Liputan6.com, Bandung - Relawan Demokrasi mengaku kesulitan menyisir pemilih difabel yang berada di Kota Bandung karena tidak memiliki data yang pasti pada Pemilu 2019. Tidak adanya data pasti mengharuskan relawan mendatangi langsung setiap lokasi yang dianggap sebagai tempat tinggal pemilih difabel.
Menurut Koordinator Relawan Demokrasi untuk kelompok difabel, Djumono, salah satu lokasi yang menjadi target ditemukannya pemilih difabel adalah panti pijat. Alasannya, kata dia, sebagian besar panti pijat pada umumnya mempekerjakan difabel.
"Kita pernah dapat informasi di terusan Buah Batu ternyata sudah pindah. Jadi ya sambil jalan lagi, mudah-mudahan ada nemu disabilitas kalau enggak ya sambil jalan nyari lagi gitu. Kira-kira ada teman-teman disabilitas di manapun ya kita coba untuk sosialisasikan. Walaupun hanya satu orang akhirnya, tidak bisa banyak berkelompok," kata Djumono, Bandung, Kamis, 28 Maret 2019.
Advertisement
Djumono menjelaskan, siasat agar sosialiasi tahapan Pemilu 2019 tersampaikan informasinya kepada kelompok difabel, yaitu dengan mengumpulkan agenda kegiatan rapat yang akan digelar.
Tujuannya, agar sosialisasi Pemilu 2019 terserap oleh banyak orang, tanpa harus mengeluarkan uang operasional. Sebab, Djumono menuturkan dalam melakukan tugasnya, hanya dibekali contoh surat suara, kartu identitas dan rompi dari KPU. Sedangkan untuk biaya penyelenggaraan sosialisasi harus mengeluarkan uang sendiri.
"Database juga tidak diberikan tetapi sesuai dengan data 12 komunitas disabiltas yang telah ada di Kota Bandung. Kebetulan kita tahu orangnya dan ada nomor-nomor teleponnya. Kita coba melalui jaringan itu pertemanannya. Sosialisasi ke sekolah-sekolah juga dilakukan," ujar Djumono.
Dia mengatakan, honor pada akhir Februari 2019 lalu baru dicairkan untuk pembayaran Januari-Februari.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wakili Rekan Senasib
Meski pernah ditunggak pembayaran honor sebagai Relawan Demokrasi, Djumono menjelaskan sosialisasi kepada pemilih difabel harus dilakukan. Pemicunya adalah pada saat pendaftaran Relawan Demokrasi, tidak satu pun difabel yang mendaftar.
"Saya juga baru sekarang menjadi Relawan Demokrasi. Sekarang ada empat orang relawan, saya mewakili dari disabilitas daksa, dua orang lagi dari disabiltas netra dan seorang mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa. Jadi untuk biaya transportasi, sampai ke lokasi sosialisasi itu memakai dana sendiri," ungkap Djumono.
Relawan Demokrasi serupa diakui Djumono, pernah ada dalam Pemilu Kepala Daerah Jawa Barat lalu. Namun sosialisasi pemilu harus ditingkatkan lagi, untuk menjangkau pemilih difabel yang tersebar keberadaannya di 30 kecamatan.
Terpenting yaitu mensosialisasikan pemilu ke pemilih difabel yang tidak tercantum dalam orgasinasi tertentu. Untuk itu Djumono meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar menghadirkan perwakilan difabel dalam setiap kegiatan di tingkat kecamatan.
"Karena kami sebagai relawan disabilitas jangkauannya sangat terbatas. Tapi kami sudah sampaikan ke PPK dan KPU di tingkat kecamatan untuk menghadirkan disablitas di tingkat kecamatan," tutur Djumono.
Relawan Demokrasi untuk difabel menghimbau agar kelompoknya menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Pemilih difabel merupakan kelompok yang sering kali tidak menggunakan hak pilihnya, karena kurangnya sosialisasi dan merasa termarjinalkan.
Advertisement