Liputan6.com, Jakarta Budaya penolakan atau cancel culture masyarakat Indonesia nampak telah tumbuh dan semakin berkembang dengan terjadinya beberapa kasus, yang menimpa tokoh-tokoh penting yang melakukan kesalahan menurut penilaian publik.
Ajakan dari seseorang melalui media sosial untuk menyerang nama baik orang lain telah nyata mampu mempengaruhi dengan cepat sampai puluhan ribu warga net, hanya dengan membaca petisi buatannya di suatu laman situs internet.
Sebagai negara hukum yang berdaulat, setiap tindakan pemerintah maupun rakyat, harus didasarkan pada hukum. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan juga tindakan rakyat yang sekehendaknya sendiri.
Advertisement
Matra siber di dunia yang serba internet laksana rimba raya yang dikuasai oleh siapa yang lebih kuat, dalam pertarungan antar manusia sebagai srigala yang saling memakan sesamanya. Budaya penolakan di rimba raya siber Indonesia sangat rentan dimanipulasi oleh sesuatu pihak, untuk menjatuhkan lawan khususnya dalam kontestasi internal di tahun politik menjelang pemilu tahun 2024.
Fenomena budaya penolakan yang juga marak di Amerika Serikat dapat mendorong inisiatif kaum kapitalis eksternal, untuk memproyeksikan berbagai bentuk hoaks dan simulakra ke matra siber Indonesia. Analisis ini jadi mengemuka, karena sampai sekarang Indonesia dinilai sangat pro kepada China dalam konstelasi geo-strategi Amerika Serikat di Asia Tenggara.
Perseteruan Dagang dan Finansial yang Kronis
Hal tersebut terkait dengan politik ekonomi kita terhadap perseteruan dagang dan finansial yang kronis, antara Barat (Amerika Serikat) dan Timur (China) sejak tahun 2018. Perseteruan yang kronis tersebut dapat dengan mendadak berubah menjadi akut, jika perkembangan budaya penolakan di Indonesia dibiarkan semakin tumbuh dan berkembang secara liar.
Budaya penolakan mengandung nilai kritik bagi operasi intelijen dalam membangun suatu perkiraan keadaan di matra siber, karena nilai kritik dalam konotasi militer berarti memberikan suatu keuntungan strategis bagi pihak manapun yang menguasainya.
Kesadaran dari para pemimpin Partai Politik, anggota DPR-RI dan Pemerintah akan berperan semakin sentral, dalam menghindarkan negara bangsa kita dari pendadakan (surprise) operasi intelijen baik dari pihak internal maupun eksternal. Strategi terbaik yang dapat dipilih dari berbagai kemungkinan cara bertindak (Alternative Courses of Action) pemerintahan negara adalah strategi pre-emptif atau strategi peniadaan, yaitu dengan secepat mungkin menyusun Undang-Undang anti budaya penolakan.
Pemberlakuan Undang-Undang tersebut akan menjadi dasar bagi tentara Siber Indonesia, untuk menangkal, mencegah dan menghadapi serangan online dari aktor negara maupun aktor-aktor non-negara yang menggunakan media Twitter, Facebook, Tiktok, Instagram dan lain lain.
Budaya penolakan kini semakin jelas merupakan ancaman berspektrum semesta terhadap ketertiban masyarakat luas dan dapat berujung pada aksi-aksi pemboikotan massal, yang menyerang karakter bahkan sampai membunuh mati sasarannya secara perdata.
Advertisement
Amanah Tentara Siber
Undang-Undang anti budaya penolakan kelak akan merupakan amanah bagi tentara Siber jika sudah ada, yaitu tentara yang terdiri dari para pakar teknologi informasi, tentara, polisi dan para netizen patriotik yang berpengaruh, untuk hidup, bekerja, berunding dan bertempur secara terpadu di matra siber atau dunia maya.
Pemberlakuan Undang-Undang dan keberadaan tentara Siber yang mendampingi tentara Darat, Laut dan Udara Indonesia, merupakan suatu keniscayaan yang diperlukan di era kecerdasan buatan ini terutama bagi Indonesia yang menganut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Hanya negara Singapura dengan pemimpin muda sipil dan militer yang setelah membentuk tentara digital intelijennya pada bulan Oktober 2022, kini tengah berkutat untuk menyusun Undang-Undang yang meng-cancels Cancel Culture, suatu kesadaran politik hukum yang justru belum hadir pada benak pemerintah Amerika Serikat.
Kaum kapitalis di sana yang sedang galau oleh buruknya situasi geo-politik Eropa karena perang Russo-Ukraina yang berlarut-larut, niscaya segera akan menghentak pemerintahnya untuk bertindak, setelah beberapa orang dari kaum kapitalis di Manhattan dan Atlanta serta mereka yang berpengaruh dalam politik yang tinggal di Inggris mulai dirusak reputasinya, sehingga banyak rencana kontrak mega-bisnis mereka yang terancam gagal.
Negara manapun harus hadir di tengah kebingungan masyarakatnya untuk dapat membedakan antara kebebasan berbicara dengan ketidak-bebasan untuk menebar kebencian. Bagi Indonesia, kritisnya budaya penolakan bukan terkait dengan masalah gender, perilaku seks atau sebab lain, tetapi terkait dengan ide persatuan Indonesia di tengah badai liberalisme yang semakin keras menerjang Pancasila di tataran praksis.
Penulis:
AM Hendropriyono
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Ketua Senat Dewan Guru Besar Hukum Militer, Guru Besar (Emeritus) Universitas Pertahanan RI.