Kebutuhan Baterai Masih Tinggi, Indonesia Bisa Jadi Pemain Penting dalam Rantai Pasok Kendaraan Listrik

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (kemenperin) Republik Indonesia, telah menargetkan produksi kendaraan listrik

oleh Arief Aszhari diperbarui 19 Okt 2021, 15:00 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2021, 15:00 WIB
Mengisi baterai mobil listrik
Mengisi baterai mobil listrik (Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (kemenperin) Republik Indonesia, telah menargetkan produksi kendaraan listrik, khususnya bertenaga baterai pada 2030 mencapai 600 ribu unit, serta 2,45 juta untuk untuk motor listrik. Dengan begitu, diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda empat atau lebih dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda dua.

Berbagai cara dilakukan untuk mendukung target tersebut, termasuk memberikan berbagai insentif fiskal dan non fiskal bagi pembeli kendaraan ramah lingkungan tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, seiring meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik, juga dinilai akan mendukung peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.

”Saat ini, ada sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai, yang meliputi lima perusahaan penyedia bahan baku baterai terdiri dari nikel murni, kobalt murni , ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lain-lain, serta empat perusahaan adalah produsen baterai," ungkapnya dalam acara webinar dengan tema “Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi, beberapa waktu lalu.

Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV.

"Masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor yang membuat baterai lebih murah, termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen," tegasnya.

Melihat hal tersebut, industri baterai di Indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan karena akan membawa dampak pada baterai yang lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat.

"Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan, dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi," tandasnya.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Penjualan Baterai

Masih menurut Menperin, penjualan battery electric vehicle (BEV) mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun di tengah masa pandemi Covid 19. ”Diperkirakan penjualan BEV untuk jenis kendaraan penumpang pada tahun 2021 akan mencapai lebih dari 28 juta unit dengan market share sekitar 30 persen,” sebutnya.

Pertumbuhan tersebut berdampak pada peningkatan kebutuhan lithium ion battery (LIB) sebesar 1,65 juta GWh pada tahun 2030, serta kebutuhan infrastruktur charging station sekitar 9,89 juta unit pada tahun yang sama.

"Tingginya proyeksi peningkatan populasi kendaraan listrik dunia sedikit banyak dipengaruhi oleh global initiative campaign yang diprakarsai oleh berbagai negara maju dengan bekerja sama dengan para produsen EV global serta organisasi nirlaba lainnya," pungkasnya.

Infografis Titik Lengah Makan Bersama

Infografis Titik Lengah Makan Bersama
Infografis Titik Lengah Makan Bersama (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya