sangat tidak elok di mata dunia, dan sangat tidak dewasa apabila segala perbedaan politik yang terjadi menghalangi pertemuan Jokowi dan Puan dalam konteks acara kenegaraan. Apalagi perhelatan KTT WWF ke-10 di Bali ini dihadiri beberapa kepala negara dunia, puluhan menteri, dan ribuan delegasi.
Said bercerita bahwa keteladanan yang dilakukan Jokowi maupun Puan ini juga telah dicontohkan oleh para pemimpin terdahulu, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, hingga Amir Sjarifudin yang banyak berbeda soal langkah politik.
"Namun para tokoh itu masih bisa bertemu untuk urusan urusan yang lebih penting, menyangkut kepentingan bangsa dan negara," ucap dia.
Dia menuturkan, dalam KTT WWF ke-10 ini, Indonesia mendapatkan potensi berbagai kerja sama internasional, di mana forum itu salah satunya akan membahas krisis dan bencana iklim. Kata dia, urusan air menyangkut kelangsungan tempat hidup di muka bumi, sehingga kontribusi Indonesia dan dunia sangat penting dalam merumuskan aksi yang baik.
Tak hanya dalam World Water Forum ke-10, Said mengatakan bahwa Puan dan Jokowi ke depannya juga akan bersua kembali karena berbagai acara kenegaraan telah menanti kehadiran kedua pihak.
Pada 16 Agustus 2024, Jokowi akan datang ke DPR dan menyerahkan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2025), yang dilanjutkan dengan sidang bersama antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Jokowi pada hari berikutnya.
Puan juga akan bersua kembali dengan Presiden Jokowi pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia, dan seterusnya di berbagai acara kenegaraan.
"Hal ini juga membuktikan kesekian kalinya kematangan jiwa kepemimpinan Mbak Puan. Beliau tidak baperan dan mengetahui menempatkan diri dengan semestinya," kata Said Abdullah menegaskan.
Ketua Harian DPP Partai Gerinda sekaligus Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad juga menyambut baik pertemuan Presiden antara Jokowi dan Puan Maharani dalam rangkaian acara KTT WWF ke-10 di Bali.
"Acara yang diadakan di Bali, dan kita lihat tadi bahwa (pertemuan) antara dua pimpinan lembaga yaitu pimpinan lembaga eksekutif dan legislatif, itu saling pertemuan yang mesra," kata Dasco, Senin (20/5/2024).
Dia pun mengapresiasi pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Puan yang dinilainya kompak. Kendati hubungan Jokowi dengan PDIP tidak lagi mesra.
"Kami apresiasi dan memang sudah seharusnya begitu antar-dua pimpinan lembaga harus saling kompak," ujar Dasco menandaskan.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman menyatakan, rekonsiliasi sudah berjalan baik antar-peserta Pilpres 2024. Begitu juga dengan para elite politik pendukung tiga peserta Pilpres tersebut yang mulai membangun komunikasi untuk membangun bangsa.
“Rekonsiliasi eks kontestan Pilpres 2024, yakni kubu paslon 1, 2, dan 3 sudah dan sedang berjalan dengan amat baik. Para pimpinan ketiga elemen sudah menjalin komunikasi yang mengarah ke penguatan kembali persatuan nasional. Biarlah rekonsiliasi berjalan natural,” kata Habiburokhman.
Jokowi-PDIP yang Tak Mesra Lagi
Hubungan Presiden Joko Widodo dengan PDIP kian panas pasca-Pilpres 2024. Hal ini buntut sikap Jokowi yang membiarkan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka 'membangkang' dari aturan partai dan memilih melawan Ganjar Pranowo yang diusung PDIP di Pilpres 2024.
Apalagi setelah Gibran dan Prabowo Subianto berhasil mencundangi duet Ganjar Pranowo-Mahfud Md di Pilpres 2024. Berbagai narasi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pemilu 2024 pun disematkan kepada rezim Jokowi.
Puncak kekesalan ini terlihat saat seorang elite partai menyatakan bahwa Jokowi bukan lagi kader PDIP karena mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Hal itu disampaikan Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun.
"Ah orang sudah di sebelah sana bagaimana mau dibilang bagian masih dari PDI Perjuangan, yang benar saja," ujarnya di Kantor DPP PDIP, Senin, (22/4/2024).
Selain Jokowi, dia menegaskan bahwa Gibran juga bukan lagi kader PDIP sejak memutuskan menjadi cawapres pendamping Prabowo. "Gibran itu sudah bukan kader partai lagi saya sudah bilang sejak dia ambil putusan itu," kata Komarudin.
Sementara itu, Presiden Jokowi tidak mau ambil pusing dengan pernyataan Komarudin Watubun yang menyebut dirinya bukan lagi kader PDIP karena dianggap mendukung Prabowo-Gibran.
"Ya, terima kasih," ucap Jokowi singkat sembari tersenyum, saat ditemui di ICE BSD Tangerang Selatan, Rabu (24/4/2024).
Namun saat disinggung akan berlabuh ke partai politik (Parpol) mana setelah tak lagi dianggap PDIP, Jokowi hanya merespons dengan candaan.
"Akan berlabuh di pelabuhan," kata Jokowi kepada wartawan di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).
Jokowi memang belakangan kerap dikaitkan dengan sejumlah parpol setelah hubungannya dengan PDIP merenggang. Salah satunya Partai Golkar. Ketum Golkar Airlangga Hartarto menyebut bahwa Jokowi sangat dekat dengan partainya, bahkan sudah dianggap keluarga.
"Bahwa Pak Jokowi itu dekat dengan Partai Golkar, dan kedua Pak Gibran itu mendapatkan mandat dari Partai Golkar melalui mekanisme Rapimnas resmi," kata Airlangga kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu 24 April 2024.
"Jadi, bagi kami Pak Jokowi dan Mas Gibran itu sudah masuk dalam keluarga besar Golkar. Tinggal tentunya formalitasnya saja," sambungnya.
Foto Jokowi Dicopot di Kantor DPD PDIP
Setelah tak dianggap sebagai kader, kini giliran foto Presiden Jokowi yang dicopot di beberapa kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP. Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan, bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP tidak memberikan arahan kepada DPD untuk mencopot foto presiden.
"Tidak ada arahan dari DPP PDIP," kata Hasto, kepada wartawan di Jakarta, dikutip Rabu (8/5/2024).
Dia menekankan bahwa PDIP sangat menghormati Presiden dan Wakil Presiden Indonesia saat ini yakni Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Sehingga, tidak mungkin DPP PDIP memberikan arahan ke jajarannya untuk mencopot foto Jokowi.
"Karena presiden saat ini adalah Pak Jokowi dan wapres adalah Pak KH Ma'ruf Amin yang dihormati oleh PDIP," ucap dia.
Namun begitu, Hasto mengklaim mendapat informasi pencopotan foto Presiden Jokowi di berbagai wilayah terjadi lantaran banyak yang dilanggar oleh mantan Wali Kota Solo itu terhadap sumpah setianya.
"Ya kami mendapat informasi bahwa itu terjadi di banyak wilayah yang dilakukan sebagai respons bahwa seorang presiden itu sumpah setianya menjalankan Konstitusi dan UU dengan selurus-lurusnya," ujarnya.
"Ketika prinsip-prinsip itu dilanggar, dan tidak memberikan keteladanan maka muncul berbagai respons," kata Hasto Kristiyanto menambahkan.
Lagi-lagi Jokowi tak ambil pusing setelah mengetahui fotonya dicopot oleh DPD PDI PDIP Sumatera Utara. Dia menganggap, yang dicopot hanya sekedar foto, tidak lebih.
"Ah foto saja," kata Jokowi kepada awak media saat kunjungan kerja di Karawang, Jawa Barat, Rabu (8/5/2024).
Jokowi pun cuek saat disinggung hanya foto dirinya saja yang dicopot, sedangkan foto wakilnya, Ma’ruf Amin masih terpajang jelas di bawah lambang negara Garuda Pancasila.
"Ya foto saja," kata Jokowi lagi.
Tak Diundang Rakernas PDIP
Kekecewaan PDIP terhadap Jokowi kembali ditunjukkan saat partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu punya hajatan berupa Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V pada 24-26 Mei 2024 mendatang. Rakernas yang akan digelar di Ancol, Jakarta itu tidak mengundang Presiden Jokowi.
Ketua DPP PDIP sekaligus SC Rakernas V PDIP, Djarot Syaiful Hidayat menegaskan, acara tersebut hanya akan diikuti oleh fungsionaris DPP partai, hingga tiga pilar partai.
“Yang jelas presiden dan wakil presiden tidak diundang. Kenapa? Karena beliau sedang sibuk dan menyibukkan diri. Jadi ini hanya untuk internal PDIP dan pesertanya internal PDIP gitu ya,” kata Djarot di Kantor DPP PDIP, Kamis (16/5/2024).
Terkait hal ini, Presiden Jokowi juga tak mau berkomentar banyak. Jokowi meminta agar hal tersebut ditanyakan ke PDIP selaku pengundang.
"Ditanyakan ke pengundang, jangan ke saya," kata Jokowi saat ditemui di Lapangan Batu Taba, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (21/5/2024).
Advertisement