Kelelahan, Satu Anggota KPPS di Makassar Meninggal Dunia

Perhitungan suara di tingkat PPK Tallo, Kota Makassar hingga saat ini belum rampung

oleh Fauzan diperbarui 27 Apr 2019, 22:06 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2019, 22:06 WIB
Petugas KPPS di Sulut yang meninggal dunia kini berjumlah 5 orang (Liputan6.com/ Yoseph Ikanubun)
Petugas KPPS di Sulut yang meninggal dunia kini berjumlah 5 orang (Liputan6.com/ Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Makassar - Rudiansyah, salah seorang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 9 Kelurahan Bunga Eja Baru, Kecamatan Tallo, Kota Makassar meninggal dunia pada Sabtu (27/4/2019) sore.

Sebelumnya, pria berusia 31 tahun itu sempat menjalani perawat intensif di Rumah Sakit Plamonia Makassar usai kelelahan melakukan penghitungan suara di TPS tempat ia bertugas.

"Iya tadi sore dia berpulang. Kami sangat berduka," kata Komisioner KPU Makassar, Endang Sari, Sabtu (27/4/2019) petang.

Informasi yang dihimpun, perhitungan suara di tingkat PPK Tallo, Kota Makassar hingga saat ini belum rampung. Dari 365 TPS yang ada di Kecamatan Tallo baru 125 TPS yang rampung perhitungan suaranya.

"Pemilu kali ini adalah pemilu yang paling berat, jadi jangan heran kalau banyak petugas yang tumbang," ucapnya.

Berdasarkan data yang diterima Liputan6.com dari KPU Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah KPPS ad-hoc yang harus menjalani perawatan intensif di Sulawesi Selatan berjumlah 117 orang.

"Itu ada macam-macam, ada yang sakit karena kelelahan, ada yang kecelakaan dan ada pula yang mengalami kekerasan," kata Humas KPU Provinsi Sulawesi Selatan, Asrar Marlang saat dikonfirmasi terpisah.

 

Dikritik Mantan Anggota KPU

Mantan Kabiro Humas Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999 Djohermansyah Djohan sangat prihatin dengan masalah Pemilu Serentak 2019 kali ini. Terlebih, ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Menurutnya, perencanaan penyelenggara pemilu saat ini tidak baik.

Hal itu disampaikan Djohan saat diskusi bertema 'Setelah Pemilu Serentak' di Gado-gado Boplo Resto, Jalan Cikini Raya 111, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4/2019).

"Coba sekarang ini dengan banyak yang meninggal kemudian ada hitung-hitungan yang salah input, itu menunjukkan tidak well organized penyelenggaraan pemilu kita," kata Djohan.

Maka dari itu, kata dia, perlu ada penataan ulang sistem recruitment, sistem electoral management dan sistem election secara matang. Jika tidak, Djohan khawatir, pemilu selanjutnya bisa lebih parah.

"Apalagi ke depan nanti 2024 mau disatuin, pileg pilpres April jadi satu kemudian November 2024 (Pilkada) gubernur bupati wali kota jadi satu. Wah itu yang (meninggal) mungkin bisa ribuan. Jadi harus kita betulin," ucapnya.

"Yang agak paling serius itu kan korban yang sangat banyak ya petugas pelaksana pemilu kita. Untuk pemilu yang di negara demokrasi yang sehat yang penyelenggaraannya profesional berintegritas kan itu sekecil apapun gak boleh ada korban dan gak boleh ada kecurangan. Sekecil apapun," tambahnya.

Menurutnya, membenahi sistem pemilu perlu dilakukan secepatnya. Djohan ingin sistem pemilu mulai dibenahi pada awal tahun 2020. Setelah pemerintahan baru terpilih dan DPR RI sudah mulai membuat agenda. Sehingga 2021 bisa lahir aturan baru yang lebih baik. "Sehingga 2021 sudah jadi itu semua. Jangan kayak kemarin itu 2017 baru UU-nya selesai. Nah itu kemudian tinggal 2 tahun nanti itu," ujarnya.

Djohan juga mendorong publik untuk mendesak pemerintah melahirkan pemilu yang lebih baik. Supaya tidak muncul kasus yang lebih parah di Pemilu 2024.

"Kalau itu tidak dirancang dari sekarang, kita bisa perkirakan bisa ribuan orang yang meninggal dan orang gak mau lagi nanti jadi KPPS," tandasnya.

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya