Liputan6.com, Jakarta - Perkumpulan penulis Indonesia, Satupena memberikan penghargaan kepada tiga sastrawan terbaik bangsa yakni Ahmad Tohari, Esther Jaluk, dan Mirdiono Mokoginta pada Senin (9/12/2024).
Ahmad Tohari dianugerahi penghargaan Lifetime Achievement Award 2024. Kemudian, Esther Jaluk mendapat penghargaan Dermakata Award 2024 kategori fiksi, berkat karyanya yang menyuarakan suara orang terpinggirkan di Papua.
Sedangkan atas kualitas karyanya dan riset untuk sejarah lokal masyarakatnya di Bolmong, Murdiono Mokoginta dari Bolmong diberi penghargaan Dermakata Award, kategori nonnfiksi. Dermakata Award, baik fiksi maupun nonfiksi, diberikan oleh Lembaga Kreator Era AI.
Advertisement
"Masing-masing pemenang memperoleh Piagam Penghargaan dan hadiah berupa uang tunai. Jumlah dana 50 juta rupiah untuk Lifetime Achievement Award, dan 35 juta rupiah masing-masing untuk Dermakata Award," ujar Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena sekaligus Penggagas Lembaga Kreator Era AI Denny JA, melalui keterangan tertulis, Senin (9/12/2024).
Denny JA juga mengumumkan yayasan yang didirikannya, yaitu Denny JA Foundation,sudah menghibahkan dana abadi untuk penghargaan tahunan bagi penulis.
"Dengan adanya dana abadi ini, hadiah tahunan bagi penulis dapat berlangsung hingga 50 tahun mendatang atau lebih," ucap dia.
Adapun terpilihnya para pemenang tersebut atas kerja berjenjang para juri. Para juri terdiri dari Anwar Putra Bayu (Sumatera), Dhenok Kristianti (Jawa), Hamri Manopo (Sulawesi), I Wayan Suyadna (Bali), Muhammad Thobroni (Kalimantan), Victor Manengke (Papua), dan Okky Madasari. Untuk Lifetime Achievement Award, Anwar Putra Bayu sebagai ketua. Untuk Dermakata Award, Okky Madasari sebagai ketua.
"Pemenang diseleksi secara bertahap dari daerah, lalu diusulkan ke pusat," kata Denny JA.
Â
Alasan Memberikan Penghargaan
Denny JA juga memaparkan alasan Ahmad Tohari, Esther Haluk, dan Murdiono Mokoginta mendapatkan penghargaan bergengsi ini.
"Jika sastra adalah suara yang memahat waktu, maka Ahmad Tohari salah satu pemahat terpenting yang dimiliki Indonesia," ucap dia.
Lebih lanjut, Denny mengatakan, dalam perjalanan panjangnya, Tohari telah melahirkan karya-karya yang tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga menyuarakan kegelisahan manusia.
"Pertama, ia adalah penjaga jiwa desa. Dalam setiap karya Tohari, desa bukan hanya latar, tetapi denyut nadi dari cerita itu sendiri. Dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk hingga Di Kaki Bukit Cibalak, Tohari menempatkan desa sebagai ruang hidup yang penuh warna, tradisi, dan perjuangan," papar dia.
"Kedua, ia adalah saksi dan suara keadilan sosial. Karya-karyanya adalah perenungan mendalam atas ketimpangan, eksploitasi, dan pergolakan politik. Kubah menggambarkan perjalanan seorang mantan komunis dalam mencari pengampunan, sementara "Orang-Orang Proyek" mengungkap praktik korupsi yang merugikan rakyat kecil," sambung Denny menjelaskan.
Penghargaan Lifetime Achievement Award bukan hanya sebuah pengakuan atas dedikasi panjang Tohari dalam sastra. Ini adalah penghormatan kepada suara yang telah menjadikan desa, keadilan, dan spiritualitas sebagai wajah sejati Indonesia.
"Kemudian, untuk penghargaan selanjutnya, salah satu karya Esther Haluk yang monumental adalah "Nyanyian Sunyi" (2021). Buku puisi ini bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata indah, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehidupan di Papua," kata Denny.
"Esther menggambarkan ketidakadilan sosial, kekerasan, dan perjuangan sehari-hari dengan bahasa yang lugas dan menggugah," sambung dia.
Â
Advertisement
Seniman Pencerita
Menurut Denny, karya Esther Haluk menjadi medium advokasi yang kuat, menyoroti diskriminasi berlapis yang dialami perempuan Papua: sebagai perempuan, sebagai masyarakat adat, dan sebagai korban konflik berkepanjangan.
"Dalam hal ini, Esther Haluk memenuhi dua kriteria utama penerima Dermakata Award 2024 untuk kategori Fiksi: kualitas sastra dan dampak sosial," kata dia.
Terkhir, lanjut Denny, untuk penghargaan yang diterima Murdiono Mokoginta, seniman yang satu ini merupakan seorang pencerita. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia menelusuri arsip-arsip kolonial Hindia Belanda untuk menghidupkan kembali kisah-kisah yang hampir terlupakan.
"Dedikasinya menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang memahami akar yang membentuk masa kini dan merancang masa depan yang lebih berdaya," ucap Denny.
"Dengan karya mutakhirnya, Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX-XX (2024), Murdiono Mokoginta (Dion) tidak hanya mencatat sejarah. Ia juga menghidupkannya dengan bahasa yang ringan, namun tetap berbobot," sambung dia.
Denny menyebut, buku ini mengungkap dinamika sosial, budaya, religi, dan politik Bolaang Mongondow pada abad ke-19 dan 20. Ia menawarkan wawasan yang mendalam sekaligus relevan.
Dion, sapaan Murdiono, menjadikan buku ini dapat diakses oleh semua kalangan, dari akademisi hingga masyarakat umum, sebuah pencapaian yang jarang ditemui dalam literatur sejarah.
"Penghargaan ini juga mengakui keberanian dan komitmen Dion untuk mendokumentasikan sejarah lokal. Di tengah arus globalisasi, fokus pada narasi lokal seperti yang Dion lakukan menjadi semakin penting," ucap Denny mengakhiri.