Liputan6.com, Jakarta Metode pembayaran digital atau cashless menjadi hal lumrah dilakukan oleh masyarakat, khususnya yang tinggal di kota besar. Peralihan metode pembayaran ini seiring dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat.
Dompet fisik yang biasanya penuh dengan uang tunai mulai tergantikan dengan berbagai aplikasi perbankan. Para pedagang UMKM di Jakarta sudah mulai banyak pula yang menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Baca Juga
Bahkan masyarakat mulai sering menanyakan kepada pedagang apakah bisa melakukan pembayaran menggunakan QRIS. Sebab transaksi non-tunai dinilai lebih praktis dan efisien.
Advertisement
"Bisa QRIS enggak, Pak?" tanya Anggiria kepada pedagang telur gulung di depan kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Pedagang langsung menjawab bahwa QRIS tertempel di samping gerobaknya. Menurut si pedagang penggunaan QRIS sudah dilakukan sejak beberapa bulan terakhir. Sebab seringkali calon pembeli menanyakan metode pembayaran tanpa uang tunai.
"Yang pada dateng ke TIM kalau mau jajan ke sini pasti ada yang nanya bisa pakai QRIS enggak," ucap si pedagang.
Seiring perkembangannya, pembayaran menggunakan QRIS kian populer. Meski begitu, bukan berarti masyarakat meninggalkan metode pembayaran tunai menggunakan uang kartal.Â
Adanya QRIS menjadi salah satu pelengkap dalam metode pembayaran, tanpa menggantikan metode tunai. Namun, beberapa bulan terakhir terdapat fenomena pedagang yang menolak pembayaran menggunakan uang tunai. Mereka hanya menerima pembayaran secara chasless.
Dias Ramadani mengaku beberapa tempat makan ataupun kafe yang pernah didatanginya menerapkan wajib transaksi chasless. Sebagai Generasi Z dia mengaku tidak ada masalah.Â
"Tapi pernah waktu itu di kafe yang sama, ada orang mau bayar tunai ditolak, jadi adu argumen sama kasirnya," ucap Dias kepada Liputan6.com.Â
Â
Transaksi Pembayaran Digital Terus Meningkat
Â
Sementara itu, Putri Kumala mengaku sedikit terganggu jika menemukan restoran atau toko yang hanya menerima pembayaran chasless. Menurut dia, pembayaran non-tunai itu seharusnya jadi alternatif lain.Â
"Sebagai orang yang kadang takut uang cepat habis kalau tunai, kadang langsung buat bayar aja. Tapi pernah toko nolak tunai, padahal uang masih jadi alat transaksi yang sah, ada aturannya juga," kata Putri kepada Liputan6.com.Â
Dia mengharapkan adanya aturan jelas terkait metode pembayaran. Sebab tak semua orang selalu menggunakan pembayaran non tunai. "Misal ada kekhususan toko iya enggak papa, tapi jangan juga kafe dengan transaksi di bawah Rp 50 ribu mewajibkan non-tunai," jelas dia.
Transaksi pembayaran digital melalui Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS mencatat pertumbuhan signifikan dalam transaksi digital. Khusus untuk Jakarta tercatat 2 miliar transaksi sepanjang 2024.Â
Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan 167 persen transaksi jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 773 juta transaksi. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi DKI Jakarta Arlyana Abubakar mengatakan pangsa volume QRIS di Jakarta sangat signifikan terhadap nasional, mencapai 32 persen.
Dari sisi sebaran volume transaksi, kata dia wilayah Jakarta Selatan masih memegang pangsa tertinggi sebesar 38,13 persen, diikuti Jakarta Barat dengan pangsa sekitar 23,10 persen.Â
"Sedangkan wilayah dengan volume transaksi terendah, yakni Kepulauan Seribu dengan pangsa sebesar 0,002 persen," kata Arlyana.
Â
Advertisement
Bakal Kena Sanksi?
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyatakan setiap orang dilarang menolak menerima rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia. Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim menjelaskan bahwa masyarakat tidak diperkenankan menolak transaksi dalam bentuk rupiah, baik itu secara tunai maupun nontunai.Â
Hal tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, di mana masyarakat wajib menggunakan rupiah sebagai alat transaksi.
"Rupiah sendiri dibagi tiga. Ada uang kartal atau uang tunai, uang elektronik, dan uang digital yang saat ini sedang dalam proses. Sehingga itu hanya masalah caranya saja, tetapi prinsipnya harus diterima dan masyarakat. Jadi kami mengimbau masyarakat tidak menolak uang tunai," kata Marlison.
Sedangkan pada Pasal 23 UU Mata Uang, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah NKRI, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Kemudian pada Pasal 23 ayat 2, dijelaskan bahwa penolakan rupiah sebagai alat bayar bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000 juta. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka penjual tidak dibenarkan menolak transaksi tunai.
Â
