Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berbicara peluang dukungan kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kendati, PP Muhammadiyah belum ada komunikasi dengan bakal capres-cawapres manapun soal arah dukungan politik.
Hal ini disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti saat disinggung mengenai komunikasi Muhammadiyah dengan bakal capres-cawapres untuk Pilpres 2024.
Baca Juga
"Belum karena Muhammadiyah belum buka pintu, karena sekarang kan belum ada capres, semuanya masih bakal. Nanti kalau sudah diterima, tapi tidak jadi gimana? Bakal tapi kemudian batal," kata Abdul Mu'ti di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/2023).
Advertisement
Menurut Abdul, dukungan untuk capres-cawapres bisa saja diberikan Muhammadiyah. Dia berujar Muhammadiyah bakal mengambil sikap terkait arah dukungan politik usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan secara resmi capres-cawapres di Pemilu 2024.
"Nanti kalau sudah diputuskan sudah jelas ya siapa capres-cawapres, saya kira kita akan membuka pintu bahkan kalau perlu Muhammadiyah yang mendatangi kalau perlu," ucap Abdul.
Lebih lanjut, Abdul juga menyatakan PP Muhammadiyah mengizinkan seluruh pengurusnya untuk ikut maju pada kontestasi politik 2024. Kata dia, pengurus tak mesti mundur dari PP Muhammadiyah saat menjadi calon anggota legislatif (Caleg).
"Muhammadiyah periode ini memberikan kelonggaran. Kalau di sebelumnya, ketika pimpinan menjadi caleg dia harus mundur dari posisinya, kalau sekarang ini nggak perlu," kata dia.
Pengurus Muhammadiyah Boleh Nyaleg, Tak Perlu Mundur
Abdul menyebut, aturan ini berlaku baik untuk pengurus di tingkat wilayah hingga tingkat pusat. Pengurus, kata dia hanya perlu nonaktif selama masa kampanye berlangsung.
"Jadi mereka yang menjadi pimpinan itu tidak perlu mundur, hanya nonaktif saja untuk periode waktu tertentu selama mereka kampanye," kata dia.
Abdul menyampaikan, bila pengurus yang nyaleg nantinya resmi terpilih, yang bersangkutan boleh memilih apakah bakal mundur dari kepengurusan atau tidak.
"Semuanya menjadi keputusan kami di tingkat nasional, supaya mereka lebih leluasa dan lebih punya banyak waktu untuk kalau jadi caleg ya harus serius jangan setengah-setengah," ucapnya.
Lebih lanjut, Abdul menjelaskan aturan ini dibuat sebagai bagian dari perluasan dakwah Muhammadiyah melalui jalur politik. Pengurus nyaleg yang membawa atribut Muhammadiyah pun dianggap wajar.
"Soal mereka membawa atribut dan sebagainya, itu mereka sudah sangat dewasa," kata dia.
Advertisement
Muhammadiyah Tak Masalah Berapa Saja Batas Usia Capres-Cawapres
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menanggapi soal gugatan batas usia capres-cawapres jelang sidang putusan judical review atau uji materi UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres. PP Muhammadiyah mengaku tak menyoal berapapun usia capres-cawapres yang hendak memimpin Indonesia.
"Indonesia adalah Indonesia dan semuanya tentu harus mengikuti peraturan yang berlaku dan oleh karena itu ya bagi Muhammadiyah berapa pun usia calon presiden calon wakil presiden tidaklah menjadi persoalan yang penting bagi Muhammadiyah," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti di Jakarta Pusat, Rabu (11/10/2023).
Asalkan, kata Abdul, capres-cawapres bersangkutan mempunyai kompetensi serta integritas yang mumpuni sebagai seorang pemimpin. Mengingat, ujarnya Indonesia merupakan bangsa besar.
"Yang penting dia punya Kompetensi, kemampuan dan dia punya integritas yang memang tidak kita ragukan untuk menjadi pemimpin bangsa yang sangat besar ini," ujar Abdul.
Abdul bercerita soal sejarah pemimpin Islam di masa lampau. Dia menyebut, sosok muda hingga tua sukses menjadi pemimpin di kala itu.
Aturan Capres-Cawapres Indonesia Tak Bisa Dibandingkan dengan Negara Lain
"Kalau sejarah macam-macam ya, ada pimpinan yang menjadi pimpinan usia sangat senja, misalnya Usman bin Affan jadi Khalifah usianya sudah sangat kalau di ukuran sekarang sangat tinggi. Tapi ada juga yang usianya sangat muda, Umar bin Abdul Aziz itu jadi Khalifah Bani Umayyah itu umur 35," kata Abdul.
"Nabi Muhammad jadi Rasul (usia) 40, jadi terserah ukurannya mana aja itu relatif ya dan menurut saya Indonesia tidak harus meniru yang seperti itu dalam pengertian apakah tiru Usman, apakah tiru umar Abdul aziz, itu kan hanya sekadar referensi saja bahwa siapapun sebenarnya bisa saja tampil memimpin di jabatan-jabatan publik di usian berapapun," lanjut Abdul.
Lebih lanjut, Abdul menerangkan capres-cawapres Indonesia juga tidak bisa dibandingkan dengan aturan di negara lain.
"Nggak bisa juga kita membanding-bandingkan Indonesia dengan misalnya di Denmark yang perdana menterinya masih sangat muda atau negara-negara lain," kata dia.
Advertisement