Liputan6.com, Yogyakarta - Dari 177 warga negara Indonesia (WNI) yang tertahan di Filipina karena terjerat iming-iming haji cepat, ada dua warga Dusun Sudimoro, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Jogja, yang turut serta jadi korban. Keduanya adalah Hidayat Aziz dan Titik Sayekti.
Hidayat mengatakan usai kejadian yang menimpanya, ia berharap pemerintah dapat mengantisipasi sehingga tidak terjadi lagi kejadian serupa. Menurut dia, banyak korban tidak mengenyam pendidikan sehingga banyak yang termakan isu waktu tunggu haji hingga 30 tahun.
"Kita sedang sudah kembali ke Indonesia. (Kami) sudah 15 hari di Filipina," kata Hidayat di kediamannya, Kamis, 8 September 2016.
Hidayat yang tiba di rumah pada Rabu malam, 7 September 2016 itu mengatakan gagalnya ia berangkat haji menjadikannya lebih sabar. "Ya dibilang musibah, ya musibah. Dibilang cobaan, ya cobaan. Yang paling penting adalah sehat. Kita sehat, namun batin kita ya seperti itu," ujar dia.
Hidayat juga berterima kasih kepada sembilan orang jemaah haji yang masih di Filipina saat ini. Mereka bertahan hingga saat ini karena masih dibutuhkan untuk memberikan keterangan dan dijadikan saksi oleh pemerintah Filipina.
Baca Juga
"Masih ada sembilan di sana, mereka pahlawan. Kalau mereka tidak mau tanda tangan, kita nggak pulang. Mereka masih di KBRI diminta untuk menjadi saksi," kata Hidayat.
Ia menuturkan awalnya mendaftar haji pada 2014 melalui biro haji di Palembang. Saat itu, ia mengeluarkan uang sebanyak Rp 200 juta.
Ia awalnya menolak untuk berangkat dan meminta uangnya kembali atau diberangkatkan pada 2017. Namun karena dorongan keluarga, ia akhirnya mau untuk berangkat melalui Filipina pada 23 Mei 2016 dan kembali lagi beberapa hari kemudian.
"Dahulu lima tahun bisa, tapi sekarang sudah nggak boleh lagi dari Arab Saudi. Filipina kan nonmuslim, nah banyak kuota haji sisa ini dimanfaatkan lah oleh travel haji," ujar dia.
Ia pun sempat membuat pengajian kecil di rumahnya untuk mendoakan kelancaran atas niat berhaji. Pada 17 Agustus 2016, ia bersama ratusan jemaah lainnya diberangkatkan ke Filipina melalui Jakarta pukul 00.00 WIB dan tiba di Filipina besoknya pada pukul 6 pagi.
Ketahuan Pihak Imigrasi
Mereka kemudian menginap di hotel sembari menunggu keberangkatan ke Tanah Suci pada 19 Agustus 2016. Sebelum berangkat, semua paspor calon haji diminta oleh pihak travel yang notabene bercap Filipina. Menurut dia, paspor Filipina yang dipegangnya itu paspor asli.
"Nama saya dibalik Aziz Hidayat. Paspornya asli, tidak palsu. Kalau lewat, kita aman ada capnya. Sama visanya," kata Hidayat.
Saat pengecekan di bandara, ada seorang dari rombongan bermasalah soal administrasi. Petugas imigrasi kemudian menanyai calon haji itu dengan Bahasa Inggris, tapi orang yang ditanyai tidak bisa menjawab.
"Akhirnya kena, tapi tiga orang lolos," ujar dia.
Karena kesalahan itu, seluruh jemaah haji yang tersisa akhirnya ditahan pihak imigrasi. Mereka ditahan di penjara Manila pada keesokan harinya. Para tahanan perempuan tidak masuk sel, hanya calon haji lelaki. Mereka berada di penjara selama tujuh hari.
"Tanpa alas tidur. Laki-laki, hape ditahan enggak bisa komunikasi. Malam Sabtu itu kita dipenjara. Saya lemas enggak pernah terbayangkan mau di situ. Kita kan masuk tanpa paspor dianggap kriminal luar biasa," ujar Hidayat.
Dua hari sebelum keluar dari penjara, mereka akhirnya menghadap ke pengadilan. Pengadilan mengatakan para jemaah haji merupakan korban dan bukan penjahat.
"Dua hari kemudian, pengurusan imigrasi ambil sidik jari tiap hari," kata Hidayat.
Hidayat mengatakan selama di sana, ia mengaku tidak makan selama dua hari. Namun, ada teman di penjara yang memberikan roti kepada para jemaah.
Ia juga tidak bisa berganti baji selama ditahan karena seluruh barang sudah dikirim ke Arab Saudi. Lagi-lagi, tahanan dari kelompok Abu Sayyaf yang menjual pakaian. Ia pun akhirnya beli pakaian tersebut.
"Kita kan disatukan orang narkoba, orang minum, anak buah Abu Sayyaf. Saya dikasih celana loreng. Beli loreng ijo. 150 ribu peso. Ya sekitar Rp 300 ribu lah," tutur Hidayat.
Advertisement