Bahowo, Benteng Terakhir Mangrove dari Gempuran Reklamasi Manado

Luas hutan mangrove di Bahowo, Manado, hanya 84 hektare

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 23 Mei 2016, 11:45 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2016, 11:45 WIB
 Reklamasi Manado
Luas hutan mangrove di Bahowo, Manado, hanya 84 hektare

Liputan6.com, Manado - Manado merupakan salah satu kota dengan keindahan garis pantai yang membentang sepanjang 18 Km dari bagian selatan ke utara. Namun sejak reklamasi merambah, garis pantai mulai hilang karena disulap menjadi perhotelan dan pusat perbelanjaan.

Salah satu dampak reklamasi itu adalah hilangnya hutan mangrove yang menjadi penyeimbang ekosistem darat dan laut ini.

"Sejak 1998, Kota Manado telah mereklamasi areal pesisirnya untuk ekspansi properti melalui sembilan izin dan luasan mencapai 700 hektare yang memukul mundur nelayan tradisional dari sumber nafkahnya," ujar dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Rignolda Djalamaludin, Sabtu, 21 Mei 2016.

Reklamasi tahap pertama telah melumat pesisir pantai di tiga kecamatan, yaitu Wenang, Sario dan Malalayang. Ribuan nelayan dipaksa berada dalam dilema, antara tetap berjuang dalam himpitan reklamasi atau memilih berganti profesi.

Reklamasi tahap tahap kedua mulai dikerjakan yang meliputi kecamatan Singkil, Tuminting, dan Bunaken. "Jika proyek yang disebut Boulevard II ini selesai, maka enam dari 12 kecamatan di Manado telah direklamasi. Sudah berapa banyak hutan mangrove yang dibabat?" ujar Rignolda beretorika.


Menelusuri garis pantai dari arah selatan Manado yang berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Selatan hingga ke utara yang berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara, nyaris tidak ditemukan lagi hutan mangrove. Satu-satunya yang tersisa hanyalah hutan mangrove di Bahowo

"Bahkan, ini jadi benteng terakhir mangrove, setelah gempuran reklamasi yang terjadi hampir dua dekade terakhir ini," ujar Sonny Tawisjawa dari Wildlife Conservation Society (WCS), salah satu LSM yang aktif mengadvokasi masyarakat pesisir pantai.

Bahowo sebenarnya merupakan salah satu dari empat lingkungan (setingkat RT), yang ada di Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. Perjalanan mencapai kampung yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Minahasa Utara ini, sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor.

"Berbeda dengan masyarakat di tiga lingkungan lainnya, warga Bahowo memang menggantungkan hidup mereka dari laut. Karena memang kondisi geografis kampung ini yang berada di pinggiran pantai," ujar Sonny.

Menurut Sonny, keberadaan hutan mangrove mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat pesisir karena mempunyai peran ekologis, biologis, juga ekonomi. Hutan mangrove, kata Sonny, berfungsi sebagai penstabil lahan.

"Yakni, berperan dalam mengakumulasi substrat lumpur oleh perakaran bakau sehingga seringkali memunculkan tanah timbul dan juga mampu menahan abrasi air laut. Selain itu, juga mampu menghadang intrusi air laut ke daratan," papar lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unsrat Manado itu.

Fungsi biologisnya, lanjut dia, ialah sebagai tempat berlindung, bertelur dan berkembang biak bagi ikan. "Sementara secara ekonomi hutan mangrove menghasilkan kayu yang nilai kalorinya tinggi sehingga sangat bagus untuk bahan baku arang," tutur Sonny.

Kendala Alam

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Manado tidak punya data rinci berapa sisa hutan mangrove di ibu kota provinsi Sulawesi Utara ini, termasuk yang sudah hilang akibat reklamasi.

Garis pantai Manado menghilang akibat reklamasi masif yang dilaksanakan di pesisir pantai. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Tapi Sonny mencatat, luas hutan mangrove yang tersisa di Kelurahan Tongkaina, termasuk di Bawoho tinggal 84 hektar. Sementara di sisi lain, proyek reklamasi Boulevard 2 sudah masuk kecamatan Tuminting. Itu berarti, kata Sonny, selangkah lagi merambah Kecamatan Bunaken.

"Kita tidak tahu bagaimana rencana pembangunan Manado ke depan, namun jika reklamasi terus menyisir ke utara termasuk Tongkaina, tidak akan ada lagi hutan mangrove di Manado," ujar Sonny.

Jika pemerintah bernafsu mereklamasi hampir seluruh garis pantai Manado, masyarakat Bahowo justru menyadari arti pentingnya keberadaan mangrove.Mereka rutin menanami hutan mangrove dengan dibantu kelompok-kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat. Tapi, mereka terkendala pertumbuhan mangrove itu sendiri.

"Saya mengamati, mangrove yang kita tanam itu umurnya tidak lebih dari lima tahun. Entah ada hama, atau bagaimana. Awalnya pucuk, lalu ranting, dan kemudian dahannya rusak. Akhirnya pohon mangrove itu mati," ungkap Benyamin Loho, Kepala Lingkungan IV Bahowo, Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Manado.

Dia menambahkan, contohnya saat mereka menanam 20 ribu bibit mangrove, akhirnya yang jadi bertumbuh sekitar 200 pohon saja. Ia berharap pihak akademisi bisa membantu memecahkan masalah tersebut.

"Warga sudah sadar akan pentingnya keberadaan mangrove, namun kendala ini yang kami hadapi," ujar Benyamin yang sudah bergelut dengan dunia bakau itu hampir 40 tahun.

Cornela Salaeng, warga Bahowo yang juga anggota kelompok mangrove, mengakui upaya penanaman di pesisir pantai mengalami banyak kesulitan. Hal ini berbeda dengan penanaman mangrove ke arah daratan.

"Perbandingannya kalau tanam ke arah daratan, pasti bertumbuh dengan baik. Maka mungkin kita harus memperkuat wilayah agak ke daratan, baru perlahan masuk ke pesisir," ungkap Cornela.

Menanggapi hal itu, akademisi Unsrat Manado, Gustaf Mamangkey mengatakan perlu kajian lebih mendalam terkait persoalan yang dihadapi warga Bahowo itu. "Kami akan coba melakukan penelitian terkait masalah pertumbuhan mangrove ini," ujar Gustaf yang juga aktif di Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Utara.

Sambil menunggu pihak akademisi mengkaji permasalahan itu, upaya penyelamatan mangrove terus dilakukan masyarakat yang juga ikut didampingi kelompok LSM seperti Manengkel Solidaritas. "Ada program untuk penanaman seribu bibit mangrove. Kita akan lihat lokasi mana yang cocok," ujar Rio Puasa dari Manengkel Solidaritas.

Tak hanya sekadar penanaman, Rio juga merencanakan akan membuat mangrove park di Bahowo. "Ada kawasan yang bisa dimanfaatkan warga dari sisi ekonomi, namun juga menjadi penyangga ekosistem pesisir," papar Rio.   

Keberadaan mangrove di Bahowo memang punya arti penting tak hanya bagi warga di kampung itu, tapi ikut menyokong kelestarian Taman Nasional Bunaken (TNB). Bahowo memang berhadapan langsung dengan Pulau Bunaken, serta pulau-pulau lainnya yang masuk dalam kawasan TNB.

"Menjaga mangrove di Bahowo, artinya ikut menjaga keberlangsungan Taman Nasional Bunaken," ujar Rio.    

Untuk sementara warga Bahowo masih bisa menarik napas lega, karena kelanjutan reklamasi masih menunggu terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Zonasi. "Namun jika Perda itu diketuk, dan reklamasi terus dilanjutkan hingga ke Bahowo artinya Manado kehilangan hutan mangrove terakhir," ujar Rio.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya