Liputan6.com, Jayapura - Tubuhnya mungil dan suaranya lantang. Begitulah sosok Fiana Y Manggarprouw, guru honorer berusia 35 tahun di sekolah satu atap SD-SMP Mosso yang terletak di perbatasan Indonesia-Papua Nugini (RI-PNG).
Udara dingin dan hujan menerpa pagi itu di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. Namun, Fiana tetap keluar-masuk dari kelas satu ke kelas yang lainnya.
Dia harus rela mengajar dari kelas satu hingga kelas enam di sekolah yang terletak di Kampung Mosso. Setiap kepala keluarga di kampung itu mayoritas kawin campur dengan warga negara Papua Nugini.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu dimulai pukul 07.00 WIT dan berakhir pukul 12.05 WIT. Seharusnya, pekerjaan ibu guru Fiana hanya mengajar kelas tiga SD.
Namun lantaran seringnya tak ada guru di sekolah itu, Fiana terpaksa mengajar untuk semua kelas. Padahal, jumlah guru yang mengajar di SD Mosso ada lima orang, tapi yang biasa di tempat hanya dua sampai tiga orang.
"Susah dan senang harus dinikmati. Anak-anak di sini, harus diajarkan dengan perlahan agar benar-benar memahami pelajaran. Caranya harus berulang-ulang pemahaman tentang sebuah pelajaran itu," kata Fiana yang baru tiga tahun mengabdi di sekolah itu.
Belum lagi jika hujan tiba seperti hari ini, Fiana harus menyempatkan diri singgah ke rumah murid yang satu dan yang lainnya, untuk mengajak murid-murid itu tetap sekolah. "Kalau hujan begini, anak murid biasanya malas. Padahal lokasi sekolah ini berada di sekitar kampung anak-anak itu tinggal," ucap Fiana kepada Liputan6.com, Senin (2/5/2016).
Baca Juga
Walau begitu, Fiana tak patah semangat. Kendati hanya guru honorer dan per bulan diberikan upah Rp 200 ribu, Fiana tetap semangat menularkan ilmu kepada murid-muridnya.
"Untuk tahun ini, honor yang saya terima hampir satu tahun terlambat. Katanya karena sistem dana BOS online, entah bagian mana yang menyebabkan honor saya itu tak terbayarkan. Jika honor sudah terlambat, saya tinggal menunggu saja, tak bisa berbuat banyak," ujar Fiana yang sebelumnya juga menjadi guru honorer di Kabupaten Biak Numfor.
Pantang Patah Semangat
Total murid yang diajarkan Fiana setiap harinya berjumlah 40 murid, sebanyak 16 siswa di antaranya duduk di bangku SMP. Namun, sekalipun ada bangunan SMP dan muridnya, pihak Dinas Pendidikan Kota Jayapura tak menyediakan guru SMP.
Advertisement
"Saya juga mengajar di SMP. Ini saya lakukan karena beban sebagai seorang pendidik yang tak tega melihat murid tak ada gurunya. Jika mengajar di SMP jangan mengharapkan honor tambahan, sebab ini dilakukan secara sukarela dan memang tak ada bayarannya," tutur Fiana.
Ia mengaku tak pernah menuntut apa pun dalam pekerjaan ini. Dia hanya ingin anak-anak Papua, terlebih yang berada di perbatasan RI-PNG mendapatkan ilmu untuk keberlanjutan masa depannya.
"Paling tidak, pemerintah tak menahan honor mengajar saya setiap bulannya," Fiana berharap.
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura, I Wayan Mudiyasa mengakui adanya kekurangan guru di daerah perbatasan atau daerah terpencil lainnya. Ke depan akan ada guru garis depan untuk sejumlah lokasi di Kota Jayapura.
"Tahun ini sudah kami upayakan dan semoga bisa cepat terealisasi," kata Mudiyasa.
Mudiyasa tak membantah banyak guru yang meninggalkan tempat tugas, terlebih di wilayah perbatasan. Menurut dia, salah satu penyebabnya lantaran minimnya fasilitas rumah guru.
"Walaupun ada, kondisi rumah guru tak lagi bisa ditempati. Kami terus mengupayakan setiap tahunnya ada perbaikan rumah guru. Proses perbaikan itu juga tak dapat dilakukan secara bersama-sama," tutur dia.
Kondisi itulah, Mudiyasa menambahkan, menyebabkan banyak guru honorer yang bertugas di pedalaman atau di perbatasan, memilih pulang ke rumahnya di pusat Kota Jayapura. "(Padahal) Jaraknya dari tempat mengajar sekitar 50 kilometer."