Penelitian Menunjukkan Pemilik Mobil Listrik di Indonesia Masih Ragu dengan Daya Guna Mobilnya

Berdasarkan penelitian terbaru, konsumen mobil listrik di Indonesia menunjukkan harapan yang tak terlalu tinggi terhadap kendaraan listrik untuk menjangkau jarak yang tak jauh, namun dengan harga murah

oleh Khizbulloh Huda diperbarui 06 Jun 2024, 19:04 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2024, 19:04 WIB
616 Unit SPKLU Hadir Layani Pengguna Kendaraan Listrik di Mudik Lebaran 2023
Pemudik mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) PT PLN (Persero) di Rest Area KM 228 Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), Brebes, jawa Tengah, Selasa (18/4/2023). (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Meski volume kendaraan listrik masih tergolong kecil di pasar otomotif nasional, namun segmen ini mengalami pertumbuhan signifikan dengan didukung oleh masuknya model-model dan merek baru.

Sementara pemerintah terus mendorong pembangunan dan regulasi untuk melakukan elektrifikasi, konsumen nampaknya masih terlihat ragu dalam mempertimbangkan penggunaan mobil listrik hari ini.

Berdasarkan penelitian terbaru dari Populix yang dipublikasikan Kamis (6/6/2024), konsumen mobil listrik di Indonesia, terkhusus di Jakarta, menunjukkan harapan yang tak terlalu tinggi terhadap kendaraan listrik. Konsumen mengharapkan jarak berkendara 261,18 km dan harga Rp 250 juta.

Survei ini dilakukan pada 15-25 Maret 2024 terhadap 350 pemilik kendaraan listrik baik sepeda, motor, dan mobil di Jakarta.

Mayoritas responden sebanyak 26 persen mengharapkan jarak tempuh dalam kisaran 201-300 km, atau lebih spesifiknya lagi Populix menyebutkannya di angka 261,18 km. 

Harapan konsumen ini sangat realistis mengingat kendaraan listrik termurah di pasar Indonesia saat ini, Wuling Air ev sudah berbekal daya jelajah 300 km pada varian Premiumnya.

Kendati demikian, data menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan mobil listrik mereka hanya untuk jarak tempuh kurang dari 100 km.

Bahkan, 35 persen responden hanya menggunakan mobil listriknya untuk jarak kurang dari 10 km, sementara 29 persen dan 23 persen responden menggunakan mobil listriknya untuk jarak hingga 50 km dan 100 km.

Namun uniknya, setengah dari total responden alias 50 persennya mengaku menggunakan mobil listrik untuk mobilitas harian.

"Untuk ekspektasi dan penggunaannya itu berbeda. Ekspektasinya ini bisa sampai 300 km, tapi ternyata jarak penggunaannya itu cuma 100 km, jadi masih ada ketakutan nih untuk membawa mobil listrik ke luar kota. Kebanyakan mobil listrik ini tetap dipakai di dalam kota, misalnya untuk hal-hal yang lebih simpel," papar Timothy Astandu, CEO Populix, pada konferensi pers Kamis (6/6/2024), di kawasan Jakarta Selatan.

Konsumen Khawatir Akan Ketersediaan Infrastruktur SPKLU

Penelitian Menunjukkan Konsumen Indonesia Tak Berekspektasi Tinggi Pada Mobil Listrik Karena Masih Ragu
Timothy Astandu, CEO Populix, bersama Harris, S.T, M.T, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian KEBTKE Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM dalam konferensi pers pada Kamis (6/6/2024) di Jakarta Selatan. (Liputan6.com/Khizbulloh Huda)

Timothy menyimpulkan bahwa ekspektasi yang rendah ini salah satunya disebabkan oleh keraguan konsumen terhadap kemampuan mobil listrik untuk perjalanan luar kota, yang turut dipengaruhi oleh kekhawatiran akan daya baterai dan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di luar Jakarta.

"Karena mungkin di ekspektasi mereka, baterainya itu seperti tadi, misalnya infrastrukturnya, (khawatir) nggak bisa nge-charge di tengah jalan atau baterainya kenapa-napa," dirinya mengatakan.

Ini sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa pemilik kendaraan listrik memiliki kekhawatiran keterbatasan infrastruktur atau fasilitas charging (43 persen), dan lokasi stasiun pengisian daya yang masih sedikit dan cenderung jauh (42 perse ).

Sementara kekhawatiran pada ketersediaan SPKLU masih cukup tinggi, data juga menunjukkan bahwa mayoritas responden dengan angka 59 persen lebih memercayakan pengisian daya untuk dilakukan di rumah, dibanding 15 persen lainnya yang mengandalkan SPKLU.

Data juga mengatakan hanya sebanyak 6 persen yang mengaku menggunakan SPKLU setiap harinya. Sementara 28 persen mayoritas hanya mengandalkan SPKLU setiap 2-3 kali seminggu. Bahkan 22 persen belum pernah mengisi di SPKLU.

Namun, perlu dicatat bahwa terdapat keterbatasan data terkait frekuensi penggunaan SPKLU dan preferensi pengisian daya milik Populix, karena data tersebut masih tercampur antara pengguna mobil, sepeda, maupun motor listrik.

Konsumen Indonesia Belum Terlalu Percaya Pada Baterai Mobil Listrik

Data Kekhawatiran Konsumen Indonesia Akan Menggunakan Kendaraan Listrik
Data kekhawatiran konsumen Indonesia ketika menggunakan kendaraan listrik. (Populix)

Namun di atas ketersediaan SPKLU, kekhawatiran konsumen pada mobil listrik jauh lebih terfokus pada kemampuan atau daya baterai dari mobil listrik mereka. Kekhawatiran paling tinggi terletak pada sisa baterai selama perjalanan (65%), kapasitas jarak tempuh terbatas (61%), dan tidak semua bengkel menerima perbaikan meskipun kerusakannya non-listrik (49%).

Mengenai baterai, menurut Timothy, konsumen di Indonesia juga sudah berpikir panjang mengenai umur baterai kendaraan listrik mereka.

"Jadi kenapa (ekspektasi) jarak tempuhnya agak rendah adalah karena ekspektasi kita adalah memang baterai ini tuh kita belum sangat-sangat percaya dengan baterainya sendiri," katanya saat dimintai keterangan langsung oleh Liputan6.com.

"Ada dua hal yang konsumen itu tetap belum terlalu yakin dengan baterai, satu itu dari berapa lama baterai itu bisa tahan, kedua adalah seberapa cepat rusak," dirinya mengimbuhi.

Terkait dengan sorotan mengenai sederet kekhawatiran akan penggunaan jarak jauh kendaraan listrik, data mengatakan bahwa hampir setengah pemilik kendaraan listrik menyatakan tidak kapok. Sebanyak 47 persen responden mengaku akan melakukan pembelian kendaraan listrik lagi di masa depan.

Konsumen Harapkan Harga di Bawah Rp 300 Juta untuk Mobil Listrik

Sementara soal harga, konsumen tak begitu muluk-muluk, namun memang mengutamakan mobil listrik murah. Mayoritas sebanyak 35 persen responden mengharapkan mobil listrik ada di kisaran harga Rp 200 juta hingga Rp 300 juta. Populix menyimpulkan harga idealnya adalah Rp 250 juta.

"Konsumen Indonesia sangat pintar menghitung harga. Sama seperti misalnya beli mobil listrik kan sebenarnya kalau dihitung murah banget, nggak loh. Rp 200-300 juta kan, tapi perbandingannya mereka mikir tiap bulan bensin versus ongkos charging," kata Timothy.

Secara psikologis, menurut Timothy, konsumen Indonesia sejatinya tak terlalu memperhatikan dampak lingkungan jika dibanding efisiensi harga yang harus dikeluarkan. Menurutnya, motivasi pembeli kendaraan listrik bagi konsumen Indonesia memang lebih menjurus ke harga.

"Walau sebenarnya electric vehicle ini mempunyai dampak lingkungan yang lebih baik ya, tapi kita lihat di sini memang untuk orang Indonesia ini lebih mencari harga," dirinya mengungkapkan.

Insentif Pemerintah Jadi Promo yang Diharapkan Pembeli Setelah Diskon

Terkait dengan harga, mayoritas pembeli juga mengharapkan sejumlah keuntungan yang ditawarkan dari promo. Diskon khusus dari produsen dan harapan akan garansi baterai berdiri di puncak sebagai promo yang disukai konsumen, dengan angka 65 persen. Kemudian barulah menyusul keuntungan yang diperoleh dari subsidi pemerintah dengan 57 persen.

"Yang pertama cashback, itu 65 persen responden kita sangat pro terhadap hal ini. Terus mungkin promosi seperti garansi ya, jadi dijamin kalau aftersales-nya bagus, garansi baterai itu juga berpengaruh, dan terakhir of course adalah program pemerintah yang membuat kendaraan listrik ini lebih murah daripada membeli mobil bensin," tukas Timothy.

Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia

Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia
Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia. (Liputan6.com/Fery Pradolo)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya