Koalisi Masyarakat Sipil Surati Komisi III DPR, Minta Perhatikan 8 Poin Krusial Pembaruan KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil memberikan sejumlah perhatian sekaligus rekomendasi kepada Komisi III DPR RI agar melakukan beberapa hal untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

oleh Tim News diperbarui 10 Feb 2025, 16:35 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2025, 16:22 WIB
Komisi III DPR RI menggelar fit and proper test  calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisi III menggelar rapat di Gedung DPR (Dok. Tangkapan Layar Tv Parlemen)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mengirimkan surat secara terbuka kepada Komisi III DPR RI perihal pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP yang tahun 2025, masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Selain kepada Komisi III DPR RI, surat terbuka ini juga dikirimkan kepada Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI.

“Menurut kami penting untuk menyampaikan apa yang kemudian menjadi masukan masyarakat sipil, apa yang menjadi perhatian bersama dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi,” kata Anggota LBH Jakarta, Fadhil Alfathan di Gedung DPR RI pada Senin (10/2/2025).

Dalam surat ini, Fadhil mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil memberikan sejumlah perhatian sekaligus rekomendasi kepada Komisi III DPR RI agar melakukan beberapa hal untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Setidaknya berdasarkan pemantauan, laporan, dan hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi, kami menilai KUHAP yang sudah diberlakukan sejak Desember 1981, sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman maupun kebutuhan terkait dengan perkembangan sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Sejak beberapa tahun lalu atau dekade lalu, kata dia, Mahkamah Konstitusi sudah melakukan perubahan terhadap substansi yang ada terkait dengan hukum acara pidana di dalam KUHAP. Begitu pula, puluhan undang-undang yang ada saat ini sudah mengatur secara tersendiri perihal hukum acara, yang mana itu belum ada penyelarasan lebih lanjut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

“Kemudian terkait dengan berbagai instrumen hukum internasional di bidang hukum pidana maupun hak asasi manusia, belum ada pengadopsian yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI untuk menindaklanjutinya ke dalam pembaruan hukum pidana,” jelas dia.

Selain itu, Fadhil mengatakan ada urgensi pembaruan KUHAP mengingat pemberlakuan KUHP akan operasional pada 2026. Menurut dia, implementasi hukum acara pidana sudah berada dalam batas-batas yang sangat mengkhawatirkan.

“Banyak sekali pelanggaran hukum acara yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, penyelewengan-penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan yang berwujud dalam kriminalisasi, penyiksaan, perilaku-perilaku koruptif maupun penyelewengan-penyelewengan lain, yang ironisnya dilakukan atas nama hukum acara pidana atau penegakan hukum pidana. Sehingga, bagi kami penting untuk kemudian menyampaikan apa yang menjadi masukan kami,” ungkapnya.

 

8 Poin Krusian dalam KUHAP

Maka dari itu, Fadhil mengatakan setidaknya ada 8 poin krusial yang seharusnya masuk ke dalam substansi pembahasan pembaruan KUHAP. Pertama, soal peneguhan kembali prinsip due process of law. “Kemudian ada penguatan dan penjaminan terhadap hak asasi manusia dan juga penguatan sistem check and balances gitu ya,” jelas Fadhil.

Kedua, Fadhil menilai perlu ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang memadai terkait dengan upaya paksa. Adapun, upaya paksa mulai dari penetapan tersangka, penahanan, penangkapan, penyitaan dan penggeledahan itu rawan sekali disalahgunakan oleh aparat penegakan hukum.

“Sehingga, tanpa adanya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang jelas yang harusnya diatur dalam KUHAP, maka instrumen-instrumen hukum acara itu rawan sekali disalahgunakan,” katanya.

Ketiga, ada penguatan hak-hak tersangka yang selama ini kerap kali dinihilkan atau tidak diakui dalam pelaksanaan penegakan di bidang hukum pidana. Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa atau perkara di luar persidangan yang hingga saat ini belum ada penyelarasan.

“Kelima, perlu ada perbaikan pengaturan mengenai upaya paksa seperti banding kasasi peninjauan kembali atau kasasi demi kepentingan hukum,” ujarnya lagi.

Perbaikan Penjaminan Hak Korban

Kemudian, perlu ada mekanisme komplain atau keberatan ketika masyarakat atau orang-orang yang berhadapan dengan hukum mengalami pelanggaran hukum acara atau pelanggaran hak asasi manusia.

“Karena kami pandang selama ini pra-peradilan belum menjadi wadah kontrol yang jelas gitu ya dan memberikan atau berorientasi pada keadilan,” ucapnya.

Terakhir, Fadhil menilai perlu juga ada penguatan dan perbaikan penjaminan hak-hak korban, baik hak-hak yang bersifat prosedural seperti hak atas informasi perkembangan perkara, hak agar perkaranya ditindaklanjuti oleh penegak hukum maupun hak bagi korban untuk mendapatkan pemulihan.

“Berdasarkan subsansi-subsansi tadi, kami meminta dua hal kepada Komisi III DPR RI maupun Badan Keahlian Setjen DPR RI yaitu yang pertama pembahasan KUHAP harus berorientasi pada perbaikan fundamental, terkait dengan sistem peradilan pidana. Jadi bukan hanya revisi yang semu yang hanya untuk mengoperasionalisasikan KUHP nasional di 2026 nanti. Tapi harus betul-betul berorientasi pada perbaikan sistem peradilan pidana mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat terkait sistem peradilan pidana,” pungkasnya.

Infografis

Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya