Liputan6.com, Manado - Seorang lelaki paruh baya duduk sambil membenahi jaringnya di pinggir pantai. Jarak nelayan itu hanya berjarak selemparan batu dari aktivitas reklamasi Pantai Manado. Di sana, bangunan megah berdiri kokoh dan sebagian lainnya masih dalam pembangunan.
"Dulu kita tangkap ikan cuma di dekat saja, tapi sekarang sejak ada reklamasi pantai Manado ini kita harus lebih jauh ke laut. Makanya, kita mencari kerja lain dengan membuat jaring ini," ujar Sudirman Hiliilo, salah satu nelayan yang bermukim di Daseng Panglima, Kelurahan Sario Tumpaan, Kecamatan Sario, Manado, Selasa (12/4/2016).
Sudirman menuturkan ia dan kelompok nelayan di Daseng Panglima belakangan menggantungkan hidup dari usaha pembuatan jaring untuk nelayan modal besar. Satu unit jaring ukuran 300 x 80 meter itu dipatoknya dengan harga Rp 170 juta.
Meski menjanjikan, pesanan itu biasanya hanya dalam tiga kali dalam setahun. Untuk produksi jaring itu membutuhkan waktu tiga minggu dengan tujuh tenaga kerja.
"Kami kini mendirikan koperasi serba usaha Antra yang berdiri Maret 2015," ujar Sudirman yang menjabat sebagai Sekretaris Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra).
Baca Juga
Sebelum berwadah koperasi, Antra sudah berdiri sejak 2009 lalu. Komunitas itu menjadi kendaraan nelayan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Posisi nelayan semakin terjepit setelah dalam tiga dekade terakhir, jumlah mereka menyusut dari sekitar 29 ribu menjadi 580-an saja.
"Kami menentang reklamasi karena hak-hak kami sebagai nelayan dirampas. Lebih jauh mencari ikan, tambatan perahu juga hilang," ucap Sudirman yang mengaku sudah berdemo puluhan kali ke DPRD Kota Manado.
Puluhan kali berdemo, sekian kali itu pula suara mereka dianggap bisu. Hak mereka belum juga terbayar lunas.
"Kami hanya diberi lahan seluas 40x150 meter untuk dijadikan tambatan perahu dan ditanami 100 pohon bakau. Di situ pula Antra bermarkas. Dihimpit kegiatan reklamasi dan bangunan-bangunan mewah yang berdiri," ujar Sudirman.
Lokasi tambatan yang dirasa kecil itu semakin menyulitkan para nelayan. Seperti cerita Danny Teleng, nelayan lainnya. "Total di Kelurahan Sario Tumpaan ada 105 perahu. Sementara, daya tampung ini tambahan hanya 40 perahu. Akhirnya melayan kesulitan, banyak yang beralih profesi," ujar Danny.
Danny juga bercerita hasil tangkapannya berkurang 90 persen. Ia dulu bisa menangkap ratusan kilogram ikan dalam sekali melaut. Kini, tangkapannya tak pernah lebih dari 3 kg. Itu pun hanya untuk dikonsumsi sendiri.
"Untuk menjaga agar dapur tetap mengepul saya dan beberapa nelayan beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang parkir dan berdagang. Atau mengerjakan jaring pesanan para nelayan besar seperti yang kami kerjakan dengan Pak Sudirman," tutur Danny.
Nelayan Manado yang kini menjadi tukang parkir, Frans Tatumbe juga punya cerita yang serupa. "Sekarang mau cari satu ekor ikan saja sudah susah. Penimbunan laut ini bikin ikan-ikan berpindah lebih jauh ke laut. Padahal, dulu kami cuma pancing atau menarik jala di dekat-dekat pantai saja."
Perda Zonasi
Perda Zonasi
Apa yang dialami Sudirman, Danny dan Frans merupakan gambaran dari kondisi ratusan nelayan yang tersisa di pesisir Manado saat ini. Reklamasi tahap pertama telah melumat pesisir pantai di tiga kecamatan, yaitu Wenang, Sario dan Malalayang. Tiga kecamatan lagi kini sedang ditimbun, meliputi Tuminting, Singkil, dan Bunaken atau yang dikenal Boulevard 2.
Sejak 1998, Kota Manado telah mereklamasi areal pesisirnya untuk ekspansi properti melalui sembilan izin dan luasan mencapai 700 hektare yang memukul mundur nelayan tradisional dari sumber nafkahnya. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Manado mencatat tiga perusahaan besar yang mendapat izin reklamasi dari Pemerintah Kota Manado, yaitu PT Gerbang Nusa Perkasa, PT Kembang Utara dan PT Unico.
Perlawanan Sudirman dkk sempat membuahkan hasil. Pemprov Sulut mengeluarkan moratorium izin reklamasi sembari menunggu Perda Zonasi. "Mengenai reklamasi pantai untuk Sulawesi Utara sekarang ini masih menunggu Perda Zonasi. Nah, kalau Perda Zonasi sudah ada tinggal kita lihat bagaimana pengaturannya," tutur Sekretaris Daerah Provinsi Sulut Rahmat Mokodongan.
Menurut Rahmat, Perda Zonasi itulah yang akan mengatur perizinan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir untuk kegiatan komersial dan sosial. "Sekaligus mengurangi pengaplingan kawasan laut, terutama di Teluk Manado, untuk bangunan komersial," ujar dia.
Rencana Perda Zonasi itu ditanggapi dingin kalangan akademisi yang selama ini ikut mengadvokasi para nelayan. Para ahli menuding perda itu cuma akal-akalan pemerintah untuk melegitimasi makin meluasnya proyek reklamasi.
"Perda Zonasi ini cuma akal-akalan pemerintah untuk melegitimasi makin meluasnya reklamasi. Tidak mungkin mengembalikan tambatan perahu nelayan yang kini sudah berdiri bangunan-bangunan megah," ucap Rignolda, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado.
Bagi Rignolda, reklamasi yang telah menghancurkan hidup para nelayan tak semestinya diteruskan dan melupakan keterlibatan para penghuni aslinya. "Negara harus hadir secara tepat, benar dalam kondisi ini. Kebijakan yang dibuat harus melindungi segenap warga. Jangan hanya menguntungkan pengusaha, sementara di sisi lain membunuh para nelayan," tutur dia.
Meski menunggu Perda Zonasi itu, proyek reklamasi Boulevard 2 nyatanya tetap berjalan. Jika proyek itu selesai, keindahan garis Pantai Manado yang membentang sepanjang 18 kilometer bakal hilang.
Reklamasi yang sudah hampir tiga dekade itu telah mengusik keindahan itu. Ribuan hektar di sepanjang pesisir pantai telah disulap menjadi hotel, restoran, mal dan pertokoan. Ribuan nelayan telah dipaksa menganggur atau beralih profesi.
Advertisement