Liputan6.com, Jakarta Banyak fasilitas dan kemudahan perpajakan yang tersedia bagi pelaku usaha termasuk mereka yang menjalankan usahanya lintas yurisdiksi (cross border) dan salah satunya adalah manfaat treaty (treaty benefits).
Pelaku usaha global lebih memprioritaskan kepastian hukum (legal certainty) dan kesetaraan perlakuan (non discrimination) dalam berusaha.
Di era ekonomi digital saat ini, jumlah pelaku usaha global semakin banyak selain pelaku usaha multi nasional yang memiliki skala usaha besar (large business), pelaku usaha kecil dan menengah (small and medium enterprise) dapat menerobos pasar global dengan bantuan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Advertisement
Kedua hal yang dibutuhkan oleh pelaku usaha global tersebut difasilitasi dalam tax treaty. Tax Treaty sering juga disebut double taxation agreement (DTA) adalah perjanjian perpajakan bilateral yang ditandatangani oleh dua yurisdiksi mitra perjanjian (both Contracting States) untuk membagi hak pemajakan pada masing-masing yurisdiksi dalam rangka mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation) maupun penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion).
Dengan ditandatanganinya tax treaty tersebut, kerja sama ekonomi bilateral dapat meningkat karena pelaku usaha dari kedua yurisdiksi dilindungi dari pengenaan pajak berganda sehingga terhindar dari ongkos transaksi ekonomi internasional yang mahal karena dikenai pajak dua kali atas penghasilan yang sama yaitu di yurisdiksi domisili tempat pelaku usaha terdaftar (a resident jurisdiction) dan juga dipajaki di yurisdiksi sumber dimana penghasilan tersebut timbul (a source jurisdiction).
Misalnya Wajib Pajak A terdaftar pada yurisdiksi X, melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh penghasilan bersumber dari yurisdiksi Y. Apabila atas penghasilannya tersebut dikenai pajak dua kali yaitu masing-masing di yurisdiksi X (domisili) maupun yurisdiksi Y (sumber) sesuai dengan Undang-undang pajak dimasing-masing yurisdiksi, maka timbul pengenaan pajak berganda yang sangat membebankan Wajib Pajak A.
 Apabila hal tersebut dibiarkan maka menjadi disinsentif bagi Wajib Pajak A sebagai pelaku usaha global. Disisi lainnya Wajib Pajak A dan pelaku usaha global lainnya akan melakukan perencanaan pajak yang agresif untuk menghindari pajak. Sehingga permasalahan pajak tersebut menimbulkan distorsi ekonomi.
Dengan tax treaty hal tersebut di atas dapat dicegah. Pertama yaitu membagi hak pemajakan pada masing-masing yurisdiksi mitra perjanjian (Contracting State) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pelaku usaha dari salah satu yurisdiksi mitra perjanjian.
Pada prinsipnya, hak pemajakan dari yurisdiksi sumber dibatasi dengan memberikan hak pemajakan yang ekslusif pada yurisdiksi domisili. Yurisdiksi sumber diberikan hak pemajakan penuh (exclusive taxing rights) atas laba usaha (business profits) bila dibuktikan dengan keberadaan suatu bentuk usaha tetap (a permanent establishment) perusahaan dari yurisdiksi lainnya pada mitra perjanjian di wilayah teritorinya.
Selain itu, hak pemajakan terbatas (limited taxing rights) diberikan atas penghasilan pasif yaitu dividen, bunga dan royalti.
Kedua yaitu yurisdiksi domisili memberikan kredit pajak atas pajak yang terutang atau telah dibayar oleh Wajib Pajaknya di yurisdiksi lainnya pada mitra perjanjian. Kredit pajak tersebut oleh Wajib Pajaknya dapat digunakan sebagai pengurang atas pajak yang terhutang di akhir tahun.Â
Metode penghindaran pajak berganda lainnya adalah metode pembebasan (exemption). Yurisdiksi domisil tidak memajaki penghasilan yang timbul dari luar wilayah teritorinya, sehingga atas pengenaan pajak berganda dapat dicegah.
Tax Treaty juga memberikan tambahan manfaat lainnya bagi dunia usaha yaitu penghematan cash flow karena jumlah pajak yang dipotong dan dibayar dimuka lebih rendah dari ketentuan domestik, penyelesaian sengketa pajak (dispute settlement) yaitu mutual agreement procedure (MAP) selain melalui keberatan dan banding (domestic remedies) yang timbul akibat perbedaan penafsiran dan penerapan ketentuan tax treaty maupun transfer pricing, dan atas penyelesaian sengketa transfer pricing pelaku usaha mendapatkan corresponding adjustment sehingga terhindar dari pengenaan pajak berganda.
Selain itu, pencegahan sengketa pajak transfer pricing yaitu advance pricing agreement (APA) sebagai insentif yang dapat dimanfaatkan oleh investor asing untuk memberikan kepastian usaha ke depan.
Terkait dengan perkembangan tax treaty, terdapat lebih dari 3 ribu tax treaty yang sudah efektif berlaku di seluruh dunia. Indonesia sendiri memiliki 71 tax treaty yang telah berlaku efektif.
Tax treaty diyakini menjadi salah satu daya pikat untuk mengundang investor global di suatu yurisdiksi seperti Indonesia.
Â
Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Â
Â
Â
Â