Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau PN Jakpus soal gugatan dengan nomor 757/Pdt.G/2022 yang, salah satunya memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Upaya banding akan diajukan pekan ini.
Anggota KPU Mochammad Afifuddin, pihaknya tengah mematangkan memori banding terkait putusan tersebut untuk diajukan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Baca Juga
"Minggu ini (ajukan banding), tinggal dimatangkan saja," kata Afif, saat dikonfirmasi, Selasa (7/3/2023).
Advertisement
Afif menjelaskan, dalam upaya banding pihaknya akan menjelaskan tentang aturan terkait sengketa pendaftaran parpol dan alasan lain yang dapat menguatkan posisi KPU di pengadilan nanti.
"Intinya kita jelaskan tentang aturan-aturan terkait sengketa pendaftaran parpol, sidang sengketa di Bawaslu, PTUN, PN dan alasan-alasan yang menguatkan KPU," ucap Afif.
Sebagai informasi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dengan tergugat KPU, yang dibacakan hari Kamis (2/3/2023), di Gedung PN Jakarta Pusat.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU sudah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyatakan Partai PRIMA tidak memenuhi syarat tahapan verifikasi administrasi parpol calon peserta Pemilu.
Selain penundaan Pemilu, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat juga menghukum KPU untuk membayar ganti rugi materiil Rp500 juta.
Jokowi Dukung KPU Banding Atas Putusan PN Jakpus soal Penundaan Pemilu
 Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan Pemilu 2024. Dia mengakui bahwa putusan PN Jakpus sangat kontroversial dan menuai pro kontra masyarakat.
"Memang itu sebuah kontroversi yang menimbulkan pro dan kontra tetapi juga pemerintah mendukung KPU untuk naik banding," kata Jokowi kepada wartawan di Pondok Pesantren Al Ittifaq Kabupaten Bandung Jawa Barat, Senin (6/3/2023).
Dia menekankan komitmen pemerintah agar tahapan Pemilu 2024 tetap berjalan dengan baik. Terlebih, anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu juga sudah disiapkan dengan baik.
"Sudah saya sampaikan berulang kali komitmen pemerintah untuk tahapan pemilu ini berjalan dengan baik, penyiapan anggaran juga sudah disiapkan dengan baik agar tahapan pemilu kita harapkan tetap berjalan," jelasnya.
Â
Advertisement
Hadapi Vonis PN Jakpus, Mahfud Md: KPU Harus Lawan Habis-habisan
Menko Polhukam Mahfud Md angkat bicara dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Menurut dia, vonis penundaan Pemilu 2024 atas gugatan Partai PRIMA yang merasa dirugikan dalam hal verifikasi kepesertaan Pemilu terasa tidak masuk akal karena dijatuhkan oleh tingkat peradilan umum.
Oleh karena itu, Mahfud meminta kepada KPU melakukan upaya hukum banding di tingkat pengadilan tinggi.
"Saya minta KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum," kata dia seperti dikutip Kamis malam 2 Maret 2023.
Mahfud menyampaikan, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan melalui vonis Pengadilan Negeri sebagai kasus perdata. Dia meyakini, tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh Pengadilan Negeri.
"Menurut Undang-Undang penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia," jelas Mahfud.
Mahfud merinci, hal yang bisa menjadi alasan penundaan Pemilu yakni adanya bencana di daerah yang tengah menyelenggarakan Pemilu sehingga prosesnya harus dihentikan karena pemungutan suara tidak bisa dilakukan.
"Namun penundaan itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU dengan menentukannya sampai waktu tertentu," urai Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud memastikan, vonis pengadilan negeri tidak bisa dimintakan eksekusi dan harus dilawan secara hukum.
"Rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata," tandas Mahfud.
Â
Â
Â
Reporter: Alma Fikhasari
Sumber: Merdeka.com