Penolakan Putusan MK oleh DPR Dinilai Hal Biasa dalam Konstitusi, Pengamat Harap Masyarakat Tak Terprovokasi

Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Henri Subiakto mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh situasi politik yang semakin memanas.

oleh Tim News diperbarui 23 Agu 2024, 00:16 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2024, 13:04 WIB
Gedung MK
Suasana di luar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat saat berlangsungnya sidang sengketa Pilpres 2024. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Henri Subiakto mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh situasi politik yang semakin memanas.

Dalam unggahannya di platform X atau Twitter terdahulu pada Rabu 21 Agustus 2024, Henri berharap agar tidak ada pihak, baik masyarakat maupun kekuatan politik terjebak dalam provokasi terkait manuver elit politik yang dinilai tidak pantas belakangan ini.

"Saya berdoa dan berharap, tidak ada yang terpancing oleh situasi politik yang memanas dan manuver elit politik yang tidak pantas. Masyarakat harus waspada dan berupaya menjaga agar tidak terjadi keributan massa di Indonesia, terutama di Jakarta," ujar Henri Subiakto yang dikutip, Kamis (22/8/2024).

Pernyataan Henri ini tentunya mengingatkan sekaligus menyoroti polemik yang sedang terjadi pascakeputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada.

Dia menyatakan, putusan MK yang membuka peluang bagi calon baru di Pilkada perlu disikapi dengan bijaksana dan tidak berlebihan.

Henri menekankan agar masyarakat tetap tenang dan tidak terlalu menaruh harapan tinggi terhadap perkembangan politik saat ini.

"Jangan mudah terpancing amarah dan jangan mudah terprovokasi oleh situasi politik belakangan ini. Bagi mereka yang kecewa karena calon yang diunggulkan tidak dapat maju di Pilkada, sebaiknya tetap bersabar," tandas Henri.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR terkait perubahan ambang batas pencalonan Pilkada 2024 dan syarat usia calon kepala daerah. Menurut dia, pembahasan aturan di dua lembaga tersebut merupakan proses konstitusional yang biasa terjadi.

"Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konsitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi sebagaimana disirkan di YouTube Sekretariat Presiden, Rabu 21 Agustus 2024.

 

Putusan MK

Jelang Sidang Pembacaan Putusan, Penjagaan Gedung MK Diperketat
Personel Brimob berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (25/6/2019). Jelang sidang pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (27/6), sekitar 47.000 personel keamanan gabungan akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.

Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa 20 Agustus 2024. MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.

Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.

"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.

 

Pasal 40 (3) UU Pilkada Dinyatakan Inkonstitusional

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. (Image by fanjianhua on Freepik)

Inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada tersebut tentu berdampak pada pasal lain, seperti Pasal 40 ayat (1).

"Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016," ungkapnya.

Adapun isi pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada sebelum diubah yakni, "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan."

Sementara itu, Panja Baleg DPR RI membahas Revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) serta keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD mengusung calon di pilkada.

Panja menyetujui syarat pencalonan kepala daerah baru di pilkada yang diputuskan MK hanya berlaku bagi partai non-parlemen.

Sementara bagi partai politik yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.

Infografis KPU Siap Hadapi Sengketa Pemilu 2024 di MK. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis KPU Siap Hadapi Sengketa Pemilu 2024 di MK. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya