Liputan6.com, Rejang Lebong, Bengkulu - Permintaan hukuman mati dari empat terdakwa kasus pembunuhan Yuyun untuk kategori dewasa, ternyata berbanding terbalik dengan tuntutan dalam kasus yang sama tapi masuk dalam kategori anak di bawah umur.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Curup, Rejang Lebong, Bengkulu, yang dipimpin ketua majelis hakim Heny Faridha bersama hakim anggota Hendri Sumardi dan Fakhrudin itu, terdakwa kasus pembunuhan Yuyun atas nama J (13) hanya dituntut hukuman ringan.
Tim Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Curup hanya menuntut terdakwa J dengan hukuman satu tahun mengikuti pelatihan kerja di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) Bambu Apus, Jakarta Timur.
Advertisement
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Curup Dodi Wiraatmaja menyatakan, tuntutan tersebut merupakan tuntutan paling maksimal dalam Undang-Undang Peradilan Anak.
Baca Juga
"Karena di bawah umur, tuntutan yang kami bacakan untuk ikut pelatiahn sosial itu paling maksimal," ucap Dodi saat dihubungi di PN Curup, Rejang Lebong, Bengkulu, Jumat (16/9/2016).
Dihubungi secara terpisah, aktivis perlindungan perempuan dan anak dari Yayasan PUPA Bengkulu Susi Handayani mengaku kecewa dengan tuntutan ringan tersebut. Sebab, hukuman yang bakal dijatuhkan dalam sidang vonis oleh majelis hakim sudah bisa ditebak tidak akan jauh berbeda dengan tuntutan jaksa.
"Mau gimana lagi, sistem peradilan kita memang mengatur demikian, harus ada judicial review (uji materi) terhadap aturan ini," Susi menegaskan.
Dia khawatir, jika tidak dilakukan pembenahan dalam sistem peradilan anak, ke depan bakal ada eksploitasi terhadap anak di bawah 14 tahun. Sebab, ancaman pidana tidak berlaku bagi mereka, perilaku berulang, dan dicontoh anak-anak lain bukan tidak mungkin terjadi di masa akan datang.
Lebih parah lagi, menurut Susi, mereka juga bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu seperti para bandar narkoba yang akan menjadikan mereka sebagai kurir. Kalaupun mereka terjerat hukum, tentu saja sanksi yang bakal dikenakan sudah bisa ditebak, dikembalikan kepada orangtua atau dilakukan pembinaan dan pelatihan.
"Berbahaya sekali, pemerintah harus segera respek dan melakukan pembenahan peradilan anak ini secara sistemik," aktivis perlindungan perempuan dan anak Bengkulu itu memungkasi.