Tradisi Tanam Bambu di Hutan Tagafura

Kesadaran warga akan pentingnya bambu sudah turun temurun.

oleh Hairil Hiar diperbarui 16 Jan 2017, 07:03 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2017, 07:03 WIB

Liputan6.com, Ternate - Kawasan hutan lindung itu dikenal dengan nama Tagafura. Lokasinya di puncak bukit yang curam, ancaman longsor pun menghantui.

Hutan lindung Tagafura ini dihuni oleh warga kampung Kalaodi, yang terbagi dalam empat lingkungan, di Kelurahan Kalaodi, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Masing-masing lingkungan berjarak 2 kilometer yang dipisahkan oleh kebun warga. Empat lingkungan itu adalah Swom di bagian Timur, Dola di Barat Puncak, Kola di bagian Selatan, dan Gulili di bagian Utara. Masing-masing lingkungan memiliki lahan kelola sendiri.

“Di kampung Kalaodi ini cukup kaya dengan tanaman produktif yang bernilai ekonomis. Dari sejumlah tanaman perkebunan warga, bambu salah satunya yang banyak ditanam. Selain itu, tanaman tahunan, seperti cengkih dan pala,” ucap Abdurahman, warga Kalaodi, Minggu (15/1/2016).

Bagi warga kampung setempat, bambu memiliki peran penting setelah cengkih dan pala. Di sela-sela lahan kebun pala dan cengkih yang masih tersedia, warga setempat memanfaatkannya untuk menanam durian, kayu manis, dan pinang.

Abdurahman mengatakan, tanaman bambu disadari warga bukan karena nilai ekonomisnya semata, namun karena kondisi lahan di kampung itu berada di bukit pada kemiringan yang curam.

“Jadi tanaman bambu ini awalnya disadari warga sebagai pelindung erosi (mengelilingi tebing dan lahan lingkungan kampung),” kata Abdurahman.

Dia mengatakan, warga masyarakat setempat menyadari kalau akar pohon bambu berfungsi sebagai penahan erosi sudah turun temurun. Selain mencegah bahaya banjir, ancaman longsor bisa teratasi.

“Warga di sini semuanya berperan penting dalam mempertahankan kelestarian bambu,” katanya.

Bahan Kerajinan

Abdurahman mengatakan, tanaman bambu menjadi utama karena dianggap sebagai pelindung dari ancaman longsor dan banjir bagi warga di wilayah dataran rendah.

Tradisi tanam bambu di Malut (Liputan6.com / Hairil Hiar)

Selain itu, sambung dia, bambu yang telah tumbuh besar juga digunakan warga setempat sebagai bahan dinding bangunan dan rumah semi permanen.

“Namun berubahnya waktu, pemahaman warga menjadi berubah. Bambu yang dahulu hanya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan penahan erosi, saat ini telah dimanfaatkan sebagiannya untuk kerajinan,” katanya.

Abdurahman mengemukakan, untuk bahan bambu yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan saat ini sudah jarang digunakan seiring bangunan yang ada sudah permanen.

Untuk saat ini warga lebih banyak memanfaatkan bambu untuk membuat berbagai barang kerajinan seperti Saloi (semacam keranjang yang digunakan ibu-ibu ketika ke kebun), dan Tolu (sejenis topi lebar yang dianyam pakai kulit bambu).

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya