Liputan6.com, Bantaeng, Sulsel - Ada berbagai macam tradisi masyarakat di beberapa daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam hal mengobati sanak keluarga yang terkena penyakit keras. Satu di antaranya adalah tradisi unik yang ada di Kampung Ulu Galung, Kecamatan Ere Merasa, Kabupaten Bantaeng, Sulsel.
Hingga saat ini warga Bantaeng masih mempercayai tradisi Akkawaru atau Mandi Api untuk menyembuhkan penyakit yang sulit disembuhkan secara medis.
Tradisi Akkawaru tersebut merupakan warisan leluhur masyarakat Mamampang, Kare Mamampang. Salah satu kare yang tergabung dalam tujuh Kare yang dikenal masyarakat Bantaeng dengan nama Kare Tujua.
Yudha salah seorang pemuda asal Kampung Ulu Galung mengungkapkan awal mula tradisi Akkawaru atau Mandi Api, yakni setelah prajurit Kerajaan Mamampang kala itu pulang berperang. Tradisi itu pun dilakukan untuk membersihkan diri dari segala sakit yang diderita selama mengikuti perang.
Tradisi ini pun terus dilestarikan oleh keturunan Kare Mamampang. Di mana dalam perkembangannya, Akkawaru kerap digelar ketika ada salah seorang dari keturunan Kare Mamampang mengalami sakit keras yang tak bisa lagi disembuhkan secara proses medis.
Baca Juga
Salah satu keturunan Kare Mamampang yang sakit tersebut tiba-tiba dirasuki roh leluhur dan menginginkan diobati dengan cara demikian.
"Jadi tradisi itu tidak serta-merta digelar ketika tak ada permintaan dari salah satu keluarga keturunan Kare Mamampang yang sakit. Meski di antara keturunannya sakit, tapi tak ada permintaan dari roh leluhur yang merasukinya. maka tradisi Akkawaru tak bisa digelar," ucap Yudha kepada Liputan6.com, Minggu, 13 November 2016.
Harus Keturunan Langsung
Setelah salah satu keturunan yang mengalami sakit itu dirasuki roh leluhur dan meminta digelar ritual Akkawaru, maka menurut Yudha, peserta ritual pun yang melakukan harus dari keturunan Kare Mamampang lainnya. Tak boleh dilakukan oleh bukan keturunan langsung Kare Mamampang.
"Jika sudah ada permintaan demikian dari roh leluhur yang merasuk pada tubuh keturunan yang sakit itu, maka ritual membaca doa pun langsung dilakukan oleh keturunan tertua yang bertempat di sebuah gubuk yang berada di pinggir hutan Ulu Galung," Yudha menerangkan.
Dalam ritual doa itu, imbuh Yudha, turut diletakkan tiga jenis nasi ketan, yakni ketan berwarna merah, hitam dan putih. Tak hanya itu, senjata pusaka milik Kare Mamampang turut dihadirkan berupa badik, tombak, keris dan parang.
"Selain itu yang wajib hadir dalam sesajen ritual doa khusus yang dipimpin oleh keturunan tertua Kare Mamampang di gubuk pinggir hutan, yakni benang hitam dan benda pusaka Kare Mamampang yang disebut ba'ba ejayya (senjata pusaka yang dibungkus kain merah)," ia mengungkapkan.
Selama ritual doa digelar di dalam gubuk pinggir hutan tersebut berlangsung yang bernama Gubuk Pangadakkang, seluruh keturunan Kare Mamampang lainnya yang akan mengikuti ritual Akkawaru berada di sekeliling gubuk tempat digelarnya doa dan sesajen.
"Setelah doa usai digelar, para keturunan yang akan ikut dalam tradisi Akkawaru masing-masing diwajibkan mengenakan benang hitam yang telah diisi dengan doa khusus sebelumnya," Yudha memaparkan.
Selanjutnya, para keturunan itu melakukan aksi bertelanjang dada dan kaki mengelilingi kampung Ulu Galung dengan membawa senjata pusaka Kare Mamampang.
"Setelah itu, para keturunan yang terlibat dalam ritual Akkawaru kemudian masuk ke dalam kobaran api yang telah dinyalakan oleh warga Ulu Galung dari gundukan daun lontar setinggi enam meter yang telah dibakar," ujar Yudha.
Advertisement
Kebal Api
Selama prosesi Akkawaru atau Mandi Api itu berlangsung, tak ada sedikit pun luka bakar yang dialami para keturunan Kare Mamampang yang ikut dalam ritual. Meski ritual mandi api itu dilakukan tiga kali. Di mana setelah api padam dengan sendirinya, kemudian dinyalakan lagi. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
"Peserta ritual akan berhenti mandi api ketika api sudah padam dengan sendirinya. Padamnya api itu juga diyakini bahwa penyakit yang diderita oleh keturunan yang sakit sudah sembuh," kata Yudha.
Seluruh keturunan yang ikut dalam ritual Akkawaru tak pernah terbakar oleh api karena adanya perlindungan Tuhan melalui benang hitam yang dikenakan para keturunan sebelum melaksanakan ritual.
"Kapan benang itu putus, maka peserta yang ikut dalam tradisi Akkawaru akan terpanggang api. Namun benang hitam itu sebelumnya telah diisi oleh doa pada ritual pengisian doa yang digelar di gubuk sebelumnya," ia menjelaskan.
Meski tradisi sakral ini masih terjaga, tak ada agenda pasti kapan akan digelar kembali. Hal itu lantaran prosesi sakral hanya bisa digelar ketika ada dari keturunan Kare Mamampang yang menderita sakit keras dan dirasuki oleh roh leluhur, sehingga meminta ritual sakral tersebut digelar.
"Selain itu ritual ini juga hanya bisa dilakukan oleh garis keturunan langsung Kare Mamampang tidak untuk yang bukan keturunan Kare Mamampang," Yudha menegaskan.
Meski keunikan ritual ini masih terjaga dan terlestarikan dalam kehidupan masyarakat Ulu Galung, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantaeng tak dapat menjadikan ritual warisan Kare Mamampang sebagai agenda tahunan budaya.
"Hal itu karena ritual ini tak bisa dipastikan kapan bisa dilakukan. Kadang 10 tahun hingga 30 tahun belum tentu ritual Akkawaru ini digelar. Terakhir itu pernah digelar, yakni sembilan tahun silam. Di mana salah satu keturunan Kare ada yang menderita sakit keras dan telah dirasuki oleh roh leluhur, sehingga ritual tersebut diadakan," tutur Yudha.
Ritual Akkawaru yang merupakan warisan Kare Mamampang kepada keturunannya tersebut digelar biasanya pada malam hari. Dan ketika digelar masyarakat Ulu Galung, Bantaeng, Sulsel, pun tampak antusias menyaksikan ritual sakral yang hanya bisa dilakukan oleh para keturunan Kare Mamampang tersebut.