Liputan6.com, Yogyakarta - Arab Pegon di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam membantu melawan penjajah. Huruf Arab yang digunakan untuk menulis bahasa lokal Jawa maupun Melayu itu menjadi salah satu alat perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.
"Ada sejumlah peristiwa sejarah yang menunjukkan Arab Pegon sebagai bahasa pemersatu nusantara sebelum nama Indonesia dibentuk," ujar Gus Ruhulla Taqi, pengasuh Pondok Pesantren Qashrul Arifin Yogyakarta dalam Seminar dan Kajian Literasi Arab Pegon bertajuk Arab Pegon dalam Budaya Literasi Khasanah Sastra dan Pengetahuan Keislaman di Masjid Sulthoni Pathok Negoro Plosokuning Sleman, Senin sore, 27 Maret 2017.
Ia menyebutkan, semula Arab Pegon menjadi salah satu cara penyebaran agama Islam pada abad ke-11. Untuk mengajarkan Alquran, masyarakat dibiasakan mengenal tulisan Arab yang diimplementasikan ke dalam bahasa lokal. Jadi, tulisan Arab itu akan tetap dibaca bahasa lokal, misal Jawa.
Babad Diponegoro dalam Keraton Jogja ditulis menggunakan huruf Arab Pegon. Demikian pula di Banten, Syekh Nawawi menjadikan Arab Pegon sebagai kode rahasia saat masa penjajahan Belanda.
"Berkirim pesan dengan Arab Pegon karena Belanda tidak paham," kata Gus Taqi.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengungkapkan kebiasaan membaca Arab Pegon kembali digalakkan di Masjid Sulthoni Pathok Negoro Plosokuning setiap malam Kamis. Tujuannya, supaya remaja masa kini bisa mengenal sejarah dan tradisi di masa lampau. Terlebih, banyak catatan-catatan silsilah di masjid pathok negoro ini yang ditulis menggunakan Arab Pegon.
Menurut dia, mempelajari Arab Pegon bisa menjadi semangat baru dalam meningkatkan pemahaman agama. Terlebih, ulama dulu juga menggunakan Arab Pegon untuk mengajarkan moralitas dan membawa kedamaian.
Ia membandingkan pengajaran saat ini lebih banyak mengedepankan sisi hukum atau yg bersifat logis, sehingga cenderung memunculkan potensi bentrok. Selain itu, mempelajari Arab Pegon bisa menekan pengkultusan huruf Arab karena tidak semua tulisan dalam bahasa Arab berbau agama Islam.
Ia mencontohkan, ada cerita dari masjid Pathok Negori Mlangi tentang seorang anak menyimpan catatan huruf Arab dibungkus dengan kain mori dan dimasukkan dalam peti. Ia merasa itu peninggalan leluhurnya. Setelah dibuka dan dibaca ternyata tulisan itu hanya catatan teknis pembangunan masjid.
Simbol Melawan Penjajah
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi memaparkan Arab Pegon menjadi bahasa pemersatu Nusantara saat melawan penjajah, hampir mirip dengan Urdu, yakni tulisan Arab dengan bahasa lokal India.
"Setelah Hindu dan Budha mengalami kemunduran, Islam lewat Arab Pegon berfungsi sebagai penyangga bahasa Nusantara melawan penjajah," ujar dia.
Ia menceritakan, pasca-kekalahan Diponegoro sekitar 1830, para pengikutnya yang terdiri dari ulama dan sufi melarikan diri ke daerah Termas Pacitan. Mereka mendirikan pondok pesantren Termas sebagai benteng pertahanan melawan penjajah. Wilayah itu dipilih karena dikelilingi bukit karang sehingga tidak terjangkau teknologi Belanda.
Para ulama membenci segala sesuatu yang berbau penjajah dan mengeluarkan dalil, mengharamkan segala sesuatu yang berbau penjajah, termasuk penggunaan huruf latin. Oleh karena itu, pesantren pun menggunakan Arab Pegon.
"Tetapi yang perlu dicatat dalil itu adalah dalil strategi perang, bukan dalil agama, karena ulama melakukan perlawanan secara total. Kalau diterapkan sekarang sudah tidak pas, karena Indonesia sudah merdeka," ucap Yudian.
Dalil itu, tutur dia, juga menjadi salah satu sebab orang-orang di pondok pesantren kala itu jarang yang bergelar akademis karena mereka tidak mengenyam pendidikan dari sekolah yang notabene buatan Belanda.
Ia menerangkan pada abad ke-19 menjadi tonggak utama perjuangan Islam di Nusantara. Namun, hal itu berubah di abad 20 menjadi nasionalis.
Penyebabnya, pada abad itu terjadi dua revolusi besar di dunia, yakni Komunis Bolsevic pada 1917 dan setahun kemudian Turki dan India kalah dalam perang dunia pertama. Akibatnya, Islam kehilangan dukungan kekuatan dan muncul kekuatan baru bernama Uni Soviet.
Tokoh perjuangan Soekarno berpikir untuk mencapai kemerdekaan melawan Barat tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan Islam internasional. Pemikiran itu memunculkan paham Nasakom (nasionalis, agama, komunis).
"Setelah kemerdekaan dicapai, Soekarno menghapus Bahasa Belanda dari Indonesia, demikian pula dengan Arab Pegon, supaya bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu dan menjadi identitas bangsa merdeka yang setara di mata internasional," tutur dia.
Yudian menambahkan awal kemerdekaan PBB pernah bilang angka buta huruf di Indonesia tinggi, yang dimaksud adalah buta huruf latin karena rata-rata orang kelahiran di bawah 1960 menguasai Arab Pegon.
Advertisement