Pakar Budaya Jawa: Babi Ngepet Hanyalah Mitos, tapi...

Belum lama ini di sejumlah daerah, warga menangkap babi hutan atau celeng yang diduga perwujudan dari babi ngepet.

oleh Anri Syaiful diperbarui 06 Des 2016, 22:29 WIB
Diterbitkan 06 Des 2016, 22:29 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Sebagian masyarakat di Tanah Air, ternyata masih mempercayai adanya pesugihan berupa babi ngepet atau sosok babi jadi-jadian dalam hal laku gaib mencari kekayaan. Belum lama ini di sejumlah daerah, warga menangkap babi hutan atau celeng yang diduga perwujudan dari babi ngepet.

Adanya fenomena babi ngepet ini pun menjadi perhatian pakar kebudayaan dan mitologi Jawa asal Universitas Indonesia (UI), Prapto Yuwono. Menurut dia, fenomena ini bisa dikaji dari konteks kebudayaan masyarakat dan kebatinan atau kepercayaan.

"Dalam teori kebudayaan dan kemasyarakatan, bila seseorang menemui kendala dalam kehidupan sosial ekonomi dan tidak bisa menyelesaikan masalah, maka ia akan mencari suatu kompensasi atau solusi. Karena dalam dunia nyata ia tak menemukan solusi, sehingga mencari di dunia lain (gaib)," ucap Prapto saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (6/12/2016).

Dosen Kebudayaan Jawa di UI ini mencontohkan, fenomena berpalingnya sebagian masyarakat ke dunia gaib atau kebatinan terlihat pada zaman penjajahan Belanda. "Masyarakat cari ke dunia lain, yakni kebatinan. Dan mereka merasa nyaman."

"Adanya babi ngepet, tuyul, dan santet sudah biasa di zaman Kolonial Hindia Belanda. Tradisi itu muncul karena adanya tekanan-tekanan dalam keseharian atau kehidupan mereka, sehingga lari dari dunia kenyataan ke dunia gaib," mantan Ketua Jurusan Prodi Sastra Jawa UI itu menambahkan.

Terkait adanya artefak berupa babi celengan dari zaman Kerajaan Majapahit yang disebut-sebut sebagai simbol pesugihan babi ngepet, Prapto pun punya pandangan. Menurut dia, celengan itu hanya menyimbolkan binatang yang dianggap rakus. Apalagi, celengan peninggalan Majapahit ada pula yang berupa gajah.

"Arkeolog bilang itu hal biasa. Kaitan dengan babi ngepet itu hanyalah mitologi (mitos)," tutur dia.

Prapto bahkan tak pernah menyaksikan adanya babi ngepet yang ditangkap warga kemudian berubah kembali menjadi manusia. "Saya pernah lihat babi hutan dikurung, saya melihatnya kasihan. Tapi masyarakat setempat meyakini sebagai babi ngepet," ia menambahkan.

Seekor babi hutan masuk ke perkampungan yang jauh dari gunung dan hutan. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Prapto menilai, binatang liar itu masuk kampung karena habitat mereka rusak dan tidak punya makanan. "Bukan hanya babi hutan, kera pun banyak yang turun mencari makanan karena habitatnya rusak."

Di luar konteks budaya dan kebatinan, menurut dia, persoalan klenik yang diduga berdampak kepada dunia nyata pernah marak diperbincangkan bahkan diseminarkan oleh para akademisi, beberapa waktu lalu.

"Persoalan itu pernah diangkat dalam sebuah disertasi di Fakultas Hukum UI. Bahwa ini masalah hukum dan bagaimana dukun (pelaku ilmu klenik) bisa diadili di pengadilan," ujar Prapto.

Namun, menurut dia, pembuktian adanya praktik perdukunan dan klenik sulit secara hukum karena konteksnya dunia lain. "Ini masih jadi PR (pekerjaan rumah) kita semua, persoalan klenik dan supranatural."

Hanya saja, Prapto Yuwono menekankan, fenomena dunia lain atau gaib seperti babi ngepet, santet, dan lainnya bakal selalu muncul jika kondisi ekonomi, sosial kemasyarakatan, termasuk politik, mengalami kemunduran. Terutama, bagi masyarakat yang berubah menjadi irasional lantaran tak bisa mencari penyelesaian masalah kehidupannya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya