Liputan6.com, Bandung - Dari sekian banyaknya tempat berburu takjil atau penganan berbuka puasa yang tersebar di Kota Bandung, Jawa Barat, ada satu lokasi legendaris yang selalu dituju saat bulan Ramadan tiba, namanya Es Cendol Elizabeth. Terletak di Jalan Inhoftank No 64, kawasan Astana Anyar, toko minuman es cendol ini selalu ramai diserbu warga baik dari dalam maupun luar Bandung.
Sekilas dari luar toko ini tampak biasa saja. Terdapat pelang bertuliskan "Selamat Datang" di bagian atas pintu masuk. Namun aktivitas di bagian dalam toko sangat berbeda karena karyawan sibuk melayani pesanan pembeli.
Sesuai namanya, toko Es Cendol Elizabeth ini menjual cendol. Minuman legit dengan rasa manis yang terasa menjendul saat disantap.
Pemiliknya adalah Haji Rohman. Dia dibantu anak-anaknya dalam mengelola usaha yang dirintisnya sejak 1972 ini.
Nur Hayati, putri Pak Haji Rohman menuturkan, produksi bahan baku cendol ditingkatkan saat bulan Ramadan. Bahkan, jumlahnya meningkat sepuluh kali lipatnya dari hari biasa.
"Untuk di toko saja pada hari biasa hanya 10 tabung. Kalau selama Ramadan bisa 100 tabung per hari," ucap Nurhayati kepada Liputan6.com, Sabtu, 3 Juni 2017.
Advertisement
Baca Juga
Dikatakan dia, selain melayani pembeli di toko, Es Cendol Elizabeth juga memasok es cendol ke supermarket. Untuk hari biasa, sejumlah supermarket dipasok sebanyak 200 paket.
"Nah satu paket isinya 200 liter. Kalau bulan puasa bisa 1.000 sampai 1.500 paket yang masuk ke supermarket," ia menerangkan.
Sementara untuk omzet yang didapat Es Cendol Elizabeth per harinya bisa mencapai Rp 10 juta.
Diakui Nur Hayati, tokonya tak punya resep rahasia dalam memproduksi cendol. Bahan utamanya hanya tepung aci kawung serta gula kelapa. Untuk pewarna digunakan daun suji dan daun pandan sebagai penambah aroma.
"Kadang kita sendiri pun cari bahan bakunya kesulitan sekarang ini. Apalagi gula kelapa, kalau sekarang dicari ada yang campuran ubi, dan lain-lain. Kita pun sudah sudah berusaha beli dari petaninya langsung," ujar dia.
Sementara itu, Eva (34), salah satu pembeli mengatakan, setiap Ramadan datang dirinya selalu mampir ke Toko Es Cendol Elizabeth. Namun, ia mengaku tak bosan membeli es cendol di sini.
"Kurang lengkap saja kalau belum beli langsung ke sini. Cuma di sini yang jual Es Cendol Elizabeth," kata dia.
Mulanya dari Morat-marit
Nur Hidayah, putri kedua Haji Rohman bercerita, sang ayah semasa kecil sudah harus membantu perekonomian keluarga. Rohman yang ketika itu baru duduk di bangku kelas 2 SD ditinggal sang bapak.
"Awalnya, bapaknya bapak (Rohman) meninggal, waktu itu masih tinggal di Pekalongan. Kehidupan di desa kan tak menentu hanya kerja tani. Sementara bapak itu anak laki-laki satu-satunya jadi tumpuan keluarga," ujar Nur.
Ketika itu Rohman diberitahu ibunya bahwa ada seorang pamannya yang berjualan cendol di Bandung. "Merantaulah bapak dan ikut pamannya berkeliling jualan cendol," tutur Nur.
Dari membantu paman, Rohman diberi uang jajan. Uang itu tidak pernah dipakai Rohman untuk sendiri bahkan dikirim ke kampung buat membantu adik-adiknya yang sekolah. "Kalau ada uangnya lebih sedikit dikumpulin," ia menambahkan.
Uang yang terkumpul itu kemudian dibelikan roda hingga keperluan lainnya untuk berjualan. Setelah punya roda sendiri, Rohman baru bisa keliling berjualan cendol. Dulu, Rohman memulai berjualan di kawasan Leo Genteng, Astana Anyar, Kota Bandung.
Setelah berkeliling, Rohman selalu memarkirkan jualannya ke sebuah rumah di Jalan Ciateul. Rumah tersebut kelak bakal menjadi titik awal dimulainya usaha cendol milik Rohman.
Sang empunya rumah bernama Elizabeth adalah langganan tetap Rohman. Menurut Nur Hayati, Ibu Eli pada waktu itu masih bekerja di toko tas.
"Kalau sudah berkeliling bapak mangkalnya selalu di depan rumahnya Bu Eli. Bapak juga sering bantu kalau Bu Eli pulang kerja, belanjaannya dibawain," ucap Nur.
Suatu waktu, Bu Eli pulang ke rumahnya membawa tas sisa yang masih bisa dijual kembali. Melihat Rohman berjualan di depan rumah, Bu Eli menitipkan tas-tas sisa kepada Rohman untuk dijual. Rohman yang tidak lulus SD ragu bisa menjual tas. Namun, Bu Eli tidak memaksa, berapapun barang yang laku ia terima.
Rohman sempat mengeluh karena beberapa pembeli tas memaksa jika beli tas, maka cendolnya gratis. Meski ia sudah jelaskan bahwa tas yang dijualnya adalah barang titipan. Karena itu, ia pun melapor kepada Bu Eli dan tetangganya itu pun mengganti cendol yang diminta pembeli tas.
Bu Eli kemudian membeli sebidang tanah untuk dijadikan toko usaha jual tas. Toko itu dinamai Toko Tas Elizabeth yang berada di Jalan Ciateul (sekarang Jalan Ibu Inggit Garnasih) No 15. Sampai menjadi toko, Rohman masih mangkal di situ. "Dulu sering ada tamu datang suguhannya cendol milik bapak," kata Nur.
Rohman selain tak bisa baca juga kesulitan menulis. Lantaran itulah, jika ada yang memesan cendol Rohman kerap meminta bantuan kepada Bu Eli.
"Ada suatu waktu bapak tidak bisa nulis. Kalau ada pesanan larinya ke dalam minta Bu Eli menuliskan pesanannya. Kalau Ibu Eli menulis selalu pakai bon Toko Elizabeth. Dari situ Bu Eli bulang, 'Sudah aja Man, cendolnya sekalian namain Cendol Elizabeth'. Dan orang pun kenalnya Cendol Elizabeth karena pakai bon itu," ujar Nur.
Adapun usaha Bu Eli melalui toko tas miliknya semakin berkembang. Rohman yang masih berjualan cendol masih mangkal di depan toko hingga beberapa waktu lamanya.
"Sampai sekarang hubungan dengan Bu Eli tetap baik, sudah seperti keluarga sendiri. Beliau juga punya pabrik di Leuwigajah, karyawannya tiap seminggu sekali bawa cendol dari sini," kata Nur.
Advertisement