Gus Choi NasDem soal Putusan MA: Masalah Umur Tidak Perlu Dijadikan Masalah

Ketua DPP Partai NasDem Effendy Choirie alias Gus Choi, merespons soal putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon kepala daerah.

oleh Tim News diperbarui 01 Jun 2024, 11:30 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2024, 11:30 WIB
Gedung MA
Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Ketua DPP Partai NasDem Effendy Choirie alias Gus Choi, merespons soal putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon kepala daerah.

Dia menilai, perihal umur tidak perlu menjadi masalah. Sebab, untuk menjadi kepala daerah cukup dengan syarat sudah akil baligh.

"Soal umur enggak perlu jadi masalah, yang akan datang, calon kepala daerah atau kepala daerah cukup dengan syarat sudah akil baligh," kata Gus Choi, saat dikonfirmasi, Sabtu (1/6/2024).

Bahkan, kata Gus Choi, tak perlu ada ijazah untuk menjadi kepala daerah. Terpenting, menurutnya dikehendaki rakyat.

"Ada KTP, enggak perlu ijazah, enggak perlu surat kelakuan baik. Yang penting mau, mampu, dan dikehendaki rakyat," ujar dia.

Sebelumnya, di tengah bergulirnya proses penyelenggaraan Pilkada 2024, Gedung Mahkamah Agung menjadi sorotan publik. Reaksi bermunculan terkait terbitnya putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 tentang usia tak harus 30 tahun saat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.

MA menyatakan, Pasal 4 Ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Dengan begitu, diputuskan calon kepala daerah harus berusia paling rendah 30 tahun terhitung sejak saat pelantikan calon terpilih. Bukan terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Putusan MA ini mengundang tanda tanya di tengah publik. Terlebih diputuskan dengan waktu singkat, 29 Mei 2024. Hanya berselang tiga hari sejak perkara didistribusikan ke majelis hakim, 27 Mei 2024.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menilai, perubahan aturan di tengah tahapan Pilkada yang berlangsung, dipastikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau dilihat dalam tahapan penyelenggaraan pilkada, putusan MA tersebut hanya berimplikasi pada pendaftaran paslon yang diusung partai.

"Untuk perseorangan sudah lewat momentumnya. Karena calon perseorangan harus melewati fase penyerahan dukungan terlebih dahulu yang tahapannya sudah lewat," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).

Mita menjelaskan, fatwa MA tidak mengikat sepanjang tidak dituangkan dalam putusannya. Fatwa MA hanya sebagai petunjuk pihak-pihak yang berkepentingan. "Maka jika pihak yang berkepentingan mendominasi dengan segala instrumen kewenangan yang ada (regulatif), maka hal tersebut bisa diterapkan. Dalam hal ini hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap," kata dia.

 

 

Sangat Subyektif

Terkait proses hukum perkara yang berjalan dalam waktu tiga hari pascadilimpahkan ke majelis hakim, menurutnya, dalam peraturan MA No 1 Tahun 2011, memang tidak mengatur secara spesifik kapan keputusan Hakim harus diputuskan. Pasal 5 ayat 2 hanya mengatur sesingkat-singkatnya.

"Artinya pendalaman atau pembahasan analisa atas kasus yang muncul sangat subyektif terhadap apa kemauan hakim. Termasuk dalam hal ini kapan akan diputuskan sebuah kasus tersebut," ujar dia.

Namun demikian, dia menegaskan, salah satu prinsip penyelenggaraan pemilihan adalah adil. Untuk itu, penyelenggara pemilu harus menerapkan konsep tersebut dan tidak terkesan partisan serta bersikap mandiri dengan menolak segala bentuk intervensi dari manapun dengan menyandarkan pada kepastian hukum.

Dia memaparkan, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan KPU untuk merespons putusan MA ini. Pertama, tidak mengakomodir dengan mengabaikan putusan MA karena yang diuji MA PKPU sebelumnya. Namun konsekuensinya, kata dia, pasti akan diuji lagi dengan putusan yang sama. Kedua, tidak mengakomodirnya dengan alasan tahapan pencalonan sudah dimulai.

"Dan yang ketiga, mengakomodir putusan MA tersebut dengan mengaturnya dalam PKPU baru," imbuh dia.

Menurutnya, masyarakat sipil sebagai fungsi kontrol kelembagaan pemerintah tentu mensyaratkan adanya proses pencalonan yang memberikan kesempatan kepada semua pihak. Sehingga setiap warga negara yang mampu, berhak untuk mencalonkan diri.

"Namun pada kenyataannya, proses demokrasi di Indonesia justru memberikan kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk menguasai panggung politik serta semua kekuatan antarpartai justru satu suara mendukung jika tergabung pada satu koalisi. Pemilih hanya dapat menggantungkan nasib kepada parpol tanpa bisa menyuarakan calon yang akan mereka dorong. Untuk itu, hal ini bertentangan dengan pembangunan demokrasi yang egaliter bebas dan setara," terang dia.

 

Ada Kejanggalan

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai ada kejanggalan dalam putusan MA Nomor 23 tersebut. Menurutnya, PKPU yang diuji telah sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

"PKPU itu dibatalkan kalaulah tidak berdasarkan undang-undang," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).

Ia menjelaskan, kalau Undang-Undang Dasar sudah eksplisit mengaturnya, tidak ada alasan lain apa pun bagi Mahkamah Agung untuk menafsir ulang isi teks yang sudah ada di undang-undang dasar tersebut.

"Jadi memang sangat-sangat janggal perkara pengujian PKPU yang dilakukan Mahkamah Agung," ucap dia.

Feri pun menduga praktik ini dilakukan sebagai karpet merah bagi putra Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta. Suami dari Erina Gudono ini lahir pada 25 Desember 1994 atau baru akan berusia 30 tahun pada Desember mendatang, dan Pilkada digelar pada 27 November 2004. Apabila Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tahun 2020 masih diberlakukan, Ketua Umum PSI itu tidak dapat mendaftarkan diri sebagai gubernur atau calon wakil gubernur.

"Siapa yang disasar agar kemudian dengan pembatalan ini seseorang dapat diuntungkan, desas-desusnya adalah Kaesang yang belum berumur usia 30 dan perlu kemudian mendapatkan kesempatan untuk maju di dalam kontestasi Pilkada. Hal-hal begini menurut saya akan menjadi problematika serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kalaulah kemudian seluruh aturan mengenai praktik bernegara didasarkan kepada kesukaan seseorang terhadap sesuatu atau tidak," terang Feri.

Ia menilai, putusan ini bukan lantaran didasarkan pada ketidakpahaman para hakim Mahkamah Agung. Melainkan sebagai sebuah kesengajaan dalam rangka mengulang kisah romantik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.

"Di mana anak raja dapat melabrak undang-undang sehingga kemudian seluruh hal bisa diabaikan dan kemudian proses pemilu presiden berlangsung seperti yang diharapkan di sana. Dan kali ini, itu terjadi lagi. Hanya saja hemat saya, kalaupun ini politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari. Kenapa menjelang pertandingan lagi, seolah-olah tidak berhenti-hentinya menyiksa perasaan politik publik di tengah deru kekacauan peraturan-peraturan lainnya," dia menandaskan.

 

Reporter: Alma Fikhasari/Liputan6.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya