Liputan6.com, Jakarta Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Petalolo memaparkan penyebab munculnya pasangan calon tunggal. Pertama, karena ada orientasi ketokohan.
"Ada orientasi kepada ketokohan seseorang dengan mengesampingkan hadirnya calon itu dengan mempertimbangkan kepada hal subtantif berkaitan dengan gagasan gagasan yang diusung oleh calon atau parpol pengusung, sehingga orientasi ketokohan ini menutup pola rekrutmen terbuka berdasarkan kualitas seseorang, dan mandeknya pengkaderan di internal partai politik," kata Ratna dalam diskusi virtual, Rabu (9/9/2020).
Baca Juga
Kedua, karakteristik parpol yang elitis. Menurutnya, parpol di Indonesia cenderung dibangun oleh kalangan atas. Padahal, idealnya parpol dibangun atas dasar kebutuhan dan kesadaran dari kepentingan kalangan bawah.
Advertisement
Dewi melihat, calon yang dihadirkan untuk pemilihan 2020 ini tidak terlepas dari calon-calon yang memiliki kedekatan dari elite parpol.
"Ada anaknya, adiknya, dan hampir tidak ada yang tidak punya hubungan kedekatan, dan ini menunjukkan bahwa parpol sangat dikuasai kaum kaum elite yang menentukan paslon," ujarnya.
Ketiga, mengenai besarnya peluang kemenangan calon tunggal. Dewi menuturkan, berdasarkan pengalaman paslon tunggal di tahun 2015, 2017, dan 2018, hanya 1 paslon saja yang gagal memenangkan pemilihan melawan kotak kosong yaitu di Kota Makassar. Selebihnya mengalami kemenangan secara mutlak.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Paslon tunggal meningkat
Dari data yang dimiliki Dewi, paslon tunggal meningkat. Pada 2015 ada paslon tunggal di 3 daerah, 2017 ada 9, 2018 ada 16, dan 2020 ada 28.
"Kompetisi melawan kotak kosong jauh lebih mudah dibandingkan (melawan) paslon lain," ucap dia.
Keempat, terkait mahar politik. Dewi mengatakan, ada kemungkinan terjadinya mahar politik di mana paslon mengkondisikan banyak parpol untuk mendukung dirinya guna menutup peluang munculnya pasangan calon lain.
"Terlepas dari isu paslon tunggal, kasus mahar politik pernah mengemuka di Pilgub Jatim 2018, Pilwalkot Palangkaraya 2018, Pilwalkot Cirebon 2018 dan Pilbub Tobasa 2015," kata dia.
Selain itu, Dewi melihat adanya ketidakkebebasan masyarakat dalam berpendapat. Contohnya, masyarakat yang memihak kotak kosong atau tidak memihak paslon tunggal justru dituduh mengkampanyekan golput dan dibatasi dengan alasan keamanan.
"Hal ini tentu saja menghilangkan kompetisi yang adil dalam pemilihan. Ini disebabkan karena belum adanya pengaturan yang memberikan ruang bagi masyarakat," pungkas Dewi.
Reporter: Genan Kasah
Sumber: Merdeka
Advertisement