Liputan6.com, Jakarta - Di tengah bergulirnya proses penyelenggaraan Pilkada 2024, Gedung Mahkamah Agung menjadi sorotan publik. Reaksi bermunculan terkait terbitnya putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 tentang usia tak harus 30 tahun saat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
MA menyatakan, Pasal 4 Ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Dengan begitu, diputuskan calon kepala daerah harus berusia paling rendah 30 tahun terhitung sejak saat pelantikan calon terpilih. Bukan terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.
Advertisement
Baca Juga
Putusan MA ini mengundang tanda tanya di tengah publik. Terlebih diputuskan dengan waktu singkat, 29 Mei 2024. Hanya berselang tiga hari sejak perkara didistribusikan ke majelis hakim, 27 Mei 2024.
Advertisement
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menilai, perubahan aturan di tengah tahapan Pilkada yang berlangsung, dipastikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau dilihat dalam tahapan penyelenggaraan pilkada, putusan MA tersebut hanya berimplikasi pada pendaftaran paslon yang diusung partai.
"Untuk perseorangan sudah lewat momentumnya. Karena calon perseorangan harus melewati fase penyerahan dukungan terlebih dahulu yang tahapannya sudah lewat," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).
Mita menjelaskan, fatwa MA tidak mengikat sepanjang tidak dituangkan dalam putusannya. Fatwa MA hanya sebagai petunjuk pihak-pihak yang berkepentingan. "Maka jika pihak yang berkepentingan mendominasi dengan segala instrumen kewenangan yang ada (regulatif), maka hal tersebut bisa diterapkan. Dalam hal ini hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap," kata dia.
Terkait proses hukum perkara yang berjalan dalam waktu tiga hari pascadilimpahkan ke majelis hakim, menurutnya, dalam peraturan MA No 1 Tahun 2011, memang tidak mengatur secara spesifik kapan keputusan Hakim harus diputuskan. Pasal 5 ayat 2 hanya mengatur sesingkat-singkatnya.
"Artinya pendalaman atau pembahasan analisa atas kasus yang muncul sangat subyektif terhadap apa kemauan hakim. Termasuk dalam hal ini kapan akan diputuskan sebuah kasus tersebut," ujar dia.
Namun demikian, dia menegaskan, salah satu prinsip penyelenggaraan pemilihan adalah adil. Untuk itu, penyelenggara pemilu harus menerapkan konsep tersebut dan tidak terkesan partisan serta bersikap mandiri dengan menolak segala bentuk intervensi dari manapun dengan menyandarkan pada kepastian hukum.
Dia memaparkan, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan KPU untuk merespons putusan MA ini. Pertama, tidak mengakomodir dengan mengabaikan putusan MA karena yang diuji MA PKPU sebelumnya. Namun konsekuensinya, kata dia, pasti akan diuji lagi dengan putusan yang sama. Kedua, tidak mengakomodirnya dengan alasan tahapan pencalonan sudah dimulai.
"Dan yang ketiga, mengakomodir putusan MA tersebut dengan mengaturnya dalam PKPU baru," imbuh dia.
Menurutnya, masyarakat sipil sebagai fungsi kontrol kelembagaan pemerintah tentu mensyaratkan adanya proses pencalonan yang memberikan kesempatan kepada semua pihak. Sehingga setiap warga negara yang mampu, berhak untuk mencalonkan diri.
"Namun pada kenyataannya, proses demokrasi di Indonesia justru memberikan kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk menguasai panggung politik serta semua kekuatan antarpartai justru satu suara mendukung jika tergabung pada satu koalisi. Pemilih hanya dapat menggantungkan nasib kepada parpol tanpa bisa menyuarakan calon yang akan mereka dorong. Untuk itu, hal ini bertentangan dengan pembangunan demokrasi yang egaliter bebas dan setara," terang dia.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai ada kejanggalan dalam putusan MA Nomor 23 tersebut. Menurutnya, PKPU yang diuji telah sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
"PKPU itu dibatalkan kalaulah tidak berdasarkan undang-undang," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).
Ia menjelaskan, kalau Undang-Undang Dasar sudah eksplisit mengaturnya, tidak ada alasan lain apa pun bagi Mahkamah Agung untuk menafsir ulang isi teks yang sudah ada di undang-undang dasar tersebut.
"Jadi memang sangat-sangat janggal perkara pengujian PKPU yang dilakukan Mahkamah Agung," ucap dia.
Feri pun menduga praktik ini dilakukan sebagai karpet merah bagi putra Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta. Suami dari Erina Gudono ini lahir pada 25 Desember 1994 atau baru akan berusia 30 tahun pada Desember mendatang, dan Pilkada digelar pada 27 November 2004. Apabila Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tahun 2020 masih diberlakukan, Ketua Umum PSI itu tidak dapat mendaftarkan diri sebagai gubernur atau calon wakil gubernur.
"Siapa yang disasar agar kemudian dengan pembatalan ini seseorang dapat diuntungkan, desas-desusnya adalah Kaesang yang belum berumur usia 30 dan perlu kemudian mendapatkan kesempatan untuk maju di dalam kontestasi Pilkada. Hal-hal begini menurut saya akan menjadi problematika serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kalaulah kemudian seluruh aturan mengenai praktik bernegara didasarkan kepada kesukaan seseorang terhadap sesuatu atau tidak," terang Feri.
Ia menilai, putusan ini bukan lantaran didasarkan pada ketidakpahaman para hakim Mahkamah Agung. Melainkan sebagai sebuah kesengajaan dalam rangka mengulang kisah romantik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.
"Di mana anak raja dapat melabrak undang-undang sehingga kemudian seluruh hal bisa diabaikan dan kemudian proses pemilu presiden berlangsung seperti yang diharapkan di sana. Dan kali ini, itu terjadi lagi. Hanya saja hemat saya, kalaupun ini politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari. Kenapa menjelang pertandingan lagi, seolah-olah tidak berhenti-hentinya menyiksa perasaan politik publik di tengah deru kekacauan peraturan-peraturan lainnya," dia menandaskan.
Sementara itu, pengamat Pemilu dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, Mahkamah Agung gagal memaknai apa yang dimaksud dengan persyaratan calon. Ia membeberkan, calon tersebut memerlukan proses yang panjang, tidak hanya ketika calon terpilih dan dilantik tetapi ketika dia mendaftar lalu ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian mengikuti kampanye pemungutan suara sampai dengan proses penentuan siapa yang terpilih.
"Jadi status calon itu dipegang atau disandang oleh seseorang ketika dia ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon. Nah ketika Mahkamah Agung menetapkan bahwa usia itu ketika dilantik, dia bukan lagi persyaratan calon, tetapi persyaratan orang yang terpilih," ujar dia.
"Keputusan Mahkamah Agung ini, inkonsisten dengan persyaratan calon di pilpres yang menetapkan usia itu ketika KPU menetapkan pasangan calon. Nah ini saya kira secara substansi putusan Mahkamah Agung ini bermasalah ya apalagi kalau kita baca argumentasi hukumnya itu sangat lemah sekali," Titi mengimbuhkan.
Karena itu, ia berpandangan putusan Mahkamah Agung ini tidak bisa diimplementasikan di Pilkada 2024 karena tahapan pencalonannya sudah dieksekusi. Hal itu berbeda dengan pilpres yang tidak ada jalur perseorangan.
"Kalau perseorangan itu sudah berproses mulai tanggal 5 Mei, mereka sudah menyerahkan syarat dukungan bakal calon perseorangan sebelum bisa mendaftar sebagai calon," ujar dia.
Jika terjadi pergeseran aturan, kondisi ini tentu saja ini sangat tidak adil bagi mereka yang sudah berproses dari jalur perseorangan dengan menuju kepada persyaratan yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Jadi terlepas dari substansinya yang kurang tepat, kalaupun putusan Mahkamah Agung ini mau diberlakukan itu tidak diberlakukan di 2024.
"Putusan MA ini kehilangan relevansi implementasinya karena sudah tidak sejalan dengan tahapan Pilkada yang berlangsung. Aturan ini menurutnya bisa diterapkan setelah Pilkada 2024," kata dia.
"Jadi itu dari sisi prosedur, substansi, dan relevansi implementasi memang putusan Mahkamah Agung ini problematik ya," Titi menambahkan.
Ke depan, uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang mestinya dilakukan dengan hukum acara yang sama dengan pengujian undang-undang di Mahkamah konstitusi. Ada transparansi dan akuntabilitas proses di mana kepentingan itu juga bisa melibatkan para pemangku kepentingan yang lebih besar.
"Tidak di dalam ruang-ruang gelap yang tersembunyi, yang tiba-tiba prosesnya sangat instan 3 hari, tetapi dia bisa mengganggu stabilitas dan tatanan catatan Pilkada secara fundamental," Titi menandaskan.
Sedangkan Surokim Abdussalam, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura menyatakan, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal calon kepala daerah membuka pintu untuk regenerasi kepemimpinan.
Menurutnya, hal ini akan memfasilitasi munculnya tokoh-tokoh muda dalam arena kepemimpinan publik. "Menurut saya, keputusan tersebut adalah langkah maju yang progresif dan berorientasi masa depan," ujar Surokim di Surabaya pada Kamis, 30 Mei 2024.
Dia juga menyatakan bahwa keputusan MA berpotensi meningkatkan partisipasi pemuda dalam kontes pemilihan kepala daerah (Pilkada).
"Saya percaya bahwa tidak ada masalah dengan hal tersebut, karena itu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih calon yang paling berkualitas," katanya yang dikutip dari Antara.
Perihal penerapannya, Surokim menyebut kontestasi Pilkada 2024 bisa menjadi titik awal penerapan putusan tersebut, namun harus dibarengi sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat oleh KPU selaku regulator pemilihan umum.
Hal ini menurutnya penting untuk mencegah penafsiran publik bahwa keputusan ini dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu. "Dengan adanya mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat, kedaulatan publik masih tetap terjaga," tambahnya.
Manipulasi Hukum
Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Pilkada 2024 PDIP Chico Hakim mengecam keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia calon kepala daerah. Menurutnya, hukum kembali dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
"Hukum kembali dimanipulasi untuk meloloskan keturunan pejabat sebagai calon," ujar Chico saat dihubungi pada Kamis (30/5/2024).
Chico mengkritik bahwa pemimpin Indonesia, terutama dalam Pilkada 2024, kembali dipaksa tanpa pengalaman dan catatan prestasi yang jelas. Hal ini menciptakan kepemimpinan yang minim prestasi.
"Negeri ini terus dipaksa untuk menerima pemimpin tanpa pengalaman, tanpa catatan prestasi yang jelas, minim pencapaian, dan belum cukup umur. Memanipulasi hukum dengan hukum merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi," tegasnya.
Hal senada disampaikan Ketua DPP Partai NasDem Sugeng Suparwoto yang menyinggung aspek kepantasan. Seharusnya, menurut dia, harus ada tambahan klausul pengalaman, selain hanya menentukan perihal batas minimal usia cagub dan cawagub.
"Kalau usia kan kesiapan matang dalam usia berapa kan juga sangat relatif, tetapi mestinya siapa pun melalui proses, mestinya tadi kalau tidak harus 30 tahun tetapi telah pernah jadi anggota DPRD. Sudah benar itu satu klausulnya adalah melalui proses elektoral itu menjadi penting, misalnya pernah menjadi anggota DPRD atau pernah memimpin sebuah katakan lah kelompok selevel apa," kata Sugeng di NasDem Tower, Jakarta, Kamis, (30/5/2024).
Sugeng menilai, pengalaman menjadi syarat penting sebagai parameter bagi masyarakat dalam menentukan siapa pemimpinnya. Dia pun menyinggung tentang adanya upaya mengakali aturan untuk memuluskan jalan pihak tertentu.
"Tetapi menurut kita, enggak usahlah saling semuanya tanda kutip mengakali aturan semata-mata untuk agar si Badu Sutonoyo, Dadapwaru bisa mencalonkan. Celaka kalau kayak begitu. Mohon maaf saya harus ungkapkan," kata Sugeng.
"Cukuplah sekali yang kemarin. Cukup. Itu mahal betul biaya psycological social-nya," kata Sugeng.
Pandangan berbeda diutarakan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia. Dia menyatakan setuju dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai batas usia calon kepala daerah. Baginya, Indonesia memiliki potensi pemimpin muda yang mampu memimpin.
"Pribadi saya, saya setuju bahwa batas minimal pencalonan untuk presiden, kepala daerah, harus diturunkan. Karena menurut saya, Indonesia sudah maju, dan proses regenerasi cukup cepat," kata Doli saat dihubungi pada Kamis (30/5/2024).
Namun, ketika ditanya apakah keputusan ini didorong agar Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep maju dalam Pilkada 2024, dia menolak.
"Jangan asumsikan semua hal seperti itu, karena ini seringkali dikaitkan dengan hal-hal lain. Saya setuju, terlepas dari siapa yang dihubungkan dengannya, itu tidak relevan," jelasnya.
"Kebijakan ini berlaku untuk 514 kabupaten/kota dan 37 provinsi, sehingga berlaku untuk siapa pun. Jadi, jika ada yang ingin mencalonkan Pak Kaesang atau siapa pun, itu adalah hak mereka," tambah Doli.
Adapun Komisioner KPU RI Idham Holik menyatakan, pihaknya tidak ingin berspekulasi terlebih dahulu. Menurutnya, saat ini KPU masih menunggu salinan resmi dari putusan tersebut.
"Dalam konteks prinsip kepastian hukum, KPU harus menunggu salinan Putusan yang dimaksud dipublikasikan secara resmi oleh MA sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d PKPU No. 2 Tahun 2024," ujar Idham melalui pesan singkat kepada media, Kamis (30/5/2024).
Idham juga menambahkan bahwa setelah menerima salinan putusan tersebut, KPU akan berdiskusi dengan pembentuk Undang-Undang. Hal ini karena, aturan terkait batas usia merupakan kewenangan DPR.
"Yang pasti, KPU akan berkomunikasi dengan pembentuk undang-undang, KPU akan melaporkan putusan MA ke pembentuk Undang-Undang," jelasnya.
Idham juga menekankan bahwa hingga saat ini, KPU masih terus melakukan harmonisasi untuk menyusun rancangan peraturan KPU (RPKPU) untuk Pilkada 2024. Oleh karena itu, putusan MA mengenai pencabutan aturan batas usia pencalonan sebagai kepala daerah akan menjadi perhatian utama.
"Mulai hari ini, KPU diundang dalam rapat harmonisasi peraturan perundang-undangan atas RPKPU Pencalonan Pilkada," tandas Idham.   Â
Advertisement
MA Ubah Batas Usia Calon Kepala Daerah
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Partai Garuda tentang batas usia kepala daerah. Gugatan tersebut, hanya diputuskan selama tiga hari sejak perkara itu diregistrasi.
Atas putusan tersebut, untuk mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur tak harus berusia 30 tahun.
Putusan tersebut tertuang dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2024 diketok pada 29 Mei 2024.
"Kabul permohonan," demikian dikutip dari laman MA, Kamis (30/5).
Pemohon adalah Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana. Ahmad Ridha juga merupakan adik politikus Gerindra, Ahmad Riza Patria.
Adapun yang mengadili adalah ketua majelis hakim Yulius dengan anggota Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Dalam putusan tersebut, MA menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Atas adanya putusan tersebut, aturan KPU diubah.
Sebelumnya, bunyi pasal 4 ayat (1) huruf d:Â berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.
Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur. Lalu berusia 25 tahun untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya.
Namun aturan tersebut diubah oleh MA menjadi:
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.
Perubahan ada pada frasa "terhitung sejak penetapan" menjadi "terhitung sejak pelantikan"
Karena adanya perubahan tersebut, maka calon kepala daerah untuk level provinsi yang sudah berusia 30 tahun sejak pelantikan atau level kabupaten/kota 25 tahun saat pelantikan, bisa mendaftarkan diri maju dalam kontestasi pemilu kepala daerah. Tidak perlu berusia 30 untuk level gubernur dan 25 tahun untuk level kabupaten/kota saat mendaftar.
Selain itu, MA juga memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota.
Sementara itu, Sekjen Partai Garuda Yohanna Murtika membenarkan putusan atas gugatan yang dilayangkan Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana.
"Iya Alhamdulillah (gugatan dikabulkan)" kata Yohanna, saat dikonfirmasi, Kamis (30/5).
Jalan Mulus Kaesang Menuju Pilkada Jakarta?
Sebelum keputusan MA terhadap KPU ramai diperbincangkan, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep disebut sebut akan maju sebagai calon wakil gubernur Jakarta bersama Budi Djiwandono, keponakan Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai wakil ketua umum Partai Gerindra.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Sufmi Dasco, membagikan gambar duet tersebut. Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman, wacana Budi-Kaesang adalah aspirasi masyarakat.
"Benar bahwa banyak aspirasi dari masyarakat Jakarta, khususnya dari Jakarta Timur, wilayah pemilihan saya, yang ingin melihat Mas Budi Djiwandono maju sebagai Gubernur Jakarta pada periode mendatang, mungkin karena dia adalah sosok yang muda, cerdas, rendah hati, dan menarik," kata Habiburokhman kepada wartawan pada Kamis (30/5/2024).
Menurut Habiburokhman, semua aspirasi masyarakat akan diperhatikan, tetapi keputusan akhir ada di tangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
"Mengenai poster Pak Budi Djiwandono dan Mas Kaesang, saya melihat itu sebagai bentuk penyampaian aspirasi masyarakat kepada kami. Keputusan resmi akan diumumkan oleh Pak Dasco berdasarkan keputusan Pak Prabowo pada waktunya," jelasnya.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) Andy Budiman menanggapi soal peluang duet Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dan Keponakan Prabowo Subianto Budisatrio Djiwandono dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta 2024.Â
Andy menilai, munculnya duet antara Budi-Kaesang untuk Pilkada Jakarta 2024 sebagai kode-kode politik yang biasa terjadi. Menurutnya, duet itu mencuat karena ada keinginan dari masyarakat.
"PSI tentu senang dan berbangga nama Mas Kaesang Pangarep, ketua umum kami beredar di tengah masyarakat yang menginginkan agar Mas Kaesang menjadi kepala daerah seperti di Depok, Bekasi, Surabaya, dan terakhir di DKI Jakarta," kata Andy melalui akun Instagram @psi_id, Jumat (31/5/2024).
Andi memandang, masyarakat memiliki harapan dipimpin figur muda yang bisa memperbaiki keadaan di kota, kabupaten maupun di provinsi. Andy juga mengaku, telah berkomunikasi dengan Putra Bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas hal ini.Â
"Ia (Kaesang) masih sibuk mengurus persiapan Pilkada di berbagai daerah bertemu dengan calon gubernur, bupati, dan walikota yang ingin mendaftar ke PSI. Mas Kaesang ingin maksimal memastikan kader-kader terbaik PSI bisa menang di berbagai daerah di Indonesia," ujarnya.
Andy menyatakan, DPP PSI sepenuhnya menunggu sikap dan keputusan resmi Kaesang soal maju tidaknya Kaesang pada Pilgub Jakarta 2024. Selai
Tak hanya itu, dia menegaskan PSI juga akan menunggu arahan dari partai politik (parpol) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) terkait Pilkada Jakarta 2024.
"Sikap politik PSI juga akan melihat kesepakatan dan arahan dari partai partai senior di koalisi Indonesia maju atau KIM. Kami percaya apa yang terbaik bagi masyarakat maka PSI akan ikut berjuang di sana," ucap dia.
Pengamat Politik Usep S. Achyar menilai tak masalah atas putusan MA yang mengubah batas usia calon kepala daerah. Asalkan dasar pemikiran putusan itu transparan sehingga publik dapat memahaminya dengan baik.
"Jangan karena orang per orang atau memuluskan orang per orang tapi sebenarnya kan kenapa publik mencurigai itu, karena memang ada presedennya. Saya kira menurunkan usia atau menambah usia calon kepala daerah itu hal yang wajar," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).
Ia menilai, putusan MA ini juga menjadi angin segar bagi partai politik yang ingin mengusung kader mudanya bertarung dalam Pilkada 2024. Karena menurutnya, banyak kader muda di partai politik yang memiliki kompetensi untuk maju menjadi kepala daerah.
"Persoalan itu saya kira tidak hanya untuk Kaesang. Kalau saya lihat menguntungkan yang lain. Di usia-usia muda seperti itu juga di partai-partai lain atau kader-kader lain juga Saya kira banyak diuntungkan dengan momentum gitu ya," kata dia.
Namun begitu, putusan ini akan menjadi jalan untuk memuluskan langkah Gibran maju dalam Pilkada Jakarta 2024. Sebab dari sisi infrastruktur politik, adik dari Gibran Rakabuming ini memiliki kekuatan untuk maju dalam Pilkada Jakarta.
"Apakah Kaesang akan maju atau tidak, kemungkinan itu ya Saya kira memang ada. Karena dia ketua partai politik yang orientasinya ya kekuasaan seperti gubernur bupati. Dan itu saya kira wajar," ucap dia.
Terlebih PSI memiliki kekuatan yang lumayan di Jakarta di banding wilayah lain. Selain itu, anak-anak muda di Jakarta juga menduduki struktur demografi yang cukup baik.
"Selama ini kan Kaesang juga banyak didukung oleh kelompok-kelompok muda, dan di Jakarta itu kelompok-kelompok muda ya lumayan menempati struktur demografi yang cukup lumayan ya, itu terbukti juga pemilih PSI ini kan juga tinggi di DPR," terang Usep.
"Dan kiprah PSI itu jejak-jejak politiknya cukup progresif dan leading dalam hal mengawal kebijakan-kebijakan dan pengawasan terhadap pemerintah," dia menambahkan.
 Â
Â
Advertisement