Liputan6.com, Ternate - Kondisi kas keuangan daerah Pemprov Maluku Utara (Malut) tahun anggaran 2016 kedodoran. Hal itu diakibatkan pembayaran utang kepada pihak ketiga sebesar Rp 400 miliar dan kebijakan atas pembayaran gaji ke-14 atau THR PNS sebesar Rp 11 miliar.
Pembayaran itu rupanya mengganggu kondisi keuangan kas Pemprov Malut, di antaranya penundaan pembayaran gaji ke-13 dan Tunjangan Tambahan Penghasilan (TTP) PNS. Atas kondisi tersebut, Pemprov terpaksa mengulur-ulur waktu pembayaran gaji ke-13 dan TTP, sampai adanya kucuran dana transfer Juli 2016 Rp 90 miliar dari pemerintah pusat.
Sekretaris Provinsi (Sekprov) Malut Muabdin Radjab mengungkapkan, alokasi dana transfer berupa dana alokasi umum (DAU) tersebut seharusnya diperuntukkan untuk pembayaran gaji PNS setiap bulan sebesar Rp 18 miliar, dari total pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov Malut.
"Gaji PNS Pemprov itu diambil dari dana transfer Rp 90 miliar. Anggaran sisanya itu untuk membayar kebutuhan administrasi dan operasional Pemprov. Dari seluruh pembayaran itu, sisanya masih ada yang kita gunakan untuk bayar utang pihak ketiga," kata Sekprov kepada Liputan6.com, di lantai III Kantor Gubernur Malut, Puncak Gosale, Rabu, 20 Juli 2016.
Menurut Sekprov, kas daerah tidak kosong karena anggaran di kas tersebut sebagai penyeimbangan keuangan pemerintah setempat. "Karena setiap bulan saja kita ada dana transfer Rp 90 miliar. Itu belum ditambah dana kas yang masuk lewat pendapatan," kata dia.
Baca Juga
Sekprov mengatakan, pada Juni-Juli 2016 seharusnya Pemprov sudah membayar gaji ke-13. Hanya saja, kata dia, ada kebijakan baru dari Pemerintah Pusat yang menginstruksikan kepada Pemda membayar THR PNS sehingga alokasi anggaran yang sudah dipersiapkan untuk gaji ke-13 mendadak digunakan untuk bayar gaji ke-14.
"Prinsipnya pada kas daerah itu, kita sudah punya perencanaan selama 12 bulan tahun anggaran berjalan. Dan itu sudah hitung keseluruhan kebutuhan, baik bayar gaji per bulan, administrasi, operasional, dan utang ke pihak ketiga. Hanya karena ada kebijakan baru dari Pemerintah Pusat tentang gaji 14 sehingga kita kecolongan," jelas Muabdin.
Dia mengaku, tidak dianggarkannya pembayaran gaji ke-14 pada APBD Malut 2016 karena kebijakan Pemerintah Pusat berjalan setelah pembahasan tahun anggaran berjalan. Sementara, alokasi anggaran Juni 2016 sebesar Rp 90 miliar sudah terpakai.
"Untuk Rp 90 miliar pada Juni 2016 itu sebagiannya dipakai bayar utang, jumlahnya berapa, saya no comment," ucap dia.
Utang Pemprov Malut Rp 400 Miliar
Sekprov mengaku, jumlah utang secara keseluruhan mencapai Rp 400 miliar. Terdiri dari utang pembayaran pekerjaan yang selesai pada 31 Desember 2015 sebesar Rp 200 miliar dan utang Daftar Pelaksanaan Anggaran Lanjutan (DPAL) yang terbawa pada 2016 lebih dari Rp 100 miliar.
Dia mengatakan, utang 31 Desember 2015 sudah terbayarkan seluruhnya. Sisanya tinggal utang DPAL yang masih tinggal sebesar Rp 90 miliar. Skema pembayaran ini, lanjut dia, menggunakan anggaran kas daerah, baik melalui pendapatan dan dana transfer Januari-Juni, yang ditransfer pemerintah pusat setiap bulan sebesar Rp 90 miliar.
Sekprov juga mengomentari soal utang DPAL akibat dari proyek fisik yang dilaksanakan tidak selesai dikerjakan namun tidak dilakukan pemutusan kontrak. Menurut Muabdin, "Ini yang membuat Pemprov terbebani. Belum lagi dengan kebijakan baru yang menambah pengaruh terhadap kondisi keuangan kas daerah."
Pemaksaan Belanja?
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, beban belanja daerah Pemprov ini tidak seimbang dengan pendapatan. Jika dilihat dari skema pendapatan, APBD Malut yang semestinya disahkan Rp 1,8 triliun, dipaksakan naik menjadi Rp 2,3 triliun.
Akibatnya, anggaran yang tersedia tidak mencukupi beban belanja Pemprov setempat. Walhasil, belum satupun kegiatan pembangunan fisik yang terlaksana di lapangan hingga memasuki triwulan ketiga APBD induk tahun anggaran 2016.
Tingginya belanja fisik itu karena adanya beberapa proyek fisik yang tidak masuk dalam perencanaan, tetapi dipaksakan masuk saat pembahasan. Salah satunya, perencanaan pembangunan kantor Dinas ESDM sebesar Rp 3 miliar yang sampai sekarang kantor itu belum tahun akan dibangun di mana karena lahan kantor tidak disediakan Biro Pemerintahan.
Pemaksaan pengesahan APBD Malut TA 2016 sebesar Rp 2,3 triliun itu, diduga diakibatkan adanya proyek titipan oknum pimpinan dan anggota DPRD Malut. Hal itu membuat beberapa program prioritas Pemprov setempat tidak bisa dilaksanakan.
Advertisement