Liputan6.com, Jakarta - Sengketa mengenai keabsahan dokumen pencalonan Wakil Bupati Pasaman Nomor Urut 1, Anggit Kurniawan Nasution, kembali mencuat dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Perdebatan berpusat pada surat keterangan dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang sebelumnya digunakan sebagai bukti tidak pernah dipidana, namun kemudian dianulir.
Dalam sidang, pihak termohon menegaskan bahwa tidak ada unsur tipu muslihat dalam pengurusan dokumen tersebut, dan permasalahan yang timbul lebih bersifat administratif daripada pidana.
Advertisement
Baca Juga
Sidang yang digelar di Gedung MK Jakarta pada 11 Februari 2025 ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Suhartoyo, dengan dua hakim anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.
Advertisement
Persidangan dibuka pukul 08.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak termohon. Hadir dalam sidang antara lain kuasa hukum pemohon, kuasa hukum termohon dari KPU Pasaman, serta ahli dari masing-masing pihak.
Kuasa hukum termohon, Samaratul Fuad, dalam pemaparannya menyatakan bahwa KPU Pasaman telah menjalankan tahapan pencalonan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Tidak ada pelanggaran dalam proses penelitian berkas administrasi calon. Semua dokumen diperiksa dengan teliti, dan keputusan diambil berdasarkan dokumen yang sah pada saat itu,” ujar Samaratul.
Salah satu poin utama yang dipertanyakan dalam persidangan adalah bagaimana Anggit Kurniawan Nasution memperoleh surat keterangan dari PN Jakarta Selatan.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan dalam sidang, Anggit meminta surat keterangan tersebut dengan itikad baik untuk memastikan apakah dirinya memiliki status hukum yang dapat menghalangi pencalonannya atau tidak.
Ahli dari pihak terkait, Zainal Arifin Mochtar, menegaskan bahwa langkah yang diambil Anggit dalam mengajukan surat keterangan ke PN bukanlah bentuk manipulasi atau penyembunyian fakta.
“Anggit Kurniawan Nasution meminta surat tersebut bukan untuk menipu atau mengelabui pihak mana pun, melainkan untuk memastikan status hukumnya. Jika saat itu PN menerbitkan surat yang menyatakan dia tidak pernah dipidana, maka secara administratif, dokumen itu sah,” jelasnya.
Senada dengan itu, Feri Amsari menekankan bahwa dalam hukum administrasi, ada asas presumption of validity, yang berarti bahwa dokumen yang diterbitkan oleh lembaga resmi harus dianggap sah sampai ada pembatalan resmi.
“Anggit meminta surat tersebut secara resmi, mengikuti prosedur, dan mendapat dokumen yang menyatakan dia tidak pernah dipidana. Tidak ada unsur tipu muslihat di sini. Jika kemudian surat itu dianulir oleh PN setelah pencalonan berlangsung, itu lebih merupakan kesalahan administrasi, bukan pelanggaran pidana,” paparnya.
Ahli dari KPU
Dalam persidangan, Khairul Fahmi, ahli dari pihak termohon, menegaskan bahwa klarifikasi terhadap dokumen pencalonan hanya dilakukan jika ada indikasi kuat yang menunjukkan ketidaksesuaian.
“Jika sebuah dokumen diterbitkan oleh lembaga yang berwenang dan dianggap sah pada saat itu, maka KPU tidak memiliki kewajiban untuk melakukan klarifikasi tambahan. Ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Pilkada yang menyebutkan bahwa klarifikasi hanya dilakukan jika diperlukan,” jelasnya.
Otong Rosadi, ahli lainnya dari termohon, menambahkan bahwa sistem informasi pencalonan (Silon) yang digunakan KPU telah membantu memastikan keabsahan dokumen administrasi.
“Pada saat pencalonan, surat keterangan dari PN Jakarta Selatan masih berlaku dan tidak ada indikasi manipulasi dalam pengajuannya. Jika terjadi perubahan status setelah pencalonan, itu bukan tanggung jawab calon, melainkan instansi penerbit dokumen,” ujar Otong.
Lebih lanjut, ahli dari pihak termohon juga menyoroti bahwa permasalahan ini lebih berkaitan dengan aspek administratif daripada pidana.
Menurut Feri Amsari, pemidanaan dalam kasus perdata sering kali bersifat abu-abu, terlebih jika ada unsur perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa.
“Jika kita melihat prinsip restorative justice dalam hukum modern, banyak kasus seperti ini seharusnya diselesaikan tanpa harus berdampak pada hak politik seseorang. Ini adalah prinsip yang harus dipertimbangkan dalam kasus Anggit Kurniawan Nasution,” ujarnya.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam persidangan adalah laporan dari masyarakat yang diterima KPU Pasaman pada 21 September 2024, yang menyatakan bahwa Anggit Kurniawan Nasution memiliki riwayat hukum.
Namun, dalam keterangan ahli, disebutkan bahwa laporan tersebut baru muncul setelah proses pendaftaran ditutup, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan pencalonan.
Kuasa hukum pemohon sempat mempertanyakan mengapa KPU tidak melakukan klarifikasi lebih lanjut setelah menerima laporan tersebut.
Namun, ahli dari termohon menjelaskan bahwa sesuai dengan PKPU Nomor 8 Tahun 2024, KPU hanya dapat melakukan klarifikasi dalam batas waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, masa klarifikasi sudah berakhir sebelum laporan diterima.
Sidang yang berlangsung selama hampir lima jam tersebut memperlihatkan perdebatan sengit antara pihak pemohon dan termohon.
Hakim Ketua Suhartoyo menutup persidangan dengan menyatakan bahwa majelis hakim akan mempertimbangkan seluruh keterangan saksi, ahli, dan bukti yang diajukan sebelum membuat keputusan akhir.
“Mahkamah akan menelaah setiap aspek hukum yang telah disampaikan dalam sidang ini, dan putusan akan diambil berdasarkan prinsip keadilan,” ujarnya sebelum mengetuk palu.
Advertisement
Infografis
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)