Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menanggapi isu penghapusan nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 saat menghadiri diskusi publik bertajuk "Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM 2014-2023" yang digelar, Jumat (27/9/2024).
Dalam pernyataannya, Mahfud menegaskan bahwa istilah "dihapus" tidak ada dalam konteks ketetapan MPR tersebut. "Saya tidak dengar itu dihapus, menurut saya itu bukan dihapus tetapi memang sudah ditetapkan sebagai Ketetapan yang tidak berlaku lagi sejak keluarnya Tap MPR Nomor 1 Tahun 2023," ujarnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa istilah penghapusan dalam konteks ini tidaklah tepat. "Istilah dihapus itu tidak ada ya, mungkin itu sudah dinyatakan selesai, sehingga tidak perlu ada hukum untuk tindakan baru, mungkin begitu maksudnya. Kalau dihapus itu ndak boleh," tambahnya.
Advertisement
Di sisi lain, Mahfud juga merespons usulan Ketua KPK yang ingin memasukkan konflik kepentingan ke dalam UU Tipikor. Ia menyatakan dukungannya terhadap rencana ini, mengingat banyaknya konflik kepentingan yang terjadi.
"Bagus, karena memang itu yang selama ini menjadi kendala. Ada konflik kepentingan di antara pejabat negara dengan kasus, di antara pejabat dengan tugasnya, di antara pejabat dengan prosedur hukum, itu banyak konflik kepentingan. Itu sudah ditemukan dari sigi internasional, Transparency International itu sudah menyatakan di Indonesia itu banyak konflik of interest," katanya.
Sebagai akademisi sekaligus politikus, ia juga memuji langkah KPK jika berhasil memasukkan konflik kepentingan ke dalam UU Tipikor, termasuk mengatasi masalah lain yang sudah lama dibahas.
"Bahkan KPK bagus kalau bisa memasukan itu, termasuk juga yang sudah lama dibahas korupsi di ruang lingkup swasta. Sekarang ini kan korupsi itu artinya pejabat, padahal banyak juga korupsi di lingkungan swasta," lanjutnya usai acara yang digelar di Gondangdia, Jakarta Pusat.
Amnesty International Kritik Dihapusnya Nama Soeharto di TAP MPR 11/1998
Sebelumnya, Amnesty International mengkritik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Penghapusan nama Soeharto itu dinilai sebagai langkah mundur perjalanan reformasi. Pasalnya, jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa belum selesai diungkap.
"MPR menciptakan preseden buruk yang membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Ini akan berdampak pada kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis, diterima Kamis (26/9/2024).
Usman menilai kebijakan itu juga akan mempersempit ruang sipil bagi masyarakat sipil yang bergerak di sektor anti korupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Apalagi, kata dia, keputusan MPR beriringan dengan gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
"Ini jelas melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang terus menuntut keadilan. Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," jelas Usman.
Advertisement
Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto, dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Hal itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024. Menurutnya, usulan penghapusan diajukan oleh fraksi Partai Golkar pada 18 September 2024.
"Surat dari fraksi Partai Golkar, tanggal 18 September 2024, perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/MPR 1998," kata Bamsoet dalam sidang akhir masa jabatan MPR, Rabu (25/9/2024).
Bamsoet menyatakan, pimpinan MPR sepakat menjawab usulan Golkar pada Rapat Pimpinan MPR rapat bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September.
"Namun terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bamsoet.
Diketahui, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 ditetapkan pada 13 November 1998. Pada pasal 4 TAP MPR tersebut menyebutkan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu, termasuk ada Soeharto dan kroninya.