Liputan6.com, Batam - Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) M. Sani yang meninggal pada 8 April 2016 lalu memberi wasiat bagi Pemerintah Kota Batam. Wasiat itu berisi tentang penataan dan penghentian reklamasi di Batam.
Atas isi wasiat itu, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, Dendi Purnomo mengungkapkan telah menerima surat edaran dari wali kota agar segera mengevaluasi izin reklamasi.
"Berdasarkan Instruksi Wali Kota Nomor 1 Tahun 2016 tentang evaluasi reklamasi pantai, saat ini sebagian dinas sudah melakukan pengecekan di lapangan," ujar Dendi, Selasa, 19 April 2018.
Ia menyatakan proses evaluasi akan berlangsung selama dua minggu. Hasil evaluasi nantinya dilaporkan kepada wali kota.
Baca Juga
"Dari hasil evaluasi di lapangan akan menentukan suatu reklamasi dihentikan dan tidaknya," ujar Dendi.
Menurut Dendi, pengambilan keputusan terkait reklamasi tidak hanya melibatkan satu instansi saja, tetapi mulai dari Pemerintah Provinsi, Badan Pengusahaan (BP) Batam, DPRD Kota Batam, Dinas Perhubungan, KP2K, BPN, dan Bapedal.
Dukungan penghentian reklamasi diungkapkan Ketua Komisi II DPRD Batam Yudi Kurnain. Ia beralasan, selama ini reklamasi di Batam tidak berkontribusi terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Selama ini reklamasi di batam tidak jelas aturanya ke daerah, apalagi soal retribusi," ucap Yudi.
Sementara itu, anggota Komisi I DPRD Batam bidang hukum, Lik Khai, menilai persoalan mencuatnya evaluasi reklamasi di Batam karena adanya kepentingan dari segelintir kelompok. Ia mengatakan, seluruh pesisir di Batam merupakan hasil reklamasi, termasuk Pasar Jodoh, yang asalnya berupa rawa.
"Saya setuju reklamasi yang tak punya izin, tak mengikuti aturan dihentikan, cuma persoalannya mengapa tidak dari dulu?" ujar Lik Khai saat ditemui di kantor DPRD.
Reklamasi Rusak Mangrove
Desakan penghentian reklamasi juga didasarkan bencana ekologi yang dialami Batam. Ketua Bapedalda Kota Batam Dendi Purnomo menyatakan reklamasi di Batam sangat berpengaruh pada musnahnya populasi bakau di Pulau Batam.
"Pemusnahan terbesar terhadap populasi mangrove ialah untuk pengalokasian lahan reklamasi," tutur Dendi.
Hal senada juga diungkapkan aktivis lingkungan hidup Rizaldi Ananda dalam seminar Persatuan Mahasiswa Kristen Kepri, awal pekan lalu. Ia menyebut pendiaman selama 10 tahun terakhir menyebabkan kerusakan lingkungan di Pulau Batam semakin parah.
"Setiap hari ribuan batang bakau di Batam ditebangi, tapi banyak yang diam. Kalau saya sudah capek, sekarang saya fokus nanam bakau aja," kata pemilik Rumah Bakau Indonesia tersebut.
Ia menambahkan, pers sebagai salah satu corong utama kepentingan publik menyoroti hal itu. Termasuk soal reklamasi dan pemotongan bukit. Begitu pula dengan elemen masyarakat lainnya.
"Kalau nanti air baku dam di Batam sudah tinggal lumpur, nanti kita baru sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan," ujar Rizaldy.
Rizaldy menuturkan, saat ini luas kawasan bakau di Batam hanya tinggal 4 persen dari luas Batam sekitar 41 ribu hektare.
Rizaldy menyebutkan menumbuhkan bakau itu sangat sulit. Untuk menunggu pohon hingga berdiameter empat inchi saja bisa memakan waktu puluhan tahun.
"Bakau tidak mudah tumbuh begitu saja. Kalau ditanam butuh perawatan dan harus terus dijaga," kata dia.
Aktivitas penimbunan bakau serta masifnya reklamasi sangat berdampak negatif karena ekosistem akan rusak. "Abrasi, terumbu karang habis, ikan dan kepiting atau ketam musnah, oksigen berkurang," ucap Rizaldy.
Advertisement